Kunci Kebahagiaan


Anakku,
Adalah hal yang biasa jika manusia,…
…bahagia ketika unggul dari orang lain
Atau bisa juga dikatakan…
…bahagia ketika melihat orang lain tidak lebih unggul dibanding dirinya
Atau bisa juga dikatakan…
…bahagia diam-diam,
ketika dirinya lebih beruntung dari orang lain…

Itulah sebabnya kau sering dipertontonkan
Tayangan mengenai kesedihan orang lain,
Mengenai ketidak beruntungan orang lain,
Mengenai kemalangan orang lain…
Dalihnya…
agar orang lain bisa merasa bersyukur…
…karena tidak berada di tempat mereka Continue reading

Ahok: Antara Daniel dan Gembala


Tulisan saya kali ini mungkin agak membosankan bagi Anda yang tidak terlalu menyukai tulisan-tulisan serius dan rohani. Tapi sudah lama saya ingin menulis ini, dan saya akan berusaha menulisnya secara singkat dan tidak terlalu membosankan. Baik, mari kita mulai…

image

Ahok, yang memiliki nama panjang Basuki Tjahaja Purnama, mendadak disorot beberapa bulan belakangan. Dia adalah Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa yang berhasil merebut hati sebagian besar etnis di tanah air, tak terbatas golongan, ras atau agama tertentu.

Saya tak perlu membahas gaya berkomunikasinya yang blak-blakan dan spontan, kita semua mengetahuinya. Saya juga tak perlu membahas kiprahnya di dunia politik, Anda bisa langsung melihat buktinya di ibukota dan tulisannya di blog pribadinya.

Saya ingin membahas mengenai filosofi yang ia percayai… Bukan sekedar Tuhan yang ia sembah, tapi gaya hidup yang dia tunjukkan.

Ahok adalah manusia yang mengetahui tujuan hidupnya. Dalam salah satu kesaksiannya ia mengatakan sebuah kalimat yang menginspirasi dan sangat saya sukai:

Charity itu seperti orang Samaria yang baik hati, ia menolong orang dianiaya. Sedangkan Justice, kita menjamin orang di sepanjang jalan dari Yerusalem ke Yerikho tidak ada lagi yang di rampok dan dianiaya.  Hal ini yang memicu saya untuk memasuki dunia politik.

Memang tak semua orang memiliki panggilan “Justice”. Kebanyakan Warga Negara Tionghoa atau yang beragama Kristen di Indonesia berpikir bahwa charity sudah cukup bagi mereka. Sebagian melakukannya agar tokonya tidak diganggu preman, sebagian agar dapat pahala, sebagian dengan tujuan ‘keagamaan’ tertentu. Jarang sekali yang melakukannya karena belas kasihan. Tapi sudahlah, tak salah memberi bagi yang membutuhkan, bukan?

Hanya sedikit saja orang Kristen seperti Ahok yang mampu mengenali panggilan untuk berpolitik. Bukan untuk urusan agama, tapi panggilan kemanusiaan, untuk keadilan.

Apa yang dilakukan Ahok mengingatkan saya pada seorang tokoh di Alkitab, minoritas yang menjadi pemimpin karena integritas dan rekam jejaknya. Tepat!! Dia adalah Daniel, warga jajahan yang memiliki spirit of excellent. Sikap hidup yang sempurna, standar kebenaran yang tinggi.

Apa yang terjadi pada Daniel? Ia dibenci rekan sejawatnya karena menjadi pejabat yang tidak bersedia korup dan mengikuti gaya kerja yang lain.

Apa yang terjadi pada Daniel? Ia hampir berakhir di gua singa, lolos dari mulut singa-singa lapar yang mendadak kenyang saat melihatnya.

Alkitab tak menjelaskan mengapa ia dibenci. Saya rasa menjadi kesayangan raja pun ada alasannya. Mengapa raja menyayangi Daniel? Atau,… Apakah ia dibenci karena ia adalah minoritas yang berhasil naik ke tingkat atas?

