Setelah Facebook


Sudah lama tidak menulis dan tidak bermedia sosial. Sejak facebook kurang diminati dan isinya hanya orang yang berjualan online, rasanya malas sekali menulis. Karena selama ini hanya “mempromosikan” tulisan dari facebook. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, saya lebih sering menulis untuk diri sendiri, syukur-syukur jika memang itu bisa berguna buat orang lain.

Facebook sekarang berisi berita, curhat, foto-foto yang merupakan sinkronisasi dari instagram, sehingga jika ada tulisan kurang bermutu seperti blog saya ini (yang kebanyakan ditulis untuk kepuasan diri sendiri), akhirnya akan dilewatkan begitu saja. Yaah, begitulah kehidupan, hal-hal tidak penting akan dilewatkan begitu saja.

Ngomong-ngomong soal hal-hal tidak penting. Saya sedang berpikir bahwa ada terlalu banyak hal dalam kehidupan yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk diperhatikan. Seiring bertambahnya usia, hal-hal yang tadinya kita anggap penting tidak lagi akan kita anggap penting.

Sebelumnya membuka facebook, posting status atau upload gambar adalah hal yang penting. Kemudian komentar orang-orang terhadap foto kita, adalah hal yang penting juga. Kita menjadi kesal ketika ada komentar yang tak sepaham dan senang bukan kepalang jika ada yang mendukung kita. Kita menjadi senang hanya karena hal tidak penting seperti jumlah like di foto kita atau komentar “cantik”.

Namun seiring berjalannya waktu, kita menjadi bosan dan hal-hal seperti itu tidak penting lagi, bukan?

Dulu saya banyak menulis karena melihat ada begitu banyak hal ironis dalam kehidupan. Sekarang saya melihat bahwa hal-hal ironis adalah normal dalam hidup. Apa yang bisa kita harapkan dari hidup di dunia? Surga di dunia hanya bisa kita rasakan jika kehendak Bapa jadi sepenuhnya dalam dunia ini, persis seperti doa Yesus.

Dulu saya akan melihat ditabrak motor kemudian ‘dipalakin’ pengendara motor yang bersalah itu adalah sebuah ironi, konyol, tidak masuk akal. Sekarang saya sudah bisa menerima bahwa di negeri ini, memang itu normal terjadi, tak perlu dituliskan, tak perlu dibahas, toh tak akan berubah juga.

Lalu saya berpikir, bukankah akhirnya sebuah kerusakan sistem dimulai dari toleransi terhadap kesalahan-kesalahan kecil? Ah, tapi masa bodoh dengan semuanya. Apa gunanya jika suara kita toh tidak akan membawa perubahan.

Akhirnya bukankah setiap orang akan hidup untuk dirinya sendiri?

26 Oktober 2019, dari otak yang sedang kusut.

 

KLAKSON


Sebuah pemikiran singkat lagi…
 
Suatu hari, saya pernah bertemu dengan pertigaan, ketika mencari sebuah jalan (dan tidak ketemu). Saya ingin kembali ke jalan utama, ketika berhadapan dengan pertigaan itu. Sebuah keputusan harus segera dibuat, belok kanan atau kiri. Menurut analisa saya, akan lebih dekat jika saya belok kiri saja. Karena tidak ada larangan belok kiri saya pun langsung belok kiri.
 
TIdak sampai 10 meter ketika banyak motor dari arah berlawanan mengklakson saya, banyak bapak-bapak meneriaki saya. Menyadari ada yang salah, saya membuka jendela dan bertanya pada supir angkot yang lewat “ini satu arah ya Pak”
 
Seorang bapak yang baik hati yang sedang berjalan kaki di sebelah kiri mobil mempersilahkan saya melakukan putar balik ke arah yang berlawanan dan akhirnya saya kembali di arah yang benar.
 
Klakson dipasang untuk memberi peringatan bahaya, semacam alarm yang perlu kita tekan untuk memperingatkan mobil lainnya (sudah jelas bukan dibuat untuk pengemudi mobil itu sendiri, bukan?).
 
Namun akhir-akhir ini banyak orang yang belum paham soal demokrasi berjalan raya. Ketika mereka main HP sambil naik motor sehingga hampir mengambil jalan orang yang berbahaya dan diberi klakson peringatan oleh kendaraan di belakangnya, bukannya berterimakasih mereka malah marah dan sibuk ingin mempolisikan orang yang memberinya peringatan.
 
Atau saya pernah bercerita soal motor yang tiba-tiba memotong jalan saya dengan kaki penumpang direntangkan, kemudian berkendara zigzag tidak keruan, dan tidak mengenakan helm. Karena kuatir mengendara di belakang yang bersangkutan, saya pun mengklakson dan saat ada kesempatan menyusulnya dari kanan. Tidak terima, motor itu mengejar saya, kemudian memaki-maki saya di jalanan karena tidak suka diklakson dan didahului.
 
Padahal, klakson bukanlah alat penghakiman, melainkan alat peringatan. Anda tidak serta merta masuk ke penjara ketika diklakson orang. Nama baik Anda tidak serta merta rusak ketika Anda diklakson orang.
 
