Ajari aku tentang iman


Ajari aku lagi, Tuhan
Tentang iman yang benar,
Seperti Kau ajari aku dulu
Ketika aku berdoa tapi tak menunjukkan imanku

Ajari aku lagi, Tuhan
Tentang iman yang benar,
Seperti Kau ajari aku dulu
Bahwa ketika aku berdoa
Aku harus percaya sepenuhnya
Bahwa Kau tahu yang terbaik

Ajari aku lagi, Tuhan
Tentang iman yang benar,
Memohon, sekaligus berserah
Berserah, sekaligus percaya
Percaya walau belum melihat
Percaya bahwa tangan yang tak kelihatan itu tahu yang terbaik
Menerima setiap keputusan-Nya
Dengan ucapan syukur

Gereja Bintang Lima: Christian Entertainment


image

Wekernya berbunyi tepat pukul 4. Sepertinya sudah terlambat untuk Saat Teduh. Tidak!! Tidak ada waktu untuk bersaat teduh, lagipula bukankah apa yang akan dilakukannya untuk menyenangkan Tuhan? Seharusnya begitu! “Jadi sudahlah,” pikirnya, “Dia pasti mengerti”

Hal pertama yang akan dilakukannya pagi itu adalah menghias dirinya. Seorang make up artis telah siap untuk mendandaninya dan teman-temannya. Sebagai wanita, dia suka sekali didandani, mengenakan bulu mata palsu, riasan wajah, rambut dihias bak puteri, “Ah, aku akan menjadi cantik dan semua pasti iri melihatku!” pikirnya.

Continue reading

Ketika Penyesalan berakhir Maut


Minggu lalu kita baru memperingati Jumat Agung dan merayakan Paskah. Dalam kejadian kematian Kristus, ada suatu peristiwa yang tidak terlalu disukai. Suatu peristiwa horor di antara peristiwa agung yang terjadi di hari Jumat itu. Suatu peristiwa yang bahkan banyak guru sekolah minggu tidak terlalu menyukainya.

Peristiwa itu tercatat hanya satu kali dalam Injil Matius 27:3 – 10. Benar sekali! Kisah bunuh diri… Dilakukan oleh seorang murid yang menyesal karena telah mengkhianati gurunya.

Yudas, seorang yang dipercaya menjadi bendahara, membiarkan dirinya dimanfaatkan oleh Iblis… Demi 30 keping perak menyerahkan gurunya kepada orang-orang yang membenci-Nya.
image

Ada begitu banyak perdebatan mengenai Yudas. Beberapa beranggapan bahwa Yudas hanya alat dari rencana Tuhan. Bahwa karena Yudas maka rencana pengorbanan Kristus dapat terlaksana. Itulah mengapa muncul Injil Yudas. Sebuah Injil yang menganggap Yudas adalah semacam nabi yang menjadi pelaksana rencana Tuhan.

Dalam tulisan ini saya akan membahas mengenai ‘apa yang terjadi dengan Yudas’. Jika kita mendengar Yudas, apa yang kita rasakan? Simpatik? Kasihan? Kesal, atau benci?

Sebenarnya, apa yang terjadi dengan Yudas?

Pertama, kita tahu bahwa Yudas adalah seorang bendahara kelompok. Saya bayangkan dalam kelompok 13 ini, Yudaslah yang mengeluarkan uang ketika mereka selesai makan. Yudaslah yang akan dipanggil oleh Guru ketika mereka harus mengeluarkan atau menerima uang (Yoh 13:29)

Yudas pertama menarik perhatian kita ketika ia mengomentari seorang wanita yang memberikan parfum mahalnya untuk Yesus, “untuk apa pemborosan ini? Bukankah lebih baik jika parfum itu dijual dan uangnya diberikan kepada orang miskin?”

Yudas adalah tipe yang lebih mementingkan pekerjaan daripada si pemberi pekerjaan.

Pernahkah Anda menjadi seperti Yudas? Ketika seseorang memberi untuk Tuhan kita menganggapnya “untuk apa semua itu”. Atau pernahkah kita mati-matian bekerja tanpa mempedulikan keinginan Dia, yang memberikan pekerjaan.

