Ketika Ayah dan Anak tidak sama saja


Saya sedang mempersiapkan bahan untuk Firman Tuhan minggu ini ketika tiba-tiba saja sesuatu menarik perhatian saya. Terkadang memang sesuatu yang sudah sering kita dengar tiba-tiba saja PLOP! melompat keluar dan menarik perhatian kita. Saya tertarik dengan Manasye, Amon dan Yosia.

Sebagian dari Anda mungkin bertanya-tanya, siapa itu Manasye, Amon dan Yosia. Sementara sebagian lagi mungkin langsung tahu siapa mereka bertiga. Ya, mereka adalah raja Yehuda dari Perjanjian Lama. Manasye sendiri adalah anak dari Hizkia, seorang raja yang berbuat benar di mata Tuhan, pernah meminta perpanjangan usia dan dikabulkan oleh Tuhannya Israel.

Manasye menjadi raja pada usia yang sangat muda, yaitu 12 tahun. Usia 12 tahun adalah ketika seorang anak tidak mau lagi disebut anak-anak, tapi juga terlalu muda untuk dapat dikatakan remaja. Di saat anak seusianya mungkin bermain dan berburu, Manasye telah menjadi raja menggantikan ayahnya yang mangkat.

Hal yang menarik perhatian saya adalah karena kelakuan Manasye berbeda jauh dengan kelakuan ayahnya. Alkitab mencatat Hizkia sebagai raja yang “melakukan apa yang benar di mata TUHAN, tepat seperti yang dilakukan Daud, bapa leluhurnya.”, sedangkan Manasye dicatat sebagai raja yang “melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, sesuai dengan perbuatan keji bangsa-bangsa yang telah dihalau TUHAN dari depan orang Israel.”

Manasye ini, seharusnya telah melihat apa yang ayahnya lakukan seumur hidupnya. Ini yang Alkitab catat mengenai Hizkia (diambil dari II Raja-Raja 18:4-7)

Dialah yang menjauhkan bukit-bukit pengorbanan dan yang meremukkan tugu-tugu berhala dan yang menebang tiang-tiang berhala dan yang menghancurkan ular tembaga yang dibuat Musa, sebab sampai pada masa itu orang Israel memang masih membakar korban bagi ular itu yang namanya disebut Nehustan.

Ia percaya kepada TUHAN, Allah Israel, dan di antara semua raja-raja Yehuda, baik yang sesudah dia maupun yang sebelumnya, tidak ada lagi yang sama seperti dia.

Ia berpaut kepada TUHAN, tidak menyimpang dari pada mengikuti Dia dan ia berpegang pada perintah-perintah TUHAN yang telah diperintahkan-Nya kepada Musa.

Maka TUHAN menyertai dia; ke manapun juga ia pergi berperang, ia beruntung.

 

Seharusnya Manasye melihat bagaimana ayahnya telah menjadi raja yang beruntung kemanapun ia pergi berperang, dan seharusnya Manasye tahu bahwa yang menyebabkan ayahnya beruntung adalah karena Tuhan menyertai dia.

Namun Manasye justru melakukan hal yang sebaliknya. Bukit-bukit pengorbanan yang telah dimusnahkan oleh ayahnya didirikan kembali oleh Manasye. Seolah menganggap bahwa Hizkia adalah saingannya dan bukan ayahnya, ia melakukan apa yang dibenci oleh ayahnya selama ia masih hidup. Bukannya mengidolakan ayahnya, ia malah melakukan apa yang dilakukan Ahab, Raja Israel (Di jaman itu, Tuhan sudah memecah Kerajaan Israel dan Yehuda), yaitu membangun mezbah-mezbah untuk Baal dan membuat patung Asyera, dan sujud menyembah kepada segenap tentara langit dan beribadah kepadanya.

Tak cukup hanya itu, hal terburuk yang dilakukan Manasye adalah ia mengorbankan anaknya sendiri dalam api dan membuat mezbah untuk tentara langit di pelataran rumah Tuhan.

Cukup lama Manasye memerintah, lima puluh lima tahun. Waktu yang cukup lama untuk dilihat oleh anak-anaknya. Waktu yang cukup lama untuk membuat bangsa Israel jauh dari Tuhan.

Namun berbeda dengan Hizkia yang tidak ditiru oleh anaknya. Manasye digantikan oleh seorang anak yang berkelakuan persis seperti dia. Amon, anak Manasye segera naik tahta setelah Manasye mangkat. Amon melakukan apa yang jahat, persis seperti ayahnya. Dia beribadah dan memberikan persembahan kepada dewa-dewa yang disembah oleh ayahnya.

Tak lama-lama Amon menjadi raja, hanya dua tahun saja. Rupanya ia bukan atasan yang baik, Amon mati di tangan pegawai-pegawainya sendiri, menyisakan tahtanya untuk anaknya yang masih berusia delapan tahun… YOSIA.

