Lebih dari enam bulan rakyat Indonesia menanti-nantikan akhir drama pembunuhan Yosua Hutabarat yang dilakukan atasannya Ferdy Sambo dan beberapa anak buahnya.
Saya menyebutnya “drama” karena si pelaku utama, Irjen Ferdy Sambo dan istri terus berkelit membuat banyak skenario baru yang seringkali tidak masuk akal.
Hari ini adalah sidang penetapan hukuman untuk Richard Eliezer, yang berubah dari pelaku utama menjadi seorang ajudan yang taat kepada pemimpin.
Richard Eliezer dididik dalam militer polisi, tidak diajar untuk berpikir, hanya taat saja. Baginya, melawan perintah atasan sama berbahayanya seperti menyanggupi membunuh itu sendiri.
Richard Eliezer memiliki hati nurani. Hati nuraninya berkata bahwa membunuh adalah hal yang salah. Dia berdoa kepada Tuhan… sesuatu yang aneh karena jawaban Tuhan “membunuh atau tidak membunuh” seharusnya sudah jelas. Rasa takut dan taat pada pimpinan melebihi ketaatan pada perintah Tuhan “Jangan Membunuh”
Tuhan tidak mengabulkan doanya agar atasannya berubah pikiran. Bagaimana bisa, jika orang membiarkan setan menguasai pikirannya, Tuhan pun akan diabaikannya. Lagipula apa yang dia harapkan? Tuhan tiba-tiba membuat Sambo bertobat? Dia bisa! Tapi Dia memilih untuk menyerahkan pilihan pada anak-anakNya.
Akhirnya, pilihan dibuat, pistol dicabut dan ditembakkan. Hati nurani menutup telinga, rasa keadilan bersembunyi, peluru terlontar seiring jari menarik pelatuk. Nyawa seorang teman dihantar menuju pencipta-Nya.
Nasi sudah menjadi bubur, atasan menyelesaikan apa yang sudah dimulai oleh Bharada Richard. Nyawa sahabat dihabisi… dan skenario demi skenario pun dibuat.
Tapi ternyata hati nurani dan rasa keadilan belum sepenuhnya buta dan tuli. Mereka muncul ke permukaan. Dia sudah membunuh, nyawa sahabat tak bisa kembali, tapi setidaknya keluarga korban bisa mendapat keadilan. Kali ini keputusan yang benar dibuat: menjadi Justice Collaborator
Ini drama menarik. Lebih menarik karena di akhir drama, Richard Eliezer menunjukkan bahwa ketika seseorang memilih melakukan apa yang benar, Tuhan bersama mereka. Pilihan Richard menunjukkan bahwa sekalipun orang benar jatuh, dia tak akan sampai tergeletak, karena Tuhan memegang tangannya.
Tak sampai setahun dari sekarang Richard Eliezer akan dibebaskan. Dia divonis 1.5 tahun dipotong masa tahanan (yang sudah dijalaninya 7 bulan). Kabarnya, jika masa hukuman tidak sampai dua tahun, dia tidak akan dipecat dari kepolisian.
Kasus ini sedikit banyak mengingatkan saya pada kematian Yudas Iskariot. Keputusan pertama yang salah dibuat, tapi alih-alih bertobat dan membuat keputusan yang benar, dia menambahi kesalahan dengan kesalahan berikutnya, yaitu bunuh diri.
Juga kepada Petrus si penyangkal. Keputusan pertama yang salah dibuat… namun dia memutuskan bertobat dan sampai hari ini kita mengenalnya sebagai rasul yang dipakai luar biasa.
Kesalahan dibuat orang benar… tapi ketika dia memutuskan untuk bertobat, Tuhan mengangkatnya, dia tak akan sampai tergeletak.
Akhirnya… hati nuranilah yang menjadikan kita manusia… Tuhan berbisik di dalamnya, dengarkanlah…