Apakah semua ORANG juga MANUSIA!


Menanggapi pernyataan saya kemarin tentang keMUNAFIKan, ada seorang bapak yang me-reply dengan “pendeta juga manusia”. Maksudnya mungkin, tidak apa-apa jika antara apa yang dikotbahkan pendeta berbeda dengan yang dikerjakannya, kan “pendeta juga manusia”

Atau mungkin juga maksudnya, tidak apa-apa sesekali keceplosan, maklumi saja toh “pendeta juga manusia”.

No offense, saya menulis ini karena di tulisan saya sebelumnya saya mengatakan terbuka untuk diskusi. Jadi, mari kita diskusikan.

Kata-kata “xxx juga manusia” dipopulerkan oleh sebuah group band rock dengan lagunya “rocker juga manusia”. Dimaksudkan bahwa walaupun memiliki tampang sangar dan suka teriak-teriak, tapi rocker juga memiliki hati dan perasaan. Harap dicatat maknanya: “walaupun negatif, tapi ada positifnya”

Sama seperti jika kita berbicara mengenai seorang anak: walau nakal, dia toh hanya seorang anak. Atau, walau bengal, dia tetap memiliki emosi juga.

Seolah mendapat pembelaan, kalimat “xxx juga manusia” menjadi populer di masyarakat. Anggota DPR tidur di ruang rapat, “anggota DPR juga manusia”, artis menggunakan narkoba, “artis juga manusia”, dst.

Ironisnya pembenaran demi pembenaran dilontarkan berbarengan dengan dieksposenya keburukan mereka. Sungguh ironis!

Baik, mari kita bicara soal manusia. Memang benar bahwa manusia jatuh dalam dosa, memiliki kecenderungan untuk berbuat dosa. Namun karena Tuhan menciptakan manusia seperti rupa dan gambarnya, manusia dianugerahi dengan hati nurani yang tombolnya di-on-kan saat manusia makan buah yang dilarang.

Keberadaan hati nurani ini membuat manusia memiliki perasaan bersalah saat melakukan dosa dan malu saat ketahuan. Namun insting “hewani” manusia membuat mereka berkelit saat ketahuan, bahkan terkadang membuat perlawanan balik (yang seringkali tidak masuk akal).

Pencarian manusia akan Tuhan adalah kesadaran manusia akan adanya pribadi yang sepenuhnya baik, menginginkan kebaikan dan membenci kejahatan. Itu sebabnya manusia memutuskan untuk beragama.

Dalam setiap agama ada pemuka agama, sosok yang diagungkan, dianggap pilihan Tuhan. Sosok yang pantas berkata “narapidana juga manusia” dan menjangkau mereka agar bertobat.

Namun alangkah ironisnya jika tokoh yang dianggap Pilihan Tuhan ini, yang berkotbah seminggu sekali (yang berisi kebaikan pastinya), tidak melakukan apa yang dikotbahkannya, menolak untuk mendengarkan hati nuraninya, dan menjadi batu sandungan bagi jemaat yang mendengar kotbahnya.

Ironis sekali jika hamba Tuhan yang berkotbah “tetap berbuat baik pada orang yang tidak kau sukai” dengan sengaja tidak menyalami jemaat yang memberi tangan padanya.

Ironis sekali jika hamba Tuhan yang berkotbah “hati-hati dengan lidahmu” mengata-ngatai fulltimenya, apalagi sampai memakinya.

Itulah mengapa saya katakan, jadi pendeta sebaiknya munafik saja. Bukan berarti “tidak menjadi diri sendiri”, tp lawan hal buruk yang ingin dilakukan, sebaiknya berpura-puralah dengan melakukan hal baik.

Bukankah pembentukan karakter pun berarti “menekan keinginan melakukan apa yang salah, dan melakukan apa yang baik, walau sebenarnya tidak diinginkan”

Jika manusia biasa saja harus munafik 24/7, apalagi Pemuka agama. Tidak ada alasan “pendeta juga manusia” untuk membenarkan hal buruk yang dilakukannya. Jika ingin melakukan hal buruk, sekali lagi saya katakan, munafik sajalah!

MUNAFIK yuk!!