Saya pernah diklakson orang berkali-kali, merasa ada yang salah, membuka kaca mobil dan benar saja, yang bersangkutan ingin memberitahu bahwa pintu mobil saya belum tertutup dengan rapat.
 
Jangan menganggap bahwa klakson orang lain adalah serangan pada pribadi kita. Mungkin itu hanya alarm peringatan yang diberikan orang lain agar kita kembali ke jalur yang benar, atau karena ada yang tidak beres dengan kendaraan kita. Kalau bunyi klakson itu beranekaragam, bukankah memang mereka diciptakan berbeda-beda… Ada yang bunyi HONKKKKK, ada yang bunyi DIT DITTTT ada yang berbunyi TEEEEETTT… tidak masalah dengan bunyinya, bukan?

I ONCE WAS BLIND


Sebuah pemikiran singkat…
Katakanlah, lima tahun yang lalu Anda menjadi seorang pecandu narkoba, kemudian Anda bertobat. Anda merasa Tuhan menunjukkan jalan yang benar dan dengan pertolongan-Nya Anda dapat berbalik dari kecanduan narkoba dan berhasil memulihkan diri.
 
Kemudian hari ini, lima tahun kemudian, seseorang berhasil menemukan catatan bahwa Anda dulu pernah menjadi seorang pecandu narkoba dan mengungkit hal tersebut.
 
Apa yang akan Anda lakukan?
 
Jika Anda sudah benar-benar berbalik, berkat pertolongan Tuhan, saya yakin Anda tidak akan marah. Sebaliknya Anda berkata “I once was blind, but now I see, was lost but now i am found” (Saya dulunya buta, tapi sekarang melihat. Dulunya terhilang, sekarang ditemukan).
 
Anda tidak akan mencak-mencak dan membenarkan perilaku kecanduan narkoba. Anda tidak akan menunjukkan jari pada siapa saja yang mengkritik perilaku pencandu narkoba dan berkata “tidak perlu menghakimi orang lain” atau “memangnya Anda sendiri tidak punya dosa”.
 
Ada batasan yang jelas antara kritik dengan penghakiman. Menunjukkan kesalahan itu kritik, memvonis itu menghakimi. Kritik berujung pada perbaikan, penghakiman berujung pada hukuman…
 
Ketika kita sudah mengakui bahwa “dulunya saya tidak benar”, maka tidak perlu marah ketika ada orang yang mengecam perilaku tidak benar yang Anda lakukan tempo hari. Justru Anda juga harus ikut ambil bagian dalam barisan orang yang mengecam kebiasaan lama Anda, bukankah kebiasaan itu buruk, dan saking buruknya maka Anda memutuskan untuk berubah.
 
Tidak ada salahnya berkata, “ya, itu lima tahun yang lalu…. saat-saat di mana saya masih buta dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Sekarang saya sudah berubah, mudah-mudahan saya bisa terus dalam keadaan seperti ini sehingga kalian bisa melihat perubahan yang baik dalam diri saya. Karena terus terang saja, Tuhan yang membuat saya berubah”

Air untuk Raja


Hari ini saya mendengar kotbah yang luar biasa dari seorang Hamba Tuhan di salah satu gereja di Kota Bandung. Kotbahnya tentang tiga orang pahlawan yang mengambilkan air dari Sumur Bethlehem untuk Daud (I Tawarikh 11:15-19). Bapak Pendeta menyamakan air dari sumur Bethlehem dengan “Air Hidup dari Bethlehem”, dan seterusnya, dan seterusnya…

Saya diberkati oleh Firman Tuhan yang dibagikan tersebut, namun ketika saya merenungkannya, saya mendapat hal lain dari kisah yang luar biasa tersebut.

Kisah itu adalah tentang tiga orang terbaik Daud yang mendengar keinginan Daud: ingin minum air dari sumur Di Bethlehem. Kondisinya saat itu Bethlehem sedang dikuasai oleh militer Filistin, sehingga hampir tidak mungkin mengambil air dari sumur tersebut.

Mendengar keinginan Daud, tiga orang ini menerobos perkemahan Filistin untuk mengambil air dari Sumur Betlehem. Setelah mereka memperoleh air itu, mereka membawanya kepada Daud.

Sampai sini saya membayangkan kondisinya jika saya menjadi satu dari tiga orang itu. Apa yang akan saya rasakan ketika Daud akhirnya meminum air yang saya dapatkan dengan mempertaruhkan nyawa. Jika Anda menjadi satu dari tiga orang itu, apa yang akan Anda rasakan saat Daud meminum air yang Anda peroleh dengan pertaruhan nyawa? Senang? Puas? Bahagia?

Tentu Anda senang ketika pemimpin Anda “menikmati” hasil dari kerja keras Anda, bukan?

Apa yang terjadi dengan air itu? Daud tidak meminumnya, malah mencurahkan air itu sebagai korban untuk Tuhan.

Saya bayangkan lagi apa yang terjadi saat itu. Ketiga orang itu melihat ketika air itu dituangkan ke tanah, dipersembahkan kepada Tuhan. Apa yang mereka rasakan? Mana yang lebih mereka sukai? Air itu diminum oleh Daud atau dipersembahkan kepada Tuhan.