Mungkin ia dibenci karena sebagai minoritas ia lebih disukai banyak orang daripada rekan-rekannya…

Apa yang terjadi pada Daniel? Prinsip hidupnya membuat ia dikenal sebagai orang benar dan Tuhannya Daniel dikenal sebagai Tuhan yang benar.

Bagaimana dengan kita di tempat kerja? Apakah kita menghargai waktu dengan baik? Apakah kita tepat waktu saat datang di pagi hari dan saat setelah istirahat siang? Apakah kita menolak kompromi dengan kecurangan-kecurangan kecil? Apakah kita menolak menerima suap walau itu tiket ke luar negeri?

Apakah kita sudah bisa seperti Daniel? Jika tidak, jangan harap Anda mendapatkan kepercayaan lebih, dan jangan harap Anda menjadi iklan dari Tuhan yang Benar.

Hal kedua yang saya ingat dari gaya kepemimpinan Ahok adalah gaya gembala. Melalui program dan realisasinya, ia memberi rumput hijau dan air tenang, mengobati dan melindungi…

Saya bahkan berpikir gaya kepemimpinan ini yang jarang kita temui di gereja saat ini.

Penggembalaan tipe Ahok adalah membuka line telepon pribadi dan akunnya di media sosial untuk mendengar keluh kesan warganya dan memberi solusi yang tepat.

Bandingkan dengan banyak Pendeta yang menjadikan dirinya public figure di media sosial, menuai like sebanyak mungkin orang, namun hanya memposting fotonya jalan-jalan, eh… kunjungan kerja, eh…pelayanan ke luar negeri.

Bandingkan dengan banyak pendeta besar yang fokus pada dirinya sendiri, mimpi menjadi motivator tingkat dunia dengan hanya posting teori kalimat-kalimat bijak namun tak menggubris permintaan pertemanan atau sapaan jemaatnya, apalagi permohonan konsultasi atau minta didoakan.

Jadi kalau saya ditanya, kenapa Ahok disukai? Saya akan menjawab… Karena ia menerapkan prinsip kerja Daniel dan gaya kepemimpinan gembala.

Ngomong-ngomong, bagaimana prinsip kerja Anda? Jika Anda pemimpin, bagaimana gaya kepemimpinan Anda?

Nb: sebenarnya saya sudah lelah membahas segala sesuatu tentang Pendeta-pendeta itu,… Tapi ketika ada pembanding yang hebat, saya tergelitik untuk mengangkatnya lagi, hehe…

Anak Bawang


Anda pernah dengar istilah “anak bawang”? Anak bawang biasanya sering dipakai oleh anak-anak yang sedang bermain, untuk menunjuk kepada mereka yang masih terlalu kecil untuk diperhitungkan. Si Anak Bawang boleh ikut main, tapi ia boleh menolak untuk kalah.

Namun tidak hanya dalam permainan anak-anak, dalam kehidupan sehari-hari sebagai orang dewasa pun kita kerap menjumpai anak bawang. Mungkin anak bawang bisa mengacu pada mereka yang usahanya tidak diperhitungkan.

Setelah saya pikir-pikir, ada banyak alasan mengapa seseorang tidak diperhitungkan, baik dalam pergaulan sosial maupun profesional.

Pertama adalah mereka yang rapuh, mudah marah dan tidak dapat menerima kritik. Kepada orang-orang seperti ini biasanya kita menganggap sebagai anak bawang. Ketika ia melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak dapat diterima untuk ukuran orang ‘normal’, ia tidak akan dilawan atau dikiritik karena orang malas berurusan dengannya. “Sudahlah, dimengerti saja… dia sih orangnya memang begitu”

Kedua adalah mereka yang bodoh, berpikiran dan berwawasan sempit. Kepada mereka biasanya saya menjadi sangat sabar. Orang-orang seperti ini jarang kita perhitungkan pendapatnya karena biasanya tidak logis dan tidak applicable. ” Dia kok ditanya, jawabannya pasti aneh”

Ketiga adalah mereka yang malas. Kepada mereka yang malas biasanya kita menjadi kapok atau jengkel dan kemudian berjanji pada diri sendiri untuk tidak memperhitungkannya lagi karena jika kita memberi mereka kesempatan, kita pasti akan dikecewakan.

