Gereja Bintang Lima: Christian Entertainment


image

Wekernya berbunyi tepat pukul 4. Sepertinya sudah terlambat untuk Saat Teduh. Tidak!! Tidak ada waktu untuk bersaat teduh, lagipula bukankah apa yang akan dilakukannya untuk menyenangkan Tuhan? Seharusnya begitu! “Jadi sudahlah,” pikirnya, “Dia pasti mengerti”

Hal pertama yang akan dilakukannya pagi itu adalah menghias dirinya. Seorang make up artis telah siap untuk mendandaninya dan teman-temannya. Sebagai wanita, dia suka sekali didandani, mengenakan bulu mata palsu, riasan wajah, rambut dihias bak puteri, “Ah, aku akan menjadi cantik dan semua pasti iri melihatku!” pikirnya.

“Lihatlah pakaian yang aku kenakan.. begitu indah! Jika bukan di sini, kapan lagi aku bisa mengenakan pakaian semenarik ini. Aku benar-benar akan jadi bintang hari ini” Katanya dalam hatinya.

Sebelum waktu bertugas dimulai, ada waktu sebentar untuk sekedar ngobrol dan membriefing fotografer “Ingat! Kau harus mengambil gambarku dengan benar ya. Kalau bisa pose saat aku sedang pura-pura berdoa… Tapi jangan sampai aku terlihat jelek!” Fotografer manggut-manggut, hari ini dia sudah mendapat lebih dari sepuluh pesan seperti itu dari para pelayan-pelayan mimbar yang sudah berias itu.

Sebelum waktunya tiba, ia dan teman-temannya menyempatkan diri untuk melihat-lihat sebentar, “Ah, bangganya menjadi bagian dari Gereja Bintang Lima. Aku benar-benar beruntung karena bisa pentas di panggung semegah ini. Ya ampun lihatlah layar besar itu, aku akan bernyanyi di panggung itu seperti seorang artis”

Waktu sudah menunjukkan pukul 6.30, sebentar lagi mereka akan naik ke atas pentas. Sesaat dia bersyukur karena di Gereja BIntang Lima, waktu untuk berdoa sebelum melayani tidak terlalu lama, dan tidak ada acara tangis-tangisan meminta belas kasihan Tuhan. Karena jika begitu, maka make up nya akan luntur, “Buat apa ada tim doa?? Orang-orang tidak berbakat yang bersuara parau itu?”

Sambil berdoa dia mengingat-ingat blocking panggung dan gerakan-gerakan untuk lagu-lagu yang akan dinyanyikan. Ada sedikit dansa yang dia usulkan dan diterima oleh yang lain, gerakannya benar-benar harus sempurna, mereka ingin jemaat kagum dan memuji mereka di media sosial. Bukankah itu yang terpenting? Bukankah ukuran dari keberhasilan sebuah pentas adalah pujian dari penontonnya?

Hitung mundur sudah dimulai tiga menit yang lalu, tapi petugas mengatakan bahwa mereka belum bisa tampil sekarang. Ada sedikit masalah katanya. Kepanikan mulai melanda belakang panggung. Apa yang salah? Bagaimana mungkin Gereja Bintang Lima melakukan kesalahan? Kalau memang ada yang salah, maka Bapak Pendeta akan marah besar.

Hitung mundur dimulai lagi, tapi tidak ada tanda-tanda acara segera dimulai, “Ada masalah di lighting yang akan menyorot kalian” kata salah seorang petugas stage manager. Dia mulai gelisah. Jika lighting tidak bisa menyorot mereka, bagaimana jika minyak di wajahnya terlihat. Lighting akan membuat mereka terlihat cantik dan tidak hanya itu.. Lighting membuat mereka merasa sebagai artis papan atas yang sedang menghibur di panggung hiburan termegah di seluruh kota. Bagaimana jika lighting tidak juga menyala.

“Kita harus profesional” kata salah seorang dari para penampil. “Tanpa lighting, kita tetap harus terlihat energik, tidak boleh melupakan suara yang sudah kita latih. Jangan sampai lupa gerakan-gerakan yang sudah kita latih. Dua langkah ke depan dengan kaki kiri, dua langkah ke samping dengan kaki kanan.”

Hingga sepuluh menit setelah waktu yang ditentukan akhirnya diputuskan bahwa acara tetap akan dimulai tanpa lighting yang menyorot ke arah panggung. Toh sebenarnya hanya dua lampu yang mogok beroperasi, masih ada lampu lain.”

Acara dibuka dengan permainan drum. Pemain drum menabuh drum dengan disinari lampu yang kebetulan menyala dengan sorotan tajam. Sedikit menyakitkan mata, tapi demi performance di atas panggung, tidak masalah. Pemain drum berpikir “seharusnya mengenakan kaca mata hitam saja biar keren. Ah, sayangnya ini gereja!”. Dia merasa sebagai drummer band kawakan yang terkenal saat semua mata memandangnya sambil berdecak kagum.