Jika kita pernah melakukannya, hati-hati… Mungkin kita sedang terserang gejala awal seperti Yudas.

Kedua, Yudas dikenal sebagai Yudas Iskariot. Beberapa ahli berpendapat bahwa golongan Iskariot adalah golongan yang berniat memberontak kepada Romawi. Mereka muak dengan penjajahan Romawi dan Yudas mungkin berharap Yesus akan datang sebagai kepala rombongan pemberontak.

Namun penantian Yudas rupanya tanpa hasil. Bukannya menghasut rakyat untuk melawan, Dia malah mengajar untuk mengasihi. Bukannya memerintahkan untuk membenci Romawi, Dia malah mengajar untuk mendoakan musuh.

Orang-orang seperti Yudas adalah mereka yang mengharapkan Tuhan melakukan segala sesuatu dengan cara mereka, bukan cara Tuhan. Orang-orang yang seolah memiliki idealis sendiri dan merasa bahwa idealis itulah yang paling benar.

Pernahkah kita berbuat seperti ini? Ketika kita merasa bahwa apa yang kita rencanakan adalah sempurna, bahkan melebihi rencana Tuhan. Kemudian kita mulai marah ketika ternyata rencana Tuhan berbeda dengan rencana kita. Kita merasa “saya sudah capek-capek kok hasilnya begini”, dan akhirnya kita keluar sebagai orang yang lelah.

Jika Anda pernah merasakan itu, hati-hati… Mungkin Anda terserang gejala Yudas juga.

Ketiga,… Saya ingin mengajak Anda membaca:

Lukas 22:3-6 Maka masuklah Iblis ke dalam Yudas, yang bernama Iskariot, seorang dari kedua belas murid itu.

Lalu pergilah Yudas kepada imam-imam kepala dan kepala-kepala pengawal Bait Allah dan berunding dengan mereka, bagaimana ia dapat menyerahkan Yesus kepada mereka.

Mereka sangat gembira dan bermupakat untuk memberikan sejumlah uang kepadanya.

Ia menyetujuinya, dan mulai dari waktu itu ia mencari kesempatan yang baik untuk menyerahkan Yesus kepada mereka tanpa setahu orang banyak.

Di bagian lain ditulis seperti ini:

Yohanes 13:2 Mereka sedang makan bersama, dan Iblis telah membisikkan rencana dalam hati Yudas Iskariot, anak Simon, untuk mengkhianati Dia.

Ketiga, Yudas membiarkan dirinya digerakkan oleh Iblis. Dari sekian banyak murid Kristus, Iblis memilih untuk membisiki hati Yudas, dan… Yudas merespon pada bisikan ini.

Pertanyaan mendasar adalah, kenapa Yudas?

Saya pikir Iblis tidak asal pilih. Bukankah Iblis seperti singa yang berkeliling mencari orang yang dapat ditelannya? (I Petrus 5:8). Iblis melihat dari 12 murid yang ada, Yudas adalah sasaran empuk yang dapat ditelan. Mengapa?
Sederhana! Karena ia memiliki keraguan kepada Tuhan.

Seseorang dengan mudah dipengaruhi Iblis ketika imannya goyah. Itulah sebabnya iman begitu penting bagi anak-anak Tuhan.

Setiap kita mungkin pernah mengalami goyah iman, seperti Yudas. Ketika kita meragukan Tuhan, makin besar peluang kita mengikuti bisikan Iblis. Harap dicatat, saya tidak mengatakan dibisiki Iblis, tapi mengikuti bisikan Iblis.

Mungkin saja Iblis salah sasaran, berbisik sekedar untuk mencobai. Pada titik ini, setiap kita memiliki pilihan… Untuk mengikuti bisikan Iblis, atau untuk mengusirnya. Yudas mengikuti teladan Hawa, mengikuti bisikan Iblis.