Jika kita menyimpulkan dari tiga alasan di atas, kita dapat mengatakan bahwa anak bawang adalah mereka yang bermasalah secara emosional, pengetahuan dan perilaku, tiga hal yang merupakan modal dasar bagi manusia dalam bersosialisasi atau bersikap profesional.

Namun ada juga orang-orang yang dianggap anak bawang karena mereka baru pertama kali masuk ke dalam suatu komunitas atau pekerjaan. Tidak dianggap merupakan suatu hal yang menyebalkan. Ketika kita pertama kali masuk ke dalam suatu komunitas atau pekerjaan seringkali kita tidak dianggap oleh rekan-rekan kerja kita.

Hal yang dapat kita lakukan agar predikat anak bawang itu hilang adalah berusaha untuk tidak memiliki masalah, baik secara emosional, wawasan maupun perilaku:

  1. Mengendalikan emosi, baik dalam bentuk mudah marah atau menangis
  2. Terbuka untuk wawasan, masukan dan teknologi baru
  3. Melakukan segala sesuatu dengan penuh tanggungjawab dan sebaik-baiknya

Semua orang ingin diperhitungkan, namun hanya beberapa yang sanggup membuat dirinya diperhitungkan. Akhir kata, saya mengutip apa yang dikatakan oleh Mantan Presiden Habibie “Setiap orang harus menapakkan jejak-jejaknya”. Walau singkat, kehidupan adalah sesuatu yang serius, buat diri kita diperhitungkan dan buat jejak-jejak selama kita hidup!

Ketika Ayah dan Anak tidak sama saja


Saya sedang mempersiapkan bahan untuk Firman Tuhan minggu ini ketika tiba-tiba saja sesuatu menarik perhatian saya. Terkadang memang sesuatu yang sudah sering kita dengar tiba-tiba saja PLOP! melompat keluar dan menarik perhatian kita. Saya tertarik dengan Manasye, Amon dan Yosia.

Sebagian dari Anda mungkin bertanya-tanya, siapa itu Manasye, Amon dan Yosia. Sementara sebagian lagi mungkin langsung tahu siapa mereka bertiga. Ya, mereka adalah raja Yehuda dari Perjanjian Lama. Manasye sendiri adalah anak dari Hizkia, seorang raja yang berbuat benar di mata Tuhan, pernah meminta perpanjangan usia dan dikabulkan oleh Tuhannya Israel.

Manasye menjadi raja pada usia yang sangat muda, yaitu 12 tahun. Usia 12 tahun adalah ketika seorang anak tidak mau lagi disebut anak-anak, tapi juga terlalu muda untuk dapat dikatakan remaja. Di saat anak seusianya mungkin bermain dan berburu, Manasye telah menjadi raja menggantikan ayahnya yang mangkat.

Hal yang menarik perhatian saya adalah karena kelakuan Manasye berbeda jauh dengan kelakuan ayahnya. Alkitab mencatat Hizkia sebagai raja yang “melakukan apa yang benar di mata TUHAN, tepat seperti yang dilakukan Daud, bapa leluhurnya.”, sedangkan Manasye dicatat sebagai raja yang “melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, sesuai dengan perbuatan keji bangsa-bangsa yang telah dihalau TUHAN dari depan orang Israel.”

Manasye ini, seharusnya telah melihat apa yang ayahnya lakukan seumur hidupnya. Ini yang Alkitab catat mengenai Hizkia (diambil dari II Raja-Raja 18:4-7)

Dialah yang menjauhkan bukit-bukit pengorbanan dan yang meremukkan tugu-tugu berhala dan yang menebang tiang-tiang berhala dan yang menghancurkan ular tembaga yang dibuat Musa, sebab sampai pada masa itu orang Israel memang masih membakar korban bagi ular itu yang namanya disebut Nehustan.