Saat drum sedang ditabuh dengan dahsyat, terdengar dengungan gitar listrik seolah akan memecah gendang telinga diikuti dengan beberapa performer berbaju merah jambu yang bernyanyi sambil bergoyang kecil menuju ke arah panggung dari arah belakang. Jemaat pun terperangah, untuk sesaat mereka lupa kalau mereka sedang berada di gereja. Kalau saja di lagu pertama tidak ada nama Tuhan yang disebutkan, tentu mereka lupa bahwa sedang ada di gereja.

Lampu yang tersisa memainkan peranannya, berputar-putar dengan energik seolah ingin menyapu siapa saja yang hadir. Memperlihatkan wajah-wajah jemaat yang terperangah takjub melihat apa yang sedang terjadi di depan mata mereka. Sang biduan di atas panggung tersenyum senang, idenya berhasil! Tanpa lampu yang menyorot langsung ke arah panggung mereka masih bisa menarik perhatian dan membuat kagum jemaat yang hadir.

Tiga lagu dimainkan dengan mulus. Lagu-lagu dengan irama berdentam kencang, yang mengiringi para biduan bergoyang berpasang-pasangan di panggung. Sementara semua yang hadir hanya bisa melongo menatap apa yang sedang terjadi di depan mereka, bingung apa yang harus dilakukan. Antara takjub, kagum, heran, bingung bercampur menjadi satu.

Saat jemaat hendak menyembah karena tiga lagu cepat sudah selesai dimainkan, tiba-tiba Sang Biduan berkata “silahkan duduk Jemaat Tuhan”. Kemudian pengumuman pun berjalan dalam layar besar yang tertanam di dinding, diakhiri dengan Bapak Pendeta yang tiba-tiba sudah berdiri di depan bak hantu yang entah muncul dari mana, dan kotbah pun dimulai.

Beberapa desah tipis terdengar dari arah jemaat, seolah berkata “Apa kami tak diberi waktu menyembah barang sebentar saja? Tidakkah ada waktu sebentar saja untuk kami memuliakan Dia yang sedang dirayakan hari ini?”

Bapak Pendeta berkotbah dengan berapi-api, memberikan motivasi-motivasi kehidupan bagi jemaatnya, meyakinkan jemaat bahwa hari esok masih ada dan bahwa Tuhan masih menolong mereka. Motivasi-motivasi yang dapat membantu jemaat melewati hari-harinya tanpa beban. Lupakan soal memikul salib!! Terimalah jaminan kebahagiaan!!

Tak terasa kotbah sudah diselesaikan dalam waktu singkat yang tak banyak, dan para biduan sudah harus bertugas kembali. Senyuman bahagia terpancar dari wajah mereka, melihat lagi-lagi jemaat memandang takjub ke arah mereka. Ah, akhirnya tugas pertama diselesaikan… masih ada empat tugas lagi hari itu. Tak masalah lelah atau cape, jika ditonton oleh orang-orang sebanyak itu, yang memandang takjub tanpa henti.

Bukankah hati yang gembira adalah obat? Ya, kegembiraan menerima tepuk tangan hari itu seolah mengobati kelelahan yang luar biasa karena menari dan melompat-lompat di panggung.

Saat hari besar telah lewat, lihatlah apa yang terjadi di media sosial, pujian demi pujian mengalir. Atas nama Tuhan diucapkannya “terimakasih” saat pujian diberikan. Atas nama Tuhan disunggingkan senyum saat melihat fotonya diupload oleh Sang Fotografer. Atas nama Tuhan diberikannya pujian-pujian pada teman-temannya yang juga berpentas bersamanya. Atas nama Tuhan dikutukinya jemaat-jemaat yang melancarkan kritik atas apa yang terjadi hari sebelumnya. Atas Nama Tuhan ‘diusirnya’ jemaat yang kecewa dan dibelanya dirinya “jika tak suka di gereja ini, keluar saja! motivasi kami adalah urusan kami dengan Tuhan”

Atas nama Tuhan…
Tuhan yang bahkan tidak kebagian menerima penyembahan umat-Nya hari itu…
Tuhan yang bahkan kepentingan-Nya tidak diperhatikan…
Tuhan yang nama-Nya dicatut agar tetap terlihat rendah hati…
Tuhan yang bahkan tidak diketahui ‘duduk’ di mana saat pertunjukkan rohani itu berjalan…

Atas nama Tuhan…

 

 

 

1 thought on “Gereja Bintang Lima: Christian Entertainment

  1. Pingback: Memuji Orang Farisi (Sebuah Ulasan “Christian Entertainment”) – Greissia Personal Diary

Comments are closed.