Tidak menganggap bahwa Tuhan lebih penting, keraguan pada Tuhan dan kekecewaan karena harapannya tidak dipenuhi merupakan modal yang cukup bagi Yudas untuk merespon bisikan Iblis dan menyerahkan Yesus dengan 30 keping perak.
image

Menurut Anda, jika Yudas menolak bisikan Iblis, akankah Yesus tetap disalibkan? Dengan sangat yakin saya akan menjawab YA! Tapi mungkin Yudas dapat menyelamatkan dirinya.

Namun, anggaplah Yudas sudah terlanjur dan dia tidak dapat mundur. Apa dia masih memiliki kesempatan?

Kita masuk pada poin berikutnya. Ketika Yudas melihat bahwa Gurunya disiksa sedemikian rupa sampai mati, ia menyesal.

Kita pasti sering mendengar kalimat “penyesalan datang belakangan” dan “tidak ada gunanya menyesal.” Benar, penyesalan datang belakangan, tapi bukan berarti bahwa menyesal itu tidak ada gunanya. Penyesalan memang tidak akan mengubah keadaan yang sudah lewat, tapi mungkin menentukan keadaan berikutnya.

Petrus menyesal setelah ia menyangkali Yesus. Namun dia melakukan hal yang benar: dia menangis dengan sedihnya (Matius 26:75). Menangis adalah pertolongan pertama bagi penyesalan. Menangis memberikan waktu bagi hati yang menyesal untuk mengambil nafas sebelum keputusan berikutnya. Menangis memberikan waktu bagi hati yang menyesal untuk tidak gelap mata.

Setelah menangis, Petrus menanti… Dia menunggu… Sampai sebuah kabar menggetarkan hatinya “beritahukan pada murid-murid, dan juga kepada Petrus…Ia mendahului kami ke Galilea”

Petrus bertahan untuk menyelesaikan masalahnya dengan Dia, yang berhak mengampuni dosa. Akibatnya? Tuhan memberinya kepercayaan untuk menggembalakan domba-domba-Nya dan dia mengakhiri hidupnya dengan gemilang sebagai rasul yang luar biasa.

Yudas menyesal ketika melihat Yesus mati, dan dia memutuskan untuk menghukum dirinya sendiri. Sama seperti dia menganggap bahwa rencananya lebih baik dari rencana Tuhan… Demikian dia merasa bahwa caranya menyelesaikan penyesalan lebih baik dari cara Tuhan menyelesaikannya.

Dia tidak yakin bahwa Tuhan yang berfirman mengenai mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali akan mengampuninya. Dia tidak yakin bahwa Tuhan yang berfirman mengenai “berdoa dan mengasihi mereka yang menganiaya kamu” akan mengasihinya.
Dan dia memutuskan untuk menggunakan caranya sendiri menyelesaikan masalahnya: mengembalikan pembayarannya dan gantung diri…
image

Petrus dan Yudas, keduanya sama-sama menyesal, namun yang satu mengakhiri penyesalannya dengan berbalik kepada Tuhan dan menyerahkannya pada kedaulatan Tuhan, yang lain mengakhiri penyesalannya dengan caranya sendiri.

Saudara, kita mungkin pernah melakukan apa yang Yudas lakukan. Kita melakukan sesuatu yang kemudian kita sesali dengan luar biasa. Ingatlah satu hal, penyesalan mungkin datang belakangan, namun jika direspon dengan tepat maka kita masih memiliki kesempatan untuk bangkit lagi dan memulainya dari awal.

Nasib


Kita sering mendengar kata “nasib”, atau “takdir”. KBBI mendefinisikan “nasib” sebagai “Sesuatu yang ditentukan Tuhan”. Jika saya boleh menyingkatnya, saya akan menuliskan bahwa takdir adalah “kedaulatan Tuhan”.

Beberapa minggu ini entah kenapa kata “nasib” terngiang di pikiran saya. Sejak saya melihat berita di TV tentang sebuah mobil yang sedang mengantri keluar dari tol di Jawa Timur secara tiba-tiba dari belakangnya. Anda bisa melihat videonya di bawah ini:

[youtube https://www.youtube.com/watch?v=beWsoJ5nLD8]

Saya tidak dapat membayangkan apa yang ada di pikiran keluarga dari pengendara Jazz Pink yang tiba-tiba saja tertabrak dari arah belakang saat mobilnya dalam posisi diam. Mereka tentu menangis dan bertanya “kenapa Tuhan” atau “apa yang salah”.