Para pemimpin, khususnya pemimpin gereja, seringkali Anda menuntut orang yang Anda pimpin melakukan ini dan itu, terkadang sesuatu yang tidak masuk akal. Mengharapkan mereka untuk memenuhi standar Anda yang luar biasa tinggi: “menerobos pertahanan musuh untuk mendapatkan ‘air hidup dari Betlehem'”.

Namun seringkali ketika anak buah Anda mendapatkan keberhasilan, yang Anda lakukan adalah ‘meminum air’ itu. Anda meminumnya dengan rakus, berharap nama Anda semakin besar, Anda semakin terkenal .

Percayalah, jika Daud meminumnya, ketiga orang itu tidak akan disebutkan sebagai ‘pahlawan’ dalam ayat ke 19. Mungkin jabatan mereka hanya sebagai “orang terbaiknya Daud” (ayat 15).

Karena Daud mempersembahkan air itu untuk Tuhan, maka ketiga orang itu dituliskan Alkitab sebagai “pahlawan”.

Ketika nama Yesus ditinggikan, dan setiap perbuatan baik dan keberhasilan dipersembahkan kepada Tuhan, Dia akan menarik semua orang datang kepada-Nya, dan kita akan menjadi pahlawan-pahlawan Tuhan…

PGI dan LGBT: Sebuah Ulasan dari Orang Awam


Rasanya kurang pantas jika saya membuat semacam surat terbuka, atau mengomentari Pernyataan Pastoral tentang LGBT yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekjen PGI (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia), karena saya bukan pendeta dan tidak memiliki titel teologis apapun. Saya hanyalah seorang guru dan trainer yang banyak memberikan pertanyaan pancingan (selain mengajar tentu saja), dan seorang Management Consultant yang banyak memberikan pertanyaan jebakan supaya klien saya melihat lebih jernih, juga seorang penulis realis yang senang mengkritisi apa yang sedang terjadi. Jadi, ijinkan saya, melalui tulisan ini, mengajukan beberapa pertanyaan untuk direnungkan (saya tidak cukup PD untuk menulis ‘direnungkan oleh Yang Terhormat Ketua PGI’)

Beberapa hari ini umat Kristen merasa dikejutkan oleh sebuah Surat Pastoral ber-kop PGI dan bertandatangan Ketua Umum dan Sekjen PGI, isinya membahas mengenai pandangan gereja PGI mengenai LGBT. Di surat sepanjang 5 halaman tersebut, Yang Terhormat para Pengurus PGI membaginya menjadi  Surat Pendahuluan, Pengantar (poin 1 – 3), Titik Tolak (poin 4 – 7), Rekomendasi (poin 8 – 12) dan Penutup (Poin 13-14). Bagi Saudara yang penasaran dan belum pernah membaca, berikut saya berikan PDF yang saya buat dari gambar-gambar yang saya dapatkan: Surat Pastoral PGI

Baik, mari kita mulai (tulisan ini agak panjang, silahkan akhiri di sini jika Saudara merasa tidak tertarik)

Surat Pendahuluan

Saya membayangkan para pengurus PGI yang merupakan para pemuka gereja-gereja se Indonesia sedang duduk dalam sebuah sidang yang terhormat pada tanggal 26 – 28 Mei 2016 (halaman 1) membicarakan sebuah isu sensitif: bagaimana seharusnya sikap organisasi gereja (yang mereka wakili) terhadap LGBT. Para pendeta besar itu duduk di kursinya, berpikir, berdiskusi dan mengeluarkan butir-butir.

Dalam bayangan saya (sekali lagi, ini hanya bayangan saya), para Doktoral yang terhormat itu mengemukakan pendapatnya satu persatu mengenai masalah ini. Beberapa diam karena merasa tidak punya cukup referensi (walau Alkitab seharusnya sudah cukup jelas), beberapa berbicara dengan berapi-api (mungkin karena ada kenalan atau saudaranya yang juga merupakan bagian dari LGBT), beberapa menyampaikan pandangan, beberapa memandang ke depan dengan pandangan kosong sambil menantikan akhir jaman.

Kemudian setelah tiga hari yang terasa begitu panjang, dibuatlah sebuah rangkuman pembicaraan tersebut, ditujukan kepada Pimpinan Gereja Anggota PGI, entah sebagai “undang-undang” yang harus diterima atau hanya sebagai “draft keputusan”, saya tidak paham, yang saya tahu pasti dalam surat pendahuluan itu tertulis Pengantar Pernyataan Sikap PGI.

Surat pendahuluan itu diakhiri dengan himbauan agar organisasi gereja – gereja memberikan pandangannya agar PGI dapat menyempurnakan Sikap dan Pandangannya. Saya rasa ini satu-satunya bagian yang saya puji dari surat pendahuluan ini, terbuka untuk masukan, walau saya sesalkan juga. Jika memang ini merupakan sebuah bola api yang digulirkan untuk dibahas, bukankah PGI tidak perlu membuat tulisan Pernyataan Sikap? Mereka bisa menulisnya sebagai Usulan Pernyataan Sikap.

