Hari ini kita merayakan kesaktian Pancasila. Empat puluh tujuh tahun yang lalu, dini hari terjadi pembunuhan besar-besaran, suatu peristiwa kotor yang kemudian dibersihkan oleh orang yang saat itu diagung-agungkan sebagai pahlawan, pak Harto.
Sepertinya itu memang kebiasaan pemerintah turun temurun. Kemarin Braga festival dibuat tanpa aturan sehingga jalan Braga terlihat sangat kotor. Subuhnya dalam sekejap jalan Braga menjadi bersih kembali. Mengotori, membersihkan, mendapat kredit.
Pak Harto membuat skenario berdarah untuk kemudian beliau muncul sebagai pahlawan yang membersihkan kotoran yang dibuat oleh PKI, kambing hitamnya, dan tercetuslah 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Saya bingung dengan personifikasi Pancasila. Sejak dulu di sekolah saya (dan mungkin anak-anak yang lain) menganggap bahwa Pancasila itu sejenis burung, nama belakang dari Garuda (Garuda Pancasila). Burung yang memiliki 45 bulu leher, delapan bulu ekor dan 17 bulu sayap.
Kelahirannya dirayakan seperti ulangtahun, apakah ia ditetaskan, atau dilahirkan? Demikian juga kesaktiannya, apakah ia memiliki ilmu sihir atau sejenisnya?
Sebenarnya mahluk macam apa Pancasila itu?
Saya rasa pertanyaan itu dimiliki setidaknya 80 persen pelajar SD di Indonesia. Tidak heran jika saat SMA mereka ahli tawuran, dan saat kuliah mereka ahli demo untuk urusan tidak jelas.
Pancasila itu adalah konsep bernegara yang dibuat dengan tujuan yang baik. Terdiri dari lima hal yang menjadi penopang dan prinsip hidup bertanah air.
Sayangnya, hingga kini, setelah berpuluh-puluh kali hari kelahiran dan kesaktian Pancasila dirayakan namun kita belum dapat merasakan bahwa Pancasila sungguh sakti.
Ya, selama masih ada keributan atas nama agama, selama satu agama merasa benar sendiri dan menekan agama lain, bagaimana kita bisa mengaku bahwa bangsa ini ber-Tuhan.
Selama masih banyak suku yang belum beradab, selama kelakuan para pejabat tidak beradab, selama bangsa ini tidak memanusiakan manusia, bagaimana kita bisa mengklaim “kemanusiaan yang adil dan beradab”
Selama masih ada perpecahan di sana sini, tawuran antar desa, pertengkaran dalam debat cagub, bagaimana kita bisa mengatakan “persatuan Indonesia”
Selama rapat DPR masih berlangsung ricuh, maling yang tertangkap digebuki bahkan dibakar, selama calon pejabat masih menyogok dan saling menjatuhkan, bagaimana bisa kita mengaku “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”
Selama masih banyak suku tertinggal, pembangunan hanya untuk beberapa kota, gaji dan tunjangan anggota dewan setara dengan makanan yang seharusnya dapat diberikan pada ribuan anak kelaparan, bagaimana bisa kita mengatakan, “keadilan sosial bagi rakyat Indonesia”.
Jadi, Pancasila adalah konsep bernegara yang ideal menurut saya, tapi Pancasila belum menunjukkan kesaktiannya.
Nice description on how great the ideology of our country but how weak our people implementing and manifesting it into reality.. Good one !