Berbeda dengan mereka yang meninggal memang karena ugal-ugalan atau karena bunuh diri atau karena berkelahi. Korban kematian karena kecelakaan yang tidak disangka-sangka makin menyadarkan kita bahwa kematian adalah kedaulatan Tuhan.

Saat menonton berita di atas, saya baru saja tiba dari perjalanan Jakarta-Bandung, di malam hari dan saya yang menyetir sendiri. Kondisi mata saya yang minus besar dan silindris membuat saya sekali-sekali mengalami kesulitan melihat kendaraan di depan saya. Namun Tuhan masih memberi saya kesempatan untuk tiba di rumah dengan selamat.

Pemikiran mengenai nasib ini tiba-tiba datang lagi saat tadi saya sedang menunggu lampu merah di perempatan Soekarno Hatta – Batununggal. Mobil di kiri saya, Livina abu-abu yang juga sedang berhenti menunggu lampu merah tiba-tiba saja ditabrak dari belakang oleh sebuah motor (saya sendiri tidak tahu kronologisnya mengapa si pengendara motor sampai bisa menabrak mobil itu). Mobil itu mengalami kerusakan cukup parah karena kaca belakangnya sampai pecah dan badan mobil belakang penyok luar biasa (hampir seperti ditabrak oleh mobil).

Saya bukannya bersyukur karena hal itu tidak menimpa saya (karena seperti saya katakan, saya berpendapat bahwa adalah hal yang kejam jika kita bersyukur atas suatu hal buruk yang tidak menimpa kita tapi menimpa orang lain). Saya hanya tidak dapat membayangkan apa yang terjadi jika itu terjadi pada saya.

Kemudian pemikiran saya mulai melompat-lompat dari satu topik ke topik lainnya. Sebagai orang Kristen seringkali kita menghakimi orang yang mengalami hal buruk dengan kata “kurang berdoa” atau “hukuman Tuhan”. Saya bukannya hendak menyepelekan berdoa. Namun pertanyaan yang mengganggu benak saya adalah, “jika doa dapat meluputkan kita dari masalah, apakah berarti orang yang mendapat masalah adalah SELALU orang yang tidak pernah berdoa?”.

Seringkali kita menyebut ketidakberuntungan sebagai “nasib buruk”. Jika “nasib” adalah kedaulatan Tuhan, maka apakah jika sesuatu yang buruk terjadi pada kita maka artinya Tuhan sedang menghukum kita?

Dalam kitab Mazmur, kita sering membaca bagaimana Daud minta diluputkan Tuhan dari masalah dan dilepaskan dari musuh-musuhnya. Bagian dari Mazmur yang saya akan ajak Anda untuk membahasnya bersama adalah Mazmur 27:2-6

Ketika penjahat-penjahat menyerang aku untuk memakan dagingku, yakni semua lawanku dan musuhku, mereka sendirilah yang tergelincir dan jatuh.

Sekalipun tentara berkemah mengepung aku, tidak takut hatiku; sekalipun timbul peperangan melawan aku, dalam hal itupun aku tetap percaya.

Satu hal telah kuminta kepada TUHAN, itulah yang kuingini: diam di rumah TUHAN seumur hidupku, menyaksikan kemurahan TUHAN dan menikmati bait-Nya.

Sebab Ia melindungi aku dalam pondok-Nya pada waktu bahaya; Ia menyembunyikan aku dalam persembunyian di kemah-Nya, Ia mengangkat aku ke atas gunung batu.

Maka sekarang tegaklah kepalaku, mengatasi musuhku sekeliling aku; dalam kemah-Nya aku mau mempersembahkan korban dengan sorak-sorai; aku mau menyanyi dan bermazmur bagi TUHAN.