Disebutkan bahwa pertimbangan-pertimbangan PGI tidak bermaksud menyeragamkan pandangan organisasi gereja yang berbeda tentang LGBT. Jika memang demikian, lalu untuk apa Surat Pastoral ini dibuat?? Jika tidak perlu berdampak, untuk apa repot-repot mengadakan sidang MPH selama tiga hari hanya untuk membahas sesuatu yang ‘tidak perlu diterima’?? Jika PGI mewakili organisasi gereja-gereja di bawahnya, mengapa mengeluarkan Pernyataan Sikap yang ‘tidak perlu diterima’?

Pengantar

Sebuah poin yang menarik dari bagian pengantar adalah poin 2:

Allah menciptakan manusia, mahluk dan segala ciptaan yang beraneka ragam dan berbeda-beda satu sama lain. Kita hidup dalam keanekaragaman ras, etnik, genderorientasi seksual, dan agama. Keanekaragaman ini adalah sebuah realitas yang Allah berikan kepada kita, yang seharusnya kita terima dengan sikap positif dan realistis

WOW!!! Bukankah luar biasa?? Apakah maksudnya keanekaragaman orientasi seksual yang terjadi saat ini disamakan dengan keanekaragaman agama?

Setahu saya, Tuhan hanya menciptakan tiga gender di dunia:

  1. Wanita (Betina)
  2. Pria (Jantan)
  3. Hermafrodit (hewan yang membuahi dirinya sendiri)

Khusus untuk hewan tingkat tinggi dan manusia, Tuhan hanya memberikan dua saja: Pria dan Wanita. Selain untuk mengasihi satu dengan yang lain, tujuan Tuhan sederhana, supaya mereka bisa berkembang biak. Tuhan memberikan perangkat yang berbeda untuk pria dan wanita agar ketika disatukan, keduanya bekerjasama menghasilkan keturunan.

Jika memang gender hanya dua untuk manusia, apakah ini bisa dikatakan KEANEKARAGAMAN? Jika jenis tumbuhan hanya dua di dunia, apakah kita bisa mengatakan bahwa Tuhan menciptakan aneka ragam tumbuhan? Semoga Anda mengerti maksud saya.

Demikian juga orientasi seksual. Ada dua orientasi seksual yang kita kenal: Heteroseksual (tertarik pada lawan jenis) dan Homoseksual (tertarik pada sesama jenis). Apakah Yang Terhormat para Ketua PGI hendak mengatakan bahwa Tuhan yang patut bertanggungjawab dan dipersalahkan atas adanya Homoseksual?? Apakah Homoseksual merupakan produknya Tuhan?

Bagaimana dengan kecenderungan (orientasi) seksual orang yang meyukai binatang secara seksual, atau yang menyukai dan menikah dengan Menara Eiffel? Apakah itu salah satu keragaman orientasi seksual yang Tuhan ciptakan?
Sebagai non-pendeta dan non-gelar-teologis, saya sih tidak berani mengklaim demikian, bagaimana dengan Anda?

Sisanya Para Pendeta Besar yang terkumpul dalam kepengurusan PGI menghimbau agar kita bersikap positif, realistis dengan menerima dalam kasih segala perbedaan yang ada. Poin 3 tidak ada masalah saya setuju kita harus mengasihi siapapun, baik itu LGBT maupun manusia normal, baik itu wanita penghibur maupun istri pendeta, baik itu pembunuh maupun pendeta.

Titik Tolak

Poin 4:

Membicaraan LGBT adalah membicarakan manusia yang merupakan mahluk Allah yang sangat dikasihi-Nya.

Saya tidak mengerti poin ini. Rupanya mereka tidak dapat membedakan antara perilaku dengan pelaku. Ada perbedaan antara pelaku dan perilaku. Pelaku adalah manusia, sedangkan perilaku adalah apa yang diperbuatnya. Secara logika matematika, pernyataan ini tidak ada yang salah.

  • A: LGBT adalah manusia
  • B: Manusia merupakan mahluk yang dikasihi Tuhan
  • Kesimpulan: LGBT merupakan mahluk yang dikasihi Tuhan

Namun, kata “membicarakan” membuatnya menjadi fail! Ketika kita membicarakan LGBT, kita tidak sedang membicarakan manusia yang merupakan mahluk Tuhan yang sangat dikasihi-Nya. Ketika kita membicarakan LGBT, kita membicarakan sebuah perilaku dari manusia yang merupakan mahluk Tuham yang sangat dikasihi-Nya.

Oke, Anda mungkin berkata “kaya gitu aja kok diributin”. Ada alasan saya membahas ini, karena ada sebuah pernyataan di poin ke 6 (poin ini merupakan favorit saya di mana saya tertawa paling keras). Anda bisa membacanya sendiri, namun saya bisa merangkumnya dengan interpretasi saya (maafkan jika salah):

  1. Kita mengatakan bahwa LGBT itu melawan moral karena kita salah paham dalam mengartikan Alkitab
  2. Alkitab tidak pernah menghakimi LGBT, Alkitab mengkritisi perlakuan eksploitatif seksual (pemerkosaan)
  3. Heteroseksual adalah sebuah orientasi seksual yang “kita anggap normal” dan bukan orientasi seksual yang normal
  4. Dalam kisah penciptaan Adam dan Hawa tidak ada tertulis bahwa Tuhan menolak kaum LGBT.

