Hari itu adalah hari penentu kelulusannya. Setelah dua belas tahun sekolah, akhirnya tibalah hari Ujian Nasional, hari yang ditunggu-tunggu seluruh siswa SMA di Indonesia.
Dia sudah belajar sejak beberapa hari yang lalu, tidak ada kesulitan baginya, dia adalah bintang kelas sejak dulu.
Ibunya menaruh harapan padanya. Mereka memang bukan dari keluarga kaya, apalagi setelah ayahnya meninggal. Tapi ibunya berjanji bahwa dia tidak perlu bekerja selepas sekolah, hanya perlu belajar rajin untuk masuk universitas negeri ternama, dan ibunya akan berusaha mencukupi semuanya.
Di sekolah, ia termasuk salah satu siswa berprestasi, semua orang menyukainya Ya, semua orang kecuali Dimas, si anak orang kaya itu. Dimas menganggapnya saingan karena dulu sebelum ia pindah ke sekolah ini, Dimas adalah juara umum sekolah, tapi sekarang tidak lagi sejak ia masuk.
Lucunya, dia tidak pernah berjuang keras untuk mendapat juara umum. Baginya, yang penting adalah hubungan baik dengan semua orang, seperti yang dinasihatkan ayahnya padanya.
Dia selalu ingat saat kecil, ayahnya selalu bilang, “kasihi orang lain seperti kau mengasihi dirimu”, dan dia pernah bertanya, “orang lain itu siapa, pak?”
“Orang lain itu semua orang nak, tidak terkecuali” jawab ayahnya.
“Apa sih maksudnya kita harus mengasihi semua orang, pak?”
“Artinya, kau harus memperlakukan orang lain seperti kau ingin diperlakukan. Jangan membentak, jika kau tak ingin dibentak. Tolong orang lain, jika kau ingin ditolong.
Intinya, apapun yang kau ingin orang lain perbuat padamu, perbuat juga demikian pada mereka.”
Ya, dia selalu ingat nasihat ayahnya yang itu. Bahkan saat terakhir ayahnya pun, di tempat tidurnya ayahnya berkata, “Di, ingat apa yang bapak pernah bilang ya, kasihi semua orang”
Di rumahnya, Dimas pun sedang bersiap-siap. Dia sudah merencanakan sesuatu. Dia harus menang dari Hardi kali ini. Nilainya harus lebih bagus dari nilai Hardi. Ini pertarungan terakhir, dan dia harus memenangkannya.
Sejak kemarin malam dia sudah merencanakan hal ini, dan dia sangat puas dengan rencananya. Dia tidak sabar ingin sampai ke sekolah.
Dimas berasal dari keluarga kaya. Ayahnya berambisi agar ia menjadi dokter spesialis terbaik. Walau Dimas sebenarnya ingin sekolah Desain Interior, tapi ayahnya tidak peduli, dan dia mulai masuk dalam ambisi ayahnya, mendapat nilai terbaik di sekolah.
Dulu, ia akan dipukuli jika nilainya kurang dari 9. Ia masih ingat peralatan gambarnya dihancurkan dan diinjak-injak ayahnya ketika ia hanya mendapat ranking 3 di kelas 4 SD, karena ia baru menemukan hobi barunya, melukis.
Hardi, dia menyebabkan pertengkaran dengan ayahnya semakin menjadi. Ayahnya tidak percaya kalau Dimas tidak bisa mendapat juara umum 1 setelah Hardi masuk. Ayahnya selalu marah setiap bagi rapot. Itu yang membuat ia membenci Hardi.
Dia memacu motornya dengan sekencang-kencangnya. Pikirannya dipenuhi niat untuk membalas Hardi, mencuranginya dan membuatnya gagal dalam ujian itu.
Saking sibuknya menyusun rencana, ia tidak melihat kalau di depannya ada dua preman sedang berjalan ke arahnya. Saat itu masih pukul enam pagi dan lalu lintas masih sepi.