Nasib buruk bukanlah ketika penjahat menyerang, namun nasib buruk yang sesungguhnya adalah ketika Tuhan memutuskan untuk meninggalkan kita. Nasib buruk bukanlah ketika tentara berkemah mengepung kita, namun ketika ketakutan dan keraguan akan Tuhan itu datang.

Saya suka nyanyian Daud di atas. Seolah dia hendak mengatakan bahwa, “Hei! kita tidak bisa berharap kepada musuh, tapi kita bisa berharap kepada Tuhan”.

Satu pelajaran mengenai nasib yang saya pelajari hari ini adalah, kita tidak bisa berharap pada masalah (“masalah jangan datang dong”), dan kita juga tidak berhak meminta Tuhan menjauhkan masalah dari kita (bisa saja masalah itu merupakan ujian atau sesuatu yang terjadi karena kesalahan kita). Kita juga tidak bisa berdoa agar Tuhan menjauhkan kematian (karena hidup dan mati adalah kedaulatan Tuhan).

Satu hal yang bisa kita lakukan adalah meminta Tuhan memberi kita kekuatan. Kekuatan ketika kita harus menghadapi masalah. Kekuatan untuk menegakkan kepala kita dan mengatasi setiap masalah yang ada di sekeliling kita. Kekuatan untuk tetap menjaga iman dan percaya kita kepada Tuhan. Kekuatan untuk tetap bersyukur, menyanyi dan bermazmur pada Tuhan bahkan saat masalah menghimpit kita.

 

Ketika Ayah dan Anak tidak sama saja


Saya sedang mempersiapkan bahan untuk Firman Tuhan minggu ini ketika tiba-tiba saja sesuatu menarik perhatian saya. Terkadang memang sesuatu yang sudah sering kita dengar tiba-tiba saja PLOP! melompat keluar dan menarik perhatian kita. Saya tertarik dengan Manasye, Amon dan Yosia.

Sebagian dari Anda mungkin bertanya-tanya, siapa itu Manasye, Amon dan Yosia. Sementara sebagian lagi mungkin langsung tahu siapa mereka bertiga. Ya, mereka adalah raja Yehuda dari Perjanjian Lama. Manasye sendiri adalah anak dari Hizkia, seorang raja yang berbuat benar di mata Tuhan, pernah meminta perpanjangan usia dan dikabulkan oleh Tuhannya Israel.

Manasye menjadi raja pada usia yang sangat muda, yaitu 12 tahun. Usia 12 tahun adalah ketika seorang anak tidak mau lagi disebut anak-anak, tapi juga terlalu muda untuk dapat dikatakan remaja. Di saat anak seusianya mungkin bermain dan berburu, Manasye telah menjadi raja menggantikan ayahnya yang mangkat.

Hal yang menarik perhatian saya adalah karena kelakuan Manasye berbeda jauh dengan kelakuan ayahnya. Alkitab mencatat Hizkia sebagai raja yang “melakukan apa yang benar di mata TUHAN, tepat seperti yang dilakukan Daud, bapa leluhurnya.”, sedangkan Manasye dicatat sebagai raja yang “melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, sesuai dengan perbuatan keji bangsa-bangsa yang telah dihalau TUHAN dari depan orang Israel.”

Manasye ini, seharusnya telah melihat apa yang ayahnya lakukan seumur hidupnya. Ini yang Alkitab catat mengenai Hizkia (diambil dari II Raja-Raja 18:4-7)

Dialah yang menjauhkan bukit-bukit pengorbanan dan yang meremukkan tugu-tugu berhala dan yang menebang tiang-tiang berhala dan yang menghancurkan ular tembaga yang dibuat Musa, sebab sampai pada masa itu orang Israel memang masih membakar korban bagi ular itu yang namanya disebut Nehustan.

Ia percaya kepada TUHAN, Allah Israel, dan di antara semua raja-raja Yehuda, baik yang sesudah dia maupun yang sebelumnya, tidak ada lagi yang sama seperti dia.