Ia percaya kepada TUHAN, Allah Israel, dan di antara semua raja-raja Yehuda, baik yang sesudah dia maupun yang sebelumnya, tidak ada lagi yang sama seperti dia.

Ia berpaut kepada TUHAN, tidak menyimpang dari pada mengikuti Dia dan ia berpegang pada perintah-perintah TUHAN yang telah diperintahkan-Nya kepada Musa.

Maka TUHAN menyertai dia; ke manapun juga ia pergi berperang, ia beruntung.

 

Seharusnya Manasye melihat bagaimana ayahnya telah menjadi raja yang beruntung kemanapun ia pergi berperang, dan seharusnya Manasye tahu bahwa yang menyebabkan ayahnya beruntung adalah karena Tuhan menyertai dia.

Namun Manasye justru melakukan hal yang sebaliknya. Bukit-bukit pengorbanan yang telah dimusnahkan oleh ayahnya didirikan kembali oleh Manasye. Seolah menganggap bahwa Hizkia adalah saingannya dan bukan ayahnya, ia melakukan apa yang dibenci oleh ayahnya selama ia masih hidup. Bukannya mengidolakan ayahnya, ia malah melakukan apa yang dilakukan Ahab, Raja Israel (Di jaman itu, Tuhan sudah memecah Kerajaan Israel dan Yehuda), yaitu membangun mezbah-mezbah untuk Baal dan membuat patung Asyera, dan sujud menyembah kepada segenap tentara langit dan beribadah kepadanya.

Tak cukup hanya itu, hal terburuk yang dilakukan Manasye adalah ia mengorbankan anaknya sendiri dalam api dan membuat mezbah untuk tentara langit di pelataran rumah Tuhan.

Cukup lama Manasye memerintah, lima puluh lima tahun. Waktu yang cukup lama untuk dilihat oleh anak-anaknya. Waktu yang cukup lama untuk membuat bangsa Israel jauh dari Tuhan.

Namun berbeda dengan Hizkia yang tidak ditiru oleh anaknya. Manasye digantikan oleh seorang anak yang berkelakuan persis seperti dia. Amon, anak Manasye segera naik tahta setelah Manasye mangkat. Amon melakukan apa yang jahat, persis seperti ayahnya. Dia beribadah dan memberikan persembahan kepada dewa-dewa yang disembah oleh ayahnya.

Tak lama-lama Amon menjadi raja, hanya dua tahun saja. Rupanya ia bukan atasan yang baik, Amon mati di tangan pegawai-pegawainya sendiri, menyisakan tahtanya untuk anaknya yang masih berusia delapan tahun… YOSIA.

Yosia ini adalah seorang anak yang sudah pasti tidak mengenal kakek buyutnya, Hizkia. Sepanjang hidupnya ia menyaksikan kekejian demi kekejian yang dilakukan baik oleh kakeknya maupun oleh ayahnya. Namun sesuatu yang mengherankan terjadi, Yosia “melakukan apa yang benar di mata TUHAN dan hidup sama seperti Daud, bapa leluhurnya, dan tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri.” (II Raja-raja 22:2)

Dalam masa pemerintahan Yosialah kitab Taurat ditemukan, setelah hilang (entah terselip atau terlupa) karena tidak diperhatikan di jaman kakeknya. Berdasarkan kitab tersebut, Yosia mengadakan pembaharuan agama. Anda bisa membaca sendiri apa yang dilakukan Yosia pada 2 Raja-raja 23.

Hal yang ingin saya bahas di sini mungkin di luar perkiraan Anda. Menurut Anda, dari antara Hizkia, Manasye, dan Amon… Siapakah Ayah yang dapat dikatakan “BERHASIL” ?

Hizkia yang tidak bisa mendidik anak? Manasye yang diikuti oleh anaknya? Atau Amon, seorang jahat yang dapat menghasilkan anak yang baik? Jika menjadi orangtua adalah ‘pengaruh’, maka saya dapat pastikan bahwa Manasye-lah yang paling berhasil mendidik anak.