Pertama, dalam penciptaan belum ada alat make up operasi plastik sehingga tidak ada transgender, kedua dalam penciptaan jika terdapat LGBT, maka jaman sekarang manusia tidak akan sebanyak ini di muka bumi… mungkin setengahnya, karena perintah Tuhan “penuhilah bumi” hanya bisa dilakukan oleh orang yang menurut PGI “dianggap normal”

Ketiga, berkaitan dengan poin sebelumya tentang pelaku dan perilaku. Jika memang kita salah paham (salah interpretasi) terhadap ayat yang mudah seperti I Korintus 6:9 (Atau tidak tahukah kamu, ahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Surga? Janganlah sesat! orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, pemburit), betapa banyak ayat yang kita bisa salah pahami. Dalam ayat 10 dikatakan “pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Surga”

Bagaimana jika kita juga salah paham?? Bagaimana jika ternyata korupsi diijinkan karena korupsi bukanlah bagian dari pencuri dan karena koruptor adalah manusia yang dikasihi Tuhan dan memiliki martabat?

Sekali lagi, bedakan antara perilaku dan pelaku. Tuhan mengasihi pelaku kejahatan itu betul, bahkan Yesus makan dengan orang berdosa. Tapi itu tidak dengan serta merta membuat Yesus berkata “manusia lahir dengan kecenderungan berbuat dosa, itu sudah bawaan lahir, jadi kita harus menerimanya sebagai suatu keadaan yang tidak dapat diubah”

Rekomendasi

Jika poin 6 adalah tempat saya tertawa paling keras, poin rekomendasi adalah tempat saya merasa terkhianati oleh pemimpin gereja.

Kesimpulan poin 8 adalah PGI mengingatkan kita semua mempertimbangkan hasil-hasil penemuan mutakhir baik itu dari kedokteran, WHO, PDSKJI dan sebagainya tanpa sedikit pun mempertimbangkan hatinya Tuhan.

Disebutkan bahwa LGBT merupakan sesuatu yang natural, sudah diterima sejak manusia dilahirkan, walau ada juga karena pengaruh sosial.

Dalam salah satu kalimat di poin 8 disebutkan:

Oleh karena itu, menjadi LGBT, apalagi yang sudah diterima sejak lahir, bukanlah suatu dosa, karena itu kita tidak boleh memaksa mereka bertobat. Kita juga tidak boleh memaksa mereka berubah, melainkan sebaliknya, kita harus mendorong mereka agar bisa menerima dirinya sendiri sebagai pemberian Allah.

Saya ingin bertanya,

  1. Bagaimana caranya mendorong mereka agar menerima dirinya sendiri? “Kamu harus menerima kalau kamu lesbian, tidak apa-apa sukailah perempuan yang kau mau” ??
  2. Jika logika di atas dipakai (bahwa jika LGBT normal maka tidak perlu diubah), bolehkah saya mengatakan “Epilepsi adalah bawaan lahir. Karena itu epilepsi bukanlah suatu penyakit dan tidak perlu diobati. Karena apa yang merupakan bawaan lahir adalah normal!”

Adik saya berkata, dalam ilmu kedokteran dan obat-obatan, sebuah obat bisa ditemukan jika diakui adanya masalah. Solusi baru dapat dibuat jika kita sadar ada masalah.

Organisasi pro-gay Amerika “Parents and Friends of Lesbians and Gays” mengatakan bahwa tidak ada satupun ilmuwan mengatakan bahwa gen dapat menentukan orientasi seksual. Jika gen tidak dapat menentukan orientasi seksual maka pada dasarnya LGBT tidak dilahirkan.

Baik, kita bicara soal ketidakseimbangan hormon. Ada pria yang memiliki hormon wanita berlebih, demikian juga sebaliknya. Jika pria bisa disuntik hormon wanita agar memiliki tubuh wanita, tidak mungkinkah pengobatan dibuat untuk hal ini? Entahlah, saya pun bukan ahli kedokteran.

Poin 9 menyebutkan:

Gereja sebagai sebuah persekutuan yang inklusif dan sebagai sebuah Keluarga Allah, harus belajar menerima kaum LGBT  sebagai bagian yang utuh dari persekutuan kita sebagai Tubuh Kristus. Kita harus memberi kesempatan agar mereka bisa bertumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik, mental, sosial dan secara spiritual.

Ijinkan saya bertanya satu hal mengenai poin ini. Jika seorang LGBT dibina untuk bertumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik, mental, sosial dan spiritual, maka mereka akan bertumbuh sebagai apa? Tentunya sebagai LGBT yang utuh secara fisik, mental, sosial dan spiritual. Apakah benar begitu?

Poin 10 cukup membuat saya terkejut. Inti dari poin ini adalah gereja harus mempersiapkan dan melakukan bimbingan pastoral (ready???) kepada keluarga. Bukan kepada pelaku LGBT, tapi keluarga. Agar menerima saudara atau keluarga mereka yang LGBT.

Saya setuju dengan poin 10 ini. Peran keluarga sangatlah penting. Keluarga yang terus menerus menolak dengan kasar mungkin akhirnya dapat membuat keluarga mereka (yang LGBT) bunuh diri atau depresi. Namun yang saya soroti, tidakkah ada satu poin pun dari Yang Terhormat Pemimpin PGI menyebutkan agar gereja melakukan bimbingan pastoral kepada LGBT? Oh, saya lupa, tentu saja tidak ada, bukankah menurut mereka LGBT adalah sesuatu yang normal dan tidak perlu diubah.