Ia berpaut kepada TUHAN, tidak menyimpang dari pada mengikuti Dia dan ia berpegang pada perintah-perintah TUHAN yang telah diperintahkan-Nya kepada Musa.

Maka TUHAN menyertai dia; ke manapun juga ia pergi berperang, ia beruntung.

 

Seharusnya Manasye melihat bagaimana ayahnya telah menjadi raja yang beruntung kemanapun ia pergi berperang, dan seharusnya Manasye tahu bahwa yang menyebabkan ayahnya beruntung adalah karena Tuhan menyertai dia.

Namun Manasye justru melakukan hal yang sebaliknya. Bukit-bukit pengorbanan yang telah dimusnahkan oleh ayahnya didirikan kembali oleh Manasye. Seolah menganggap bahwa Hizkia adalah saingannya dan bukan ayahnya, ia melakukan apa yang dibenci oleh ayahnya selama ia masih hidup. Bukannya mengidolakan ayahnya, ia malah melakukan apa yang dilakukan Ahab, Raja Israel (Di jaman itu, Tuhan sudah memecah Kerajaan Israel dan Yehuda), yaitu membangun mezbah-mezbah untuk Baal dan membuat patung Asyera, dan sujud menyembah kepada segenap tentara langit dan beribadah kepadanya.

Tak cukup hanya itu, hal terburuk yang dilakukan Manasye adalah ia mengorbankan anaknya sendiri dalam api dan membuat mezbah untuk tentara langit di pelataran rumah Tuhan.

Cukup lama Manasye memerintah, lima puluh lima tahun. Waktu yang cukup lama untuk dilihat oleh anak-anaknya. Waktu yang cukup lama untuk membuat bangsa Israel jauh dari Tuhan.

Namun berbeda dengan Hizkia yang tidak ditiru oleh anaknya. Manasye digantikan oleh seorang anak yang berkelakuan persis seperti dia. Amon, anak Manasye segera naik tahta setelah Manasye mangkat. Amon melakukan apa yang jahat, persis seperti ayahnya. Dia beribadah dan memberikan persembahan kepada dewa-dewa yang disembah oleh ayahnya.

Tak lama-lama Amon menjadi raja, hanya dua tahun saja. Rupanya ia bukan atasan yang baik, Amon mati di tangan pegawai-pegawainya sendiri, menyisakan tahtanya untuk anaknya yang masih berusia delapan tahun… YOSIA.

Yosia ini adalah seorang anak yang sudah pasti tidak mengenal kakek buyutnya, Hizkia. Sepanjang hidupnya ia menyaksikan kekejian demi kekejian yang dilakukan baik oleh kakeknya maupun oleh ayahnya. Namun sesuatu yang mengherankan terjadi, Yosia “melakukan apa yang benar di mata TUHAN dan hidup sama seperti Daud, bapa leluhurnya, dan tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri.” (II Raja-raja 22:2)

Dalam masa pemerintahan Yosialah kitab Taurat ditemukan, setelah hilang (entah terselip atau terlupa) karena tidak diperhatikan di jaman kakeknya. Berdasarkan kitab tersebut, Yosia mengadakan pembaharuan agama. Anda bisa membaca sendiri apa yang dilakukan Yosia pada 2 Raja-raja 23.

Hal yang ingin saya bahas di sini mungkin di luar perkiraan Anda. Menurut Anda, dari antara Hizkia, Manasye, dan Amon… Siapakah Ayah yang dapat dikatakan “BERHASIL” ?

Hizkia yang tidak bisa mendidik anak? Manasye yang diikuti oleh anaknya? Atau Amon, seorang jahat yang dapat menghasilkan anak yang baik? Jika menjadi orangtua adalah ‘pengaruh’, maka saya dapat pastikan bahwa Manasye-lah yang paling berhasil mendidik anak.

Jaman sekarang ini, ketika “Parenting” tengah diangkat dan “peran orangtua” sedang banyak digembar gemborkan, kita banyak mendengar bahwa seorang ayah atau orangtua, bertanggungjawab atas kelakuan anak mereka.