Yosia ini adalah seorang anak yang sudah pasti tidak mengenal kakek buyutnya, Hizkia. Sepanjang hidupnya ia menyaksikan kekejian demi kekejian yang dilakukan baik oleh kakeknya maupun oleh ayahnya. Namun sesuatu yang mengherankan terjadi, Yosia “melakukan apa yang benar di mata TUHAN dan hidup sama seperti Daud, bapa leluhurnya, dan tidak menyimpang ke kanan atau ke kiri.” (II Raja-raja 22:2)

Dalam masa pemerintahan Yosialah kitab Taurat ditemukan, setelah hilang (entah terselip atau terlupa) karena tidak diperhatikan di jaman kakeknya. Berdasarkan kitab tersebut, Yosia mengadakan pembaharuan agama. Anda bisa membaca sendiri apa yang dilakukan Yosia pada 2 Raja-raja 23.

Hal yang ingin saya bahas di sini mungkin di luar perkiraan Anda. Menurut Anda, dari antara Hizkia, Manasye, dan Amon… Siapakah Ayah yang dapat dikatakan “BERHASIL” ?

Hizkia yang tidak bisa mendidik anak? Manasye yang diikuti oleh anaknya? Atau Amon, seorang jahat yang dapat menghasilkan anak yang baik? Jika menjadi orangtua adalah ‘pengaruh’, maka saya dapat pastikan bahwa Manasye-lah yang paling berhasil mendidik anak.

Jaman sekarang ini, ketika “Parenting” tengah diangkat dan “peran orangtua” sedang banyak digembar gemborkan, kita banyak mendengar bahwa seorang ayah atau orangtua, bertanggungjawab atas kelakuan anak mereka.

Ketika saya membuat status berisi komplain dengan iklan di mana seorag anak berkata “kepo ih” ke orangtuanya, seorang teman berkata bahwa “itu salah orangtua” kalau sampai seorang anak bisa terpengaruh dengan iklan itu dan berkata “kepo ih” ke orangtuanya.

Saya berkata bahwa, jika dikembalikan ke orangtua… memang pada akhirnya seluruh kejahatan di muka bumi ini adalah salah orangtua…

Apakah benar begitu?

Saya pernah menulis bahwa ketika seorang anak masuk ke dalam penjara, maka orangtuanya tidak perlu menanggung perbuatannya (demikian juga sebaliknya). Memang betul, orangtua diberi tanggungjawab khusus oleh Tuhan menjadi pahlawan yang mengarahkan anak panah ke sasaran yang tepat. Sejak kecil seorang anak perlu diarahkan ke sasaran yang benar.

Kembali ke contoh Hizkia hingga Yosia,.. tahukah Anda bahwa Yosia mendapat kemurahan dari Tuhan… Kerajaan Yehuda tidak dihancurkan pada jaman pemerintahannya. Yosia wafat karena terbunuh di medan perang, dan anaknya Elyakim, yang diganti menjadi Yoyakim oleh Firaun, menggantikan dia. Yoyakim ini, kembali melakukan apa yang jahat di mata Tuhan…seperti kakeknya.

Apa yang salah?

Anda mungkin berkata “mungkin Hizkia dan Yosia melupakan keluarganya selama mereka memerintah, mereka lupa mendidik anak-anak mereka”. Lalu bagaimana dengan Yosia? Siapa yang mendidiknya sehingga ia tidak meniru perbuatan Amon, ayahnya? Siapa yang mendidik Hizkia hingga ia tidak meniru perbuatan Ahas, ayahnya?

Saya menawarkan sebuah kata ajaib yang mungkin dapat menjadi jawaban dari permasalahan kita hari ini: PILIHAN!

Ketika Tuhan menciptakan manusia, disisipkannya hati nurani sebagai penanda, bahwa manusia merupakan mahluk istimewa yang Dia ciptakan. Ya! tak peduli bagaimana pun orangtua kita, Tuhan memberi kita pilihan.

Hizkia dan Yosia membuat pilihan yang benar. Sejak kecil ia mungkin tidak pernah mendengar tentang kebaikan dari orangtuanya, mungkin hanya dari ibunya saja (mungkin juga tidak). Kalaupun mereka mendengar dari ibunya saja, mereka tetap memiliki pilihan untuk mengikuti ayahnya, menjadi raja yang jahat, atau melakukan apa yang baik seperti Daud, leluhurnya.

Anda dan saya memiliki pilihan. Tak peduli bagaimana orangtua kita, tak peduli seperti apa lingkungan di mana kita berada, kita mempunyai pilihan untuk melakukan apa yang benar atau tidak.

Ketika kita memilih melakukan apa yang benar, Tuhan memberi kita balasannya,…Hizkia mendapat keberuntungan, dan Yosia lolos dari penghukuman akibat kesalahan orangtuanya.

Jadi… faktor apa yang mempengaruhi hidup Anda? Keturunan, lingkungan, atau hati nurani yang dititipkan Tuhan?