Ia tidak sadar hingga kedua preman itu menghantamkan tongkat ke perutnya hingga terjatuh. Salah satunya langsung naik ke motornya, dan yang satu lagi memukulinya hingga babak belur. Kemudian kedua preman itu meninggalkannya begitu saja.
Tak ada seorang pun yang berani menolongnya. Entah karena takut preman itu balik lagi, entah karena tidak peduli.
Tak lama lewatlah bapak pendeta. Dimas tahu itu bapak pendetanya karena ayahnya adalah salah satu majelis. Mungkin bapak pendeta akan memimpin doa pagi.
Bapak pendeta itu melihat Dimas dari mobilnya, babak belur. Namun bapak pendeta tidak mengenalinya karena Dimas jarang ke gereja dan wajahnya saat itu penuh darah.
Setelah berhenti sebentar, melihat Dimas dari kaca mobilnya, dan memutuskan untuk tidak mengenalnya, bapak pendeta berlalu begitu saja, dia sudah terlambat memimpin doa pagi karena semalam memimpin persekutuan doa malam hingga larut malam.
Dimas tak kuat memanggil bapak pendeta itu. Jadi ia pun terkulai lemas, menanti pertolongan. Semua barangnya diambil oleh preman tadi.
Tak lama lewat seorang ustad tetangganya. Ia tidak kenal dengan ustad itu, hanya tau saja. Ustad itu seharusnya tahu dirinya.
Ustad itu melihat dirinya babak belur. Namun memutuskan untuk tidak mengenalnya, lalu berlalu begitu saja. Dimas pun tak kuat berteriak sekali lagi terkulai lemas, kali ini pingsan.
Tak lama Hardi lewat tempat itu, saat itu sudah pk. 7 pagi. Tak lama lagi ujian dimulai. Hardi melihat Dimas dan sangat mengenalnya.
Hardi bimbang sejenak. Tak mungkin dia meninggalkan Dimas begitu saja, namun tak mungkin juga dia tak ikut Ujian Nasional. Bagaimana jika ini berarti kesempatannya masuk perguruan tinggi lenyap?
Namun tiba-tiba terngiang apa kata ayahnya, “perbuatlah pada orang lain, apa yang kau ingin orang lain perbuat padamu”.
Hardi mengambil keputusan, turun dari motornya, dan menolong Dimas. Dipanggilnya taksi, dimintanya bantuan orang-orang, ia pun mengikuti taksi itu ke rumah sakit.
Di rumah sakit, ia langsung memasukkan Dimas ke unit gawat darurat, berusaha mencari nomor telepon rumah Dimas, namun tak seorang pun mengangkat teleponnya.
Ia pun mengeluarkan dompetnya, mengambil ATM, dan menguras isinya. Tabungan sejak ayahnya meninggal, disimpannya untuk kelak ia dapat membantu ibunya. Diurusnya administrasi rumah sakit agar Dimas dapat segera diproses.
Ia melewatkan hari itu dengan mengurusi Dimas. Saat ia ke sekolah untuk meminta guru menghubungi orangtua Dimas, ujian sudah selesai dan sekolah menolak memberi ujian susulan.
Di rumah, saat ia memberitahu ibunya apa yang terjadi, ibunya marah besar. Sejak dulu, ibunya memang tak seperti ayahnya.
Ibunya berasal dari keluarga kaya yang bangkrut dan kesal karena menikahi pegawai biasa seperti ayah Dimas.
…
Cerita ini saya hentikan sampai sini, terdengar seperti cerita anak-anak biasa? Mungkin… Tapi saya ingin mengajak kita semua merenungkan.
Orangtua, nilai apa yang sudah kita tanamkan pada anak-anak kita. Prioritas apa yang kita ingin agar mereka miliki? Nilai bagus, atau kasih?
Guru, nilai apa yang sudah kita tanamkan pada anak didik kita? Prioritas apa yang kita ingin agar mereka miliki? Mengerjakan PR dan tugas sekolah atau kasih?
Ini seharusnya menjadi bahan perenungan kita. Masa depan bangsa seperti apa yang sedang kita bentuk?
Greissia