Ketika saya membuat status berisi komplain dengan iklan di mana seorag anak berkata “kepo ih” ke orangtuanya, seorang teman berkata bahwa “itu salah orangtua” kalau sampai seorang anak bisa terpengaruh dengan iklan itu dan berkata “kepo ih” ke orangtuanya.

Saya berkata bahwa, jika dikembalikan ke orangtua… memang pada akhirnya seluruh kejahatan di muka bumi ini adalah salah orangtua…

Apakah benar begitu?

Saya pernah menulis bahwa ketika seorang anak masuk ke dalam penjara, maka orangtuanya tidak perlu menanggung perbuatannya (demikian juga sebaliknya). Memang betul, orangtua diberi tanggungjawab khusus oleh Tuhan menjadi pahlawan yang mengarahkan anak panah ke sasaran yang tepat. Sejak kecil seorang anak perlu diarahkan ke sasaran yang benar.

Kembali ke contoh Hizkia hingga Yosia,.. tahukah Anda bahwa Yosia mendapat kemurahan dari Tuhan… Kerajaan Yehuda tidak dihancurkan pada jaman pemerintahannya. Yosia wafat karena terbunuh di medan perang, dan anaknya Elyakim, yang diganti menjadi Yoyakim oleh Firaun, menggantikan dia. Yoyakim ini, kembali melakukan apa yang jahat di mata Tuhan…seperti kakeknya.

Apa yang salah?

Anda mungkin berkata “mungkin Hizkia dan Yosia melupakan keluarganya selama mereka memerintah, mereka lupa mendidik anak-anak mereka”. Lalu bagaimana dengan Yosia? Siapa yang mendidiknya sehingga ia tidak meniru perbuatan Amon, ayahnya? Siapa yang mendidik Hizkia hingga ia tidak meniru perbuatan Ahas, ayahnya?

Saya menawarkan sebuah kata ajaib yang mungkin dapat menjadi jawaban dari permasalahan kita hari ini: PILIHAN!

Ketika Tuhan menciptakan manusia, disisipkannya hati nurani sebagai penanda, bahwa manusia merupakan mahluk istimewa yang Dia ciptakan. Ya! tak peduli bagaimana pun orangtua kita, Tuhan memberi kita pilihan.

Hizkia dan Yosia membuat pilihan yang benar. Sejak kecil ia mungkin tidak pernah mendengar tentang kebaikan dari orangtuanya, mungkin hanya dari ibunya saja (mungkin juga tidak). Kalaupun mereka mendengar dari ibunya saja, mereka tetap memiliki pilihan untuk mengikuti ayahnya, menjadi raja yang jahat, atau melakukan apa yang baik seperti Daud, leluhurnya.

Anda dan saya memiliki pilihan. Tak peduli bagaimana orangtua kita, tak peduli seperti apa lingkungan di mana kita berada, kita mempunyai pilihan untuk melakukan apa yang benar atau tidak.

Ketika kita memilih melakukan apa yang benar, Tuhan memberi kita balasannya,…Hizkia mendapat keberuntungan, dan Yosia lolos dari penghukuman akibat kesalahan orangtuanya.

Jadi… faktor apa yang mempengaruhi hidup Anda? Keturunan, lingkungan, atau hati nurani yang dititipkan Tuhan?

Ketika Dia menghampiriku


 

 

Aku berpikir bahwa
Memberi Tuhan segala dosaku
Adalah sebuah tindakan kurang ajar
Aku harus membereskan sendiri dosa-dosaku
Dengan menebusnya sendiri
Dengan berbuat banyak kebaikan

Tapi semakin aku berusaha
Semakin aku berputus asa
Semakin aku tahu bahwa tak mungkin
Tak mungkin menebus kesalahan
Yang tak pernah habis-habis Continue reading

Ketika “Tuhan” Hanya Sekedar Kata


Tuhan…
Ampuni aku…
Jika nama-Mu hanya sekedar kata
Diucapkan dalam ketidaksadaran
Dalam keterkejutan dan putus asa

Ampuni aku…
Jika nama-Mu hanya sekedar kata
Pengisi kalimat sakti yang disebut doa
Diucapkan dengan rutin tanpa makna Continue reading

Zeusophobia


Hari ini, setelah sekian lama, kembali saya ajak kita semua belajar tentang sebuah phobia. Phobia berikutnya yang akan kita bahas adalah ZEUSOPHOBIA. Nama lain dari Zeusophobia adalah Theophobia, yaitu ketakutan akan Tuhan atau dewa-dewa.