Jaman sekarang ini, ketika “Parenting” tengah diangkat dan “peran orangtua” sedang banyak digembar gemborkan, kita banyak mendengar bahwa seorang ayah atau orangtua, bertanggungjawab atas kelakuan anak mereka.

Ketika saya membuat status berisi komplain dengan iklan di mana seorag anak berkata “kepo ih” ke orangtuanya, seorang teman berkata bahwa “itu salah orangtua” kalau sampai seorang anak bisa terpengaruh dengan iklan itu dan berkata “kepo ih” ke orangtuanya.

Saya berkata bahwa, jika dikembalikan ke orangtua… memang pada akhirnya seluruh kejahatan di muka bumi ini adalah salah orangtua…

Apakah benar begitu?

Saya pernah menulis bahwa ketika seorang anak masuk ke dalam penjara, maka orangtuanya tidak perlu menanggung perbuatannya (demikian juga sebaliknya). Memang betul, orangtua diberi tanggungjawab khusus oleh Tuhan menjadi pahlawan yang mengarahkan anak panah ke sasaran yang tepat. Sejak kecil seorang anak perlu diarahkan ke sasaran yang benar.

Kembali ke contoh Hizkia hingga Yosia,.. tahukah Anda bahwa Yosia mendapat kemurahan dari Tuhan… Kerajaan Yehuda tidak dihancurkan pada jaman pemerintahannya. Yosia wafat karena terbunuh di medan perang, dan anaknya Elyakim, yang diganti menjadi Yoyakim oleh Firaun, menggantikan dia. Yoyakim ini, kembali melakukan apa yang jahat di mata Tuhan…seperti kakeknya.

Apa yang salah?

Anda mungkin berkata “mungkin Hizkia dan Yosia melupakan keluarganya selama mereka memerintah, mereka lupa mendidik anak-anak mereka”. Lalu bagaimana dengan Yosia? Siapa yang mendidiknya sehingga ia tidak meniru perbuatan Amon, ayahnya? Siapa yang mendidik Hizkia hingga ia tidak meniru perbuatan Ahas, ayahnya?

Saya menawarkan sebuah kata ajaib yang mungkin dapat menjadi jawaban dari permasalahan kita hari ini: PILIHAN!

Ketika Tuhan menciptakan manusia, disisipkannya hati nurani sebagai penanda, bahwa manusia merupakan mahluk istimewa yang Dia ciptakan. Ya! tak peduli bagaimana pun orangtua kita, Tuhan memberi kita pilihan.

Hizkia dan Yosia membuat pilihan yang benar. Sejak kecil ia mungkin tidak pernah mendengar tentang kebaikan dari orangtuanya, mungkin hanya dari ibunya saja (mungkin juga tidak). Kalaupun mereka mendengar dari ibunya saja, mereka tetap memiliki pilihan untuk mengikuti ayahnya, menjadi raja yang jahat, atau melakukan apa yang baik seperti Daud, leluhurnya.

Anda dan saya memiliki pilihan. Tak peduli bagaimana orangtua kita, tak peduli seperti apa lingkungan di mana kita berada, kita mempunyai pilihan untuk melakukan apa yang benar atau tidak.

Ketika kita memilih melakukan apa yang benar, Tuhan memberi kita balasannya,…Hizkia mendapat keberuntungan, dan Yosia lolos dari penghukuman akibat kesalahan orangtuanya.

Jadi… faktor apa yang mempengaruhi hidup Anda? Keturunan, lingkungan, atau hati nurani yang dititipkan Tuhan?

Mengakomodir Kemalasan


Pernahkah Anda makan di restoran cepat saji dan merasa malas cuci tangan? Sebuah rumah makan (atau mungkin lebih tepat disebut cafe) memahami Anda. Mereka menyediakan sarung tangan plastik di setiap meja.