Poin 11 dan 12 membuat saya bingung sekali. Poin ini berbicara mengenai “memperjuangkan hak-hak dan martabat” kaum LGBT. Saya ingin bertanya:

  1. Hak-hak seperti apa yang diperjuangkan?
  2. Apakah LGBT memiliki hak untuk menikah?
  3. Jika jawaban no 2 adalah ya, apakah mereka juga memiliki hak untuk diberkati di gereja?
  4. Jika jawaban no 3 adalah ya, apakah gereja-gereja di bawah PGI (setidaknya di bawah para pemimpin PGI yang saya pun merupakan salah satu anggotanya) mau menerima pemberkatan pernikahan untuk pernikahan LGBT?
  5. Jika jawaban no 2-4 adalah “tidak”, mari saya ajak Anda berpikir normal: suatu hubungan hetero (pria dan wanita) tidak berakhir di fase ‘saling suka’, tidak juga berakhir di fase ‘pacaran’. Pada suatu titik mereka rindu untuk membangun rumah tangga, dan berhubungan layaknya suami istri. Jika LGBT dianggap normal, maka mereka pun memiliki keinginan normal untuk membangun rumah tangga dna berhubungan layaknya suami istri, bukan begitu? Gereja tidak bisa naif dan berkata “oh, tidak maksud kami… kami hanya mendorong mereka untuk menerima diri, berhenti di titik itu saja” Tidak, pendeta BODOH!!!! Menerima diri berarti menerima bahwa dirinya menyukai orang lain yang sesama jenis dan ingin diperlakukan normal termasuk menikah dan membangun rumah tangga. Anda siap dengan itu, Bapak Pendeta?

Penutup

Bagian penutup merupakan bagian penting yang sangat perlu ditertawakan

LGBT pada dirinya sendiri bukanlah sebuah persoalan. LGBT menjadi persoalan karena kita yang mempersoalkannya. Kitalah yang memberinya stigma negatif.

Saya benar-benar menanti PGI mencabut Surat Pastoral ini. Sungguh!! Saya mengerti benar bagaimana perasaan Saudara Muslim yang malu ketika dirinya dianggap sama dengan FPI yang suka anarkis. Saya sungguh malu jika keputusan saya dianggap sama dengan pernyataan sikap PGI.


Notes:

Saya mendengar dari salah seorang teman bahwa beredarnya Surat Pernyataan Sikap merupakan sebuah “kecolongan”. Dengan tertawa saya bertanya “kecolongan seperti apa?”. Saya sungguh-sungguh berharap dia menjawab “kecolongan dalam hal keputusan, seharusnya tidak seperti itu. Ada oknum yang dengan sengaja mengubah isinya, dst”. Tapi ternyata tidak, kecolongan yang dimaksud adalah “seharusnya surat itu tidak tersebar di media sosial karena ditujukan untuk pemimpin gereja.

(Maafkan saya terpaksa kasar) HAI BODOH!!! Jika memang surat ini ditujukan untuk pemimpin gereja, bukankah ini lebih konyol lagi?? Apakah para pemimpin PGI menganggap bahwa pemimpin gereja demikian bodohnya? Dan terpikirkah oleh mereka perasaan jemaat ketika mengetahui pemimpinnya mendapat surat semacam itu? Kami, orang awam ini, merasa dipermalukan, dikhianati dan ditelikung oleh gembala kami sendiri.

Saya mengerti bahwa banyak gereja ber’kiblat’ ke Amerika dan mungkin ini adalah salah satunya. Bahwa banyak Hamba Tuhan menjadi Pendeta Humanis yang lebih condong kepada ‘Apa kata manusia’ daripada ‘Apa kata Tuhan’. Berdirinya bangunan mewah dengan lighting, sound system dan segala hal keren untuk memuaskan mata jemaat membuktikannya. Namun apakah berlebihan jika kami minta ke-humanis-an Anda berhenti pada gedung itu saja, jangan diperparah dengan pandangan humanis yang Anda masukkan ke gereja.

Ketika pemuka agama lain dengan berani menunjukkan sikap menentang tanpa peduli dianggap Homophobia atau anti-humanis, Yang Terhormat para Ketua PGI malah menunjukkan sebaliknya.

Saya angkat topi bagi para Hamba Tuhan yang langsung membuat surat pernyataan sikap terbuka yang menolak Surat Pernyataan Sikap Pastoral-nya PGI. Anda adalah pemimpin yang sangat bertanggungjawab!!

Dan bagi Anda, para pendeta yang belum membuat surat pernyataan, terutama yang namanya disebut dalam jajaran ketua dan pengurus PGI, bukankah itu hanya menunjukkan bahwa Anda menyetujui semua yang tertulis di sana?

Semoga Tuhan memberi kita semua hikmat Surgawi yang melampaui segala akal untuk mengartikan Firman Tuhan, mengaplikasikannya dan membagikannya.

Tuhan memberkati!

Kontroversial? Tidak masalah!