Rasa takut pada Zeusophobia ini berbeda dengan rasa takut yang Tuhan maksudkan dalam Ulangan 5:29 “Kiranya hati mereka selalu begitu, yakni takut akan Daku dan berpegang pada segala perintah-Ku, supaya baik keadaan mereka dan anak-anak mereka untuk selama-lamanya!” dan pada Ulangan 6:13 “Engkau harus takut akan TUHAN, kepada DIa haruslah engkau beribadah dan demi nama-Nya haruslah engkau bersumpah” dan banyak ayat-ayat lainnya. Continue reading

Tuhan yang Esa (seri doa anak suku)


image

Temanku berkata

Tuhanku satu
Esa tuhanku
Matahari di atas itu
Dia Tuhanku…
Bukankah dia begitu terang?
Begitu agung hingga tak mungkin aku tatap

Tuhanku satu
Esa tuhanku
Pohon yang ada di hutan
Kata orang umurnya ratusan tahun
Bukankah dia begitu rindang?
Memberi kesejukan hingga aku nyaman di bawahnya

Tuhanku satu
Esa tuhanku
Gunung besar di sana itu
Itu gunung tertinggi di wilayah ini
Bukankah dia begitu besar
Hingga kau tak mungkin mengalahkannya

Tuhanku satu
Esa tuhanku
Batu besar itu
Kata orang umurnya ribuan tahun
Ada sejak jaman mula-mula
Bukankah dia begitu megah
Hingga kau pasti mengaguminya

Aku berkata
Tuhanku satu
Esa tuhanku
Pencipta langit bumi
Nama-Nya bisa siapa saja
Aku tak mengenalNya

Teman-teman menertawakanku
Kata mereka, “sebaiknya pilihlah…
Satu hal yang besar untuk disembah
Namai sesukamu
jadikan dia tuhanmu”

Namun kurasa
Jika semua ini ada
Tentu ada yang membuatnya
KepadaNya aku berbakti

Siapa Dia
Apa mauNya
Apa keinginanNya
Aku tidak tahu

Dia yang ada sejak mula-mula
Besar..,
Agung…
Suci…
Kudus…

Namun,
Siapa Dia?
Dapatkah aku mengenalNya?
Siapa Nama-Nya?
Apa mau-Nya?

Bukankah yang terpenting adalah
Melakukan yang Dia mau
Memberi sesembahan dengan caraNya
toh Dia yang menerima

Jadi dalam diam aku berbisik
Mudah-mudahan Dia mendengarku
“Gusti pencipta…
kenalkah Kau padaku?
apakah Kau yang Esa?
Begitu banyak yang mengaku menyembah tuhan yang esa…
Apakah mereka semua benar?

Bagaimana seharusnya kupanggil namaMu?
Apa yang Kau mau?
Bagaimana seharusnya kuberi sesembahanku
Tuhan yang Esa,
Sudikah Kau menjawabku?

Kumohon,.. nyatakan diriMu padaku
Agar aku bisa menceritakan Engkau
Agar teman-teman tak lagi mengejekku
Agar aku bisa katakan pada mereka…
tuhan yang esa belum tentu Tuhan yang Benar
dan memperkenalkanMu pada mereka”

Hadephobia


Hari ini kita akan membahas Phobia umum yang mungkin dimiliki hampir semua orang. Anda pasti tidak asing mendengar istilah HADES. Hades adalah kata lain dari Neraka, dan Hadephobia adalah KETAKUTAN SESEORANG PADA NERAKA.

Anda pasti mengatakan “Tunggu dulu! Bukankah pasti semua orang mengalami hal ini? Takut pada neraka?” Continue reading