Sarung tangan plastik yang disediakan bukanlah sarung tangan khusus untuk makan. Anda bisa menemukan sarung tangan seperti itu di wadah semir rambut atau dibundling dengan cairan pembersih porselen. Ya, sarung tangan plastik semacam itu.

Ketika makan ke rumah makan itu (yang kebetulan punya seorang teman), saya melihat sebagian besar tamu memilih untuk menggunakan sarung tangan itu untuk makan.

Saya kemudian bertanya kepada teman saya. Ketika kita makan dengan menggunakan tangan, mana yang lebih dikhawatirkan, tangan kita menjadi kotor OLEH makanan, atau makanan itu menjadi kotor oleh tangan kita? Anda bisa menangkap maksud saya bukan?

Saya menanyakan ini juga ketika melihat seorang ibu penjual Kebab pinggir jalan yang menggunakan sarung tangan plastik yang dilepas pakai berkali-kali dan disimpan di tempat yang tidak dapat dijamin kebersihannya. Saya bertanya pada teman saya,”ibu itu mengenakan sarung tangan supaya makanannya tidak kotor atau supaya tangannya tidak kotor?”

Jawaban yang kita harapkan tentunya adalah “untuk menjamin kebersihan makanan yang dia sajikan”, tapi jujur sajalah, kenyataannya adalah “supaya tangannya tidak kotor dan dia tidak perlu repot-repot cuci tangan setiap kali melayani pembeli”

Lucunya, sebuah maksud yang baik, atau setidaknya terlihat baik, seringkali tidak benar-benar membawa kebaikan.

Sebenarnya, jauh lebih aman dan bersih jika Anda menghabiskan beberapa menit berjalan ke wastafel, mencuci tangan dengan sabun, dan kemudian mencucinya lagi setelah Anda makan, daripada Anda menggunakan plastik yang tidak dapat dijamin kebersihan (mungkin saja terkena debu) dan keamanannya (siapa yang tahu reaksi kimia yang terjadi pada plastik yang terkena nasi panas).

Sesuatu yang baik seringkali tidak benar-benar membawa kebaikan. Anda dapat menemukan contohnya dalam sebuah keluarga dimana sang ayah yang sudah tua merupakan perokok berat. Semakin tua seorang pria, biasanya ia akan menjadi cerewet, makin menuntut, dan ingin diperhatikan.. Maka istri dan anak-anaknya biasanya mengabulkan apa saja keinginannya tanpa mempedulikan kesehatannya, termasuk memberinya rokok setiap hari, “asal diberi rokok, dia sudah senang”

Sesuatu yang terlihat baik seringkali tidak benar-benar membawa kebaikan. Jika Anda terus menerus mengabulkan keinginan anak Anda yang mengamuk di pusat perbelanjaan karena ingin diberikan sesuatu… Maka jangan heran jika sampai besar, anak-anak Anda yang memegang otoritas atas Anda.

Seringkali kebaikan didapatkan dari sedikit saja pengorbanan atau kesulitan.

Saya sedang mengalami kesulitan dengan wajah saya 2 tahun belakangan. Iritasi, komedo dan jerawat merupakan sumber masalahnya. Sedikit ekstra perhatian pada kulit mungkin dapat menyembuhkannya, malas sih.. Tapi jika dilakukan, hasilnya akan setimpal…

Dalam kasus anak mengamuk, sedikit rasa malu karena membentak anak di mall mungkin akan setimpal dengan pendidikan karakter yang akan diperoleh buah hati Anda.

Sesuatu yang terlihat baik, belum tentu benar-benar menghasilkan kebaikan… Kebaikan yang sebenarnya merupakan sesuatu yang eksak: benar atau salah! Sesuatu yang baik belum tentu sesuatu yang benar. Ketika Anda berusaha melakukan sesuatu yang baik, pastikan bahwa yang Anda lakukan itu sudah benar!

Tulisan saya kali ini pendek saja. Intinya, jika Anda orangtua, atau guru atau sahabat atau siapapun yang berusaha melakukan sesuatu yang baik… Pastikan bahwa kebaikan Anda juga adalah “benar”!