Menanggapi tulisan terakhir saya di blog saya yang lain, seorang bapak yang tidak perlu disebutkan namanya namun memiliki perbedaan prinsip dengan saya mengenai arti “teman” meminta saya berhenti menuliskan hal-hal kontroversial, dan mengusulkan (karena beliau menggunakan istilah “sebaiknya”), agar saya mulai menulis hal-hal yang menginspirasi, mendidik dan menghibur. Beliau juga mengatakan bahwa ‘ironisnya, banyak yang suka membaca kontroversi’.
Continue reading

Apakah semua ORANG juga MANUSIA!


Menanggapi pernyataan saya kemarin tentang keMUNAFIKan, ada seorang bapak yang me-reply dengan “pendeta juga manusia”. Maksudnya mungkin, tidak apa-apa jika antara apa yang dikotbahkan pendeta berbeda dengan yang dikerjakannya, kan “pendeta juga manusia”

Atau mungkin juga maksudnya, tidak apa-apa sesekali keceplosan, maklumi saja toh “pendeta juga manusia”.

No offense, saya menulis ini karena di tulisan saya sebelumnya saya mengatakan terbuka untuk diskusi. Jadi, mari kita diskusikan.

Kata-kata “xxx juga manusia” dipopulerkan oleh sebuah group band rock dengan lagunya “rocker juga manusia”. Dimaksudkan bahwa walaupun memiliki tampang sangar dan suka teriak-teriak, tapi rocker juga memiliki hati dan perasaan. Harap dicatat maknanya: “walaupun negatif, tapi ada positifnya”

Sama seperti jika kita berbicara mengenai seorang anak: walau nakal, dia toh hanya seorang anak. Atau, walau bengal, dia tetap memiliki emosi juga.

Seolah mendapat pembelaan, kalimat “xxx juga manusia” menjadi populer di masyarakat. Anggota DPR tidur di ruang rapat, “anggota DPR juga manusia”, artis menggunakan narkoba, “artis juga manusia”, dst.

Ironisnya pembenaran demi pembenaran dilontarkan berbarengan dengan dieksposenya keburukan mereka. Sungguh ironis!

Baik, mari kita bicara soal manusia. Memang benar bahwa manusia jatuh dalam dosa, memiliki kecenderungan untuk berbuat dosa. Namun karena Tuhan menciptakan manusia seperti rupa dan gambarnya, manusia dianugerahi dengan hati nurani yang tombolnya di-on-kan saat manusia makan buah yang dilarang.

Keberadaan hati nurani ini membuat manusia memiliki perasaan bersalah saat melakukan dosa dan malu saat ketahuan. Namun insting “hewani” manusia membuat mereka berkelit saat ketahuan, bahkan terkadang membuat perlawanan balik (yang seringkali tidak masuk akal).

Pencarian manusia akan Tuhan adalah kesadaran manusia akan adanya pribadi yang sepenuhnya baik, menginginkan kebaikan dan membenci kejahatan. Itu sebabnya manusia memutuskan untuk beragama.

Dalam setiap agama ada pemuka agama, sosok yang diagungkan, dianggap pilihan Tuhan. Sosok yang pantas berkata “narapidana juga manusia” dan menjangkau mereka agar bertobat.

Namun alangkah ironisnya jika tokoh yang dianggap Pilihan Tuhan ini, yang berkotbah seminggu sekali (yang berisi kebaikan pastinya), tidak melakukan apa yang dikotbahkannya, menolak untuk mendengarkan hati nuraninya, dan menjadi batu sandungan bagi jemaat yang mendengar kotbahnya.

Ironis sekali jika hamba Tuhan yang berkotbah “tetap berbuat baik pada orang yang tidak kau sukai” dengan sengaja tidak menyalami jemaat yang memberi tangan padanya.

Ironis sekali jika hamba Tuhan yang berkotbah “hati-hati dengan lidahmu” mengata-ngatai fulltimenya, apalagi sampai memakinya.

Itulah mengapa saya katakan, jadi pendeta sebaiknya munafik saja. Bukan berarti “tidak menjadi diri sendiri”, tp lawan hal buruk yang ingin dilakukan, sebaiknya berpura-puralah dengan melakukan hal baik.

Bukankah pembentukan karakter pun berarti “menekan keinginan melakukan apa yang salah, dan melakukan apa yang baik, walau sebenarnya tidak diinginkan”

Jika manusia biasa saja harus munafik 24/7, apalagi Pemuka agama. Tidak ada alasan “pendeta juga manusia” untuk membenarkan hal buruk yang dilakukannya. Jika ingin melakukan hal buruk, sekali lagi saya katakan, munafik sajalah!

Pancasila itu Mahluk Apa


Hari ini kita merayakan kesaktian Pancasila. Empat puluh tujuh tahun yang lalu, dini hari terjadi pembunuhan besar-besaran, suatu peristiwa kotor yang kemudian dibersihkan oleh orang yang saat itu diagung-agungkan sebagai pahlawan, pak Harto.

Sepertinya itu memang kebiasaan pemerintah turun temurun. Kemarin Braga festival dibuat tanpa aturan sehingga jalan Braga terlihat sangat kotor. Subuhnya dalam sekejap jalan Braga menjadi bersih kembali. Mengotori, membersihkan, mendapat kredit.

