Menanggapi pernyataan saya kemarin tentang keMUNAFIKan, ada seorang bapak yang me-reply dengan “pendeta juga manusia”. Maksudnya mungkin, tidak apa-apa jika antara apa yang dikotbahkan pendeta berbeda dengan yang dikerjakannya, kan “pendeta juga manusia”
Atau mungkin juga maksudnya, tidak apa-apa sesekali keceplosan, maklumi saja toh “pendeta juga manusia”.
No offense, saya menulis ini karena di tulisan saya sebelumnya saya mengatakan terbuka untuk diskusi. Jadi, mari kita diskusikan.
Kata-kata “xxx juga manusia” dipopulerkan oleh sebuah group band rock dengan lagunya “rocker juga manusia”. Dimaksudkan bahwa walaupun memiliki tampang sangar dan suka teriak-teriak, tapi rocker juga memiliki hati dan perasaan. Harap dicatat maknanya: “walaupun negatif, tapi ada positifnya”
Sama seperti jika kita berbicara mengenai seorang anak: walau nakal, dia toh hanya seorang anak. Atau, walau bengal, dia tetap memiliki emosi juga.
Seolah mendapat pembelaan, kalimat “xxx juga manusia” menjadi populer di masyarakat. Anggota DPR tidur di ruang rapat, “anggota DPR juga manusia”, artis menggunakan narkoba, “artis juga manusia”, dst.
Ironisnya pembenaran demi pembenaran dilontarkan berbarengan dengan dieksposenya keburukan mereka. Sungguh ironis!
Baik, mari kita bicara soal manusia. Memang benar bahwa manusia jatuh dalam dosa, memiliki kecenderungan untuk berbuat dosa. Namun karena Tuhan menciptakan manusia seperti rupa dan gambarnya, manusia dianugerahi dengan hati nurani yang tombolnya di-on-kan saat manusia makan buah yang dilarang.
Keberadaan hati nurani ini membuat manusia memiliki perasaan bersalah saat melakukan dosa dan malu saat ketahuan. Namun insting “hewani” manusia membuat mereka berkelit saat ketahuan, bahkan terkadang membuat perlawanan balik (yang seringkali tidak masuk akal).
Pencarian manusia akan Tuhan adalah kesadaran manusia akan adanya pribadi yang sepenuhnya baik, menginginkan kebaikan dan membenci kejahatan. Itu sebabnya manusia memutuskan untuk beragama.
Dalam setiap agama ada pemuka agama, sosok yang diagungkan, dianggap pilihan Tuhan. Sosok yang pantas berkata “narapidana juga manusia” dan menjangkau mereka agar bertobat.
Namun alangkah ironisnya jika tokoh yang dianggap Pilihan Tuhan ini, yang berkotbah seminggu sekali (yang berisi kebaikan pastinya), tidak melakukan apa yang dikotbahkannya, menolak untuk mendengarkan hati nuraninya, dan menjadi batu sandungan bagi jemaat yang mendengar kotbahnya.
Ironis sekali jika hamba Tuhan yang berkotbah “tetap berbuat baik pada orang yang tidak kau sukai” dengan sengaja tidak menyalami jemaat yang memberi tangan padanya.
Ironis sekali jika hamba Tuhan yang berkotbah “hati-hati dengan lidahmu” mengata-ngatai fulltimenya, apalagi sampai memakinya.
Itulah mengapa saya katakan, jadi pendeta sebaiknya munafik saja. Bukan berarti “tidak menjadi diri sendiri”, tp lawan hal buruk yang ingin dilakukan, sebaiknya berpura-puralah dengan melakukan hal baik.
Bukankah pembentukan karakter pun berarti “menekan keinginan melakukan apa yang salah, dan melakukan apa yang baik, walau sebenarnya tidak diinginkan”
Jika manusia biasa saja harus munafik 24/7, apalagi Pemuka agama. Tidak ada alasan “pendeta juga manusia” untuk membenarkan hal buruk yang dilakukannya. Jika ingin melakukan hal buruk, sekali lagi saya katakan, munafik sajalah!
Like this:
Like Loading...