Petunjuk Menemukan Barang yang Hilang


Pertanyaan klasik yang banyak menjadi bahan dilematis adalah “Salahkah mengambil barang orang yang tertinggal?”

Beberapa orang menganggap bahwa jika suatu barang tertinggal, maka artinya sudah bukan lagi milik orang yang meninggalkannya. Beberapa kalimat penghapus dosa adalah “yang menemukan berarti memiliki” atau “salah sendiri kok bisa sampai ketinggalan” atau “saya kan ga mencuri, cuma menemukan”

Beberapa orang justru menganggap bahwa menemukan barang yang tertinggal adalah suatu berkat, sama seperti menemukan harta karun yang sudah berusia 100 tahun dan kepemilikannya sudah tidak dapat ditelusuri lagi.

Bagaimana menurut pandangan Saudara? Apakah salah jika kita mengambil barang orang yang tertinggal? Apakah menemukan barang yang tertinggal adalah suatu berkat seperti mendapat keuntungan di siang hari bolong?

Buat Saudara yang menduga-duga, apakah dosa mengambil barang yang tertinggal… Atau apakah mengambil barang yang tertinggal sama dengan mencuri, saya membawa suatu kabar baik… Saudara tidak perlu lagi berada dalam ketidakpastian karena ternyata Alkitab memberi kita petunjuk bagaimana jika kita menemukan barang yang tertinggal.

Ulangan 22:1-3  “Apabila engkau melihat, bahwa lembu atau domba saudaramu tersesat, janganlah engkau pura-pura tidak tahu; haruslah engkau benar-benar mengembalikannya kepada saudaramu itu.

Dan apabila saudaramu itu tidak tinggal dekat denganmu dan engkau tidak mengenalnya, maka haruslah engkau membawa hewan itu ke dalam rumahmu dan haruslah itu tinggal padamu, sampai saudaramu itu datang mencarinya; engkau harus mengembalikannya kepadanya.

Demikianlah harus kauperbuat dengan keledainya, demikianlah kauperbuat dengan pakaiannya, demikianlah kauperbuat dengan setiap barang yang hilang dari saudaramu dan yang kautemui; tidak boleh engkau pura-pura tidak tahu.

Saudara mungkin berkata, “ah… Itukan mahluk hidup”… Alkitab kita itu hebat… Dia menggunakan kasus yang sesuai dengan kondisi saat itu, namun inti dan pesan yang ingin disampaikannya tetap sama.

Jaman dahulu, harta kekayaan seseorang dilihat dari jumlah ternak yang mereka miliki… Abraham dikatakan kaya karena memiliki banyak ternak. Yakub berusaha mengambil hati Esau dengan ternak, dsb.

Hal pertama yang akan kita definisikan adalah “ternak dan barang” saudaramu. Saat ini mungkin kita dapat mendefinisikannya sebagai gadget, atau dompet. Ayat di atas berkata “keledai, pakaian dan SETIAP barang yang hilang”. Artinya tidak ada batasan dalam apa yang dimaksud dengan “barang” saudaramu.

Hal kedua yang akan kita definisikan adalah istilah “saudaramu”. Sebagian dari Anda mungkin berkata “iya, kalau punya Saudara sendiri sih saya balikin, kalau ga kenal orangnya sih diambil ga apa-apa”

Ternyata ada kondisi seperti ini pada ayat di atas:

Dan apabila saudaramu itu tidak tinggal dekat denganmu dan engkau tidak mengenalnya…

“Saudara” yang dimaksud dalam ayat di atas adalah sesama kita manusia, tak peduli apakah tinggalnya jauh atau dekat, tak peduli Anda mengenalnya atau tidak.