Pak Harto membuat skenario berdarah untuk kemudian beliau muncul sebagai pahlawan yang membersihkan kotoran yang dibuat oleh PKI, kambing hitamnya, dan tercetuslah 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Continue reading

Percayalah, semua dimulai dari rumah


Setiap papa dan mama memiliki peran penting
Dalam kehidupan setiap anak

Kegagalan orangtua,
Dimulai saat mereka bingung
Apa yang harus mereka lakukan pada anak mereka
Bahkan saat anak mereka baru dilahirkan

Tidak tahu bagaimana bersikap saat anak mereka salah
Tidak tahu bagaimana bersikap saat anak mereka lapar
Tidak bisa membedakan tangisan
Tidak bisa membaca ekspresi
Tidak dapat menegur dan memarahi

Selanjutnya,
Kegagalan orangtua adalah ketika mereka bingung
Nilai apa yang harus ditanamkan pada anaknya
Atau yang lebih parah,…
Tidak tahu bahwa perlu menanamkan suatu nilai pada anaknya

Ada orangtua yang menanamkan pemikiran pada anaknya..
Bahwa yang terpenting adalah uang
Keberhasilan atau kegagalan dilihat dari uang

Akibatnya,
Apapun yang anaknya lakukan, pertimbangannya adalah uang
Bahkan korupsi atau mencuri untuk uang
Percayalah…itu dimulai dari rumah

Ada orangtua yang menanamkan pemikiran pada anaknya
Bahwa yang terpenting adalah keuntungan bagi diri sendiri
Keberhasilan dan kegagalan dilihat dari,
jika kau menang dalam setiap situasi
Dengan cara apapun

Akibatnya,
Apapun yang anaknya lakukan
Dasarnya adalah kesuksesan semu
Menang dengan cara apapun
Bahkan jika harus menyikut dan membinasakn
Percayalah…itu dimulai dari rumah

Ada orangtua yang menanamkan pemikiran pada anaknya
Bahwa yang terpenting adalah gelar dan titel
Keberhasilan dan kegagalan seseorang dilihat
Dari seberapa titel yang dimilikinya

Akibatnya,
anaknya akan jadi sombong, jika memperoleh titel
atau rendah diri, jika hidup tanpa titel
Percayalah, semua dimulai dari rumah

Ada orangtua yang menanamkan pemikiran pada anaknya
Bahwa apa yang dikatakan orang begitu penting
Keberhasilan dan kegagalan adalah
Ketika orang lain melihatmu berhasil atau gagal

Akibatnya,
Anak-anaknya akan jadi orang-orang yang kompromi
Melakukan apapun agar orang lain menilai dia hebat
Percayalah itu dimulai dari rumah

Percayalah, semua dimulai dari rumah
Mungkin bukan ditanamkan dengan rumus atau teori
Tapi apa yang kau katakan, orangtua..
Apa yang kau lakukan
Pilihan yang kau buat
Itu yang akan membuat anakmu belajar…
Apa yang terpenting dalam hidup

Aku bersyukur
Memiliki orangtua yang luar biasa…
Baru aku sadari…
Nilai yang ditanamkan papa dan mama adalah
Benar atau salah

Lakukan jika itu benar
Jangan lakukan kalau itu salah

Untuk melakukan segala sesuatu…
Bukan uang yang harus dijadikan pertimbangan
Atau seberapa diuntungkannya dirimu
Atau seberapa hebatnya dirimu akan dianggap kelak

Tapi…
Apakah hal itu benar untuk dilakukan
Apakah hal itu adalah yang seharusnya untuk dilakukan

Akibatnya,
Memang anakmu akan dinilai berbeda
Tapi percayalah,
Itu semua dimulai dari rumah

Dan tahukah Anda,
Keberhasilan sesungguhnya bukan dinilai dari uang
Keberhasilan sesungguhnya bukan dinilai dari keuntungan yang kau dapat
Keberhasilan sesungguhnya bukan dinilai dari titel yang kau miliki
Keberhasilan sesungguhnya bukan dinilai dari apa kata orang

Keberhasilan sesungguhnya adalah
Ketika anak-anak Anda bisa melakukan apa yang seharusnya dilakukan
“Melakukan kehendak Bapa di Surga”

Pelayanan vs Professional


Satu kali seorang rekan menulis mengenai pelayanan dan pekerjaan. Sangat menyedihkan karena dalam tulisan itu seolah-olah dia mengatakan bahwa pelayanan adalah sesuatu yang kita lakukan walau mengorbankan aktivitas…sedangkan pekerjaan hanya dilakukan saat waktu luang

Aneh sekali, karena itulah pemikiran sebagian besar anak-anak muda yang terlibat pelayanan di gereja…. Mereka pikir gereja adalah dunianya, segalanya, prioritas utamanya..

Pertanyaannya sekarang adalah…
Apakah sebelum terlibat pelayanan mereka diajarkan etika kerja?
Apakah sebelum terlibat pelayanan mereka diajarkan bagaimana menjadi berkat dengan melakukan yang terbaik?
Apakah sebelum terlibat pelayanan mereka diajarkan bagaimana bersikap sebagai seorang pelayan Tuhan?

Sorry to say…sayangnya TIDAK…
Continue reading