Oke, jadi kita sudah mendefinisikan dua hal penting, dan kesimpulan sementara adalah sebagai berikut: Jika Anda menemukan barang milik siapapun yang hilang atau tertinggal…

Sekarang kita lanjutkan ke pembahasan selanjutnya… Apa yang seharusnya dilakukan dengan barang hilang itu. Ayat di atas sudah memberikan aturan dan Standar Operasional Prosedur yang sangat baik:

1. Jangan pura-pura tidak tahu. Pura-pura tidak tahu bisa berarti pura-pura tidak lihat atau pura-pura tidak tahu bahwa itu milik orang lain.

2. Apakah Anda melihat sendiri orang itu menjatuhkan atau meninggalkan barangnya secara tidak sengaja? Jika ya, segera kembalikan pada orang tersebut. Jika tidak, lanjutkan ke langkah 4.

3. Apakah Anda tahu barang milik siapa yang Anda temukan? Atau apakah di barang tersebut ada identitas pemiliknya? Jika ya, segera kembalikan pada orang tersebut. Jika tidak, lanjutkan pada langkah berikutnya.

4. Jika jawaban untuk no 2 dan 3 adalah tidak, simpan dulu barang tersebut, tunggu sampai orang itu mencarinya.

A. Supaya orang itu tahu data Anda, di jaman sekarang, Anda dapat meninggalkan alamat atau pin BB atau bagaimanapun caranya Anda dapat dihubungi

B. Jika barang tersebut adalah handphone, tablet atau sejenisnya… Anda harus mengangkat telephone yang masuk. Hal paling tabu yang tidak boleh Anda lakukan adalah mematikan gadget atau mengganti kartu SIM.
Intinya, Anda HARUS memastikan bahwa Anda dapat dihubungi

5.  Simpan barangnya pada Anda, jangan digunakan atau dimiliki.

6. Kembalikan kepada orang itu tanpa mengharapkan imbalan.

Jadi sekarang kesimpulannya adalah “jika Anda menemukan barang milik siapapun yang hilang atau tertinggal, Anda harus berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikannya”

Sebagian dari Anda mungkin ada juga yang berkata, “ah, itu kan taurat”. Benar sekali… Dan Yesus sudah melengkapinya dengan

Lukas 6:31  Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.

Anda ingin barang-barang Anda yang tidak sengaja Anda hilangkan kembali pada Anda? Perbuatlah begitu juga pada barang-barang orang lain yang Anda temukan.

Pencitraan, Reputasi dan Tekanan…


Suatu kata yang menjadi marak menjelang pemilu adalah “pencitraan”. Pencitraan adalah ketika seseorang berusaha memberikan citra / image positif di mana orang yang melihatnya.

Sebenarnya “pencitraan” merupakan bentuk halus dari sebuah kata makian yang kita kenal sejak lama, yaitu “cari muka”, bedanya pencitraan dilakukan pada saat-saat di mana penilaian akan dilakukan.

Jika Anda seorang guru atau guru sekolah minggu, Anda akan tahu trik ini: “siapa yang duduk palin rapi akan mendapat hadiah…”, kemudian terjadilah di depan hidung saudara, anak-anak itu melakukan pencitraan… Continue reading

Suap, kompromi dan hati nurani


Menjelang pemilu, ada begitu banyak spanduk, stiker dan brosur disebarkan demi kepentingan sebuah kursi dewan. Di media sosial kita melihat begitu banyak spanduk calon legislatif yang aneh-aneh, mulai dari gambar superhero yang dilibatkan sampai slogan yang luar biasa aneh.

Saat ini slogan dari anti politik uang yang begitu banyak digunakan oleh caleg-caleg yang (mengaku) bersih dari politik uang, adalah “ambil uangnya, jangan pilih orangnya” Continue reading

Semua tidak sia-sia


Waktu berjalan begitu cepat,
Tidak… Dia berlari…
Atau bahkan terbang…

Aku mengingat kalian sebagai anak-anak
Namun tiba-tiba kalian sudah remaja
Aku mengingat kalian…
Ketika menggandeng tanganku
Namun tiba-tiba aku bertemu kalian
Berjerawat dengan tatapan malu khas remaja
“Kakak masih ingat?” Continue reading