Minggu kemarin adik saya cerita tentang seorang pendeta besar yang bersikap “jutek” dan menolak bersalaman dengan seseorang tanpa alasan yang jelas. Jadi ceritanya pendeta besar ini lagi salaman dengan sekelompok guru SM. Entah karena alasan tidak suka atau kenapa, dia dengan sengaja melewati salah satu guru SM yang sudah memberi tangan padanya (untuk disalami), meninggalkan guru SM tsb yang bingung dan bertanya-tanya dalam hatinya “what’s wrong with me??”

Cerita lagi dari seorang teman tentang kisah “tragis” yang baru-baru ini terjadi, di mana seorang fulltime gereja hampir melempar pendeta (atasannya) dengan kursi. Ceritanya pendeta ini membuat suatu aturan tertulis. Kemudian di hari berikutnya sang pendeta mengubah pikirannya dan mengganti aturan, tanpa komunikasi yang jelas. Fulltime yang malang ini tidak tahu pergantian aturan yang baru dibuat sehingga dia tidak mematuhinya. Entah berseloroh atau serius pendeta itu mengatakan di depan umum “hati-hati, saya bisa pecat kamu kalau saya mau”.

Saya berpikir, sebagai manusia, memiliki perasaan tidak suka itu wajar, termasuk sebagai hamba Tuhan. Tapi masalahnya, jika hal itu ditunjukkan maka artinya hamba Tuhan tsb telah melanggar kata-katanya sendiri yang diucapkan dengan gagah berani di mimbar gereja, seperti “jadilah terang” atau “kasihilah sesamamu manusia” atau “kasihilah musuhmu dan berbuat baiklah pada mereka yang menganiaya kamu”

Ada double kesalahan bagi hamba Tuhan yang seperti itu: kesalahan karena “membenci”, kesalahan karena “menjadi batu sandungan” dan kesalahan karena “mengecewakan orang” (tiga kesalahan berarti ya?)

Mungkin yang akan saya katakan ini agak ekstrim, tapi silahkan dipertimbangkan dan dipikirkan kebenarannya, dan saya terbuka untuk diskusi. Menurut saya, jika tidak bisa melakukan apa yang difirmankannya setidaknya pendeta harus punya kemampuan MUNAFIK.

Ya, jika seorang pendeta muak dengan seseorang misalnya, dan ia bertemu orang itu di jalan, pendeta tersebut harus pura-pura suka, munafik aja… Yang penting dia tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain. Urusan benci membenci itu urusannya dengan Tuhan.

Ada begitu banyak cerita di mana orang-orang malas ke gereja karena kecewa pada pendetanya yang omongan dan kelakuannya beda. Pendeta-pendeta tersebut, menurut saya, harus belajar MUNAFIK. Ingin membentak orang dengan kasar? Munafiklah, tahan diri, bicara sabar.

Yaaa, pada dasarnya manusia itu memang mahluk berdosa toh. Supaya jadi orang baik, memang harus munafik, tapi sebaiknya memang munafik dilakukan 24/7, artinya 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Kalau pendeta ga bisa munafik 24/7 setidaknya munafiklah saat ada jemaat, biar ga jadi batu sandungan. Asal, jangan sampai ketahuan juga kalau dia munafik… Munafiklah dengan cerdas 🙂

Saat kau dewasa


Anakku, saat kau dewasa kau akan melihat…
Bahwa banyak orang hidup dalam kepura-puraan
Mereka mengatakan sesuatu yang tidak benar-benar mereka maksudkan…
Atau melakukan sesuatu yang tidak benar-benar mereka inginkan…

Anakku, saat kau dewasa kau akan melihat
Bahwa benar atau salah tidaklah mutlak
Semuanya abu-abu….
Memenuhi hukum relativitas…

Anakku, saat kau dewasa kau akan melihat
Bahwa harga diri itu adalah
Seberapa tebal bulu domba yang kau pakai
Tak peduli seberapa panjang taring serigalamu

Anakku, saat kau dewasa kau akan melihat…
Bahwa bagi mereka semua…
Mobil mewah lebih berharga dari ketulusan
Uang banyak lebih berharga dari kejujuran

Anakku, saat kau dewasa kau akan melihat
Bahwa reputasi akan lebih penting dari integritas
Bahwa pendapat orang lain akan menjadi sangat penting
Lebih penting dari pendapat orangtuamu…

Anakku, saat kau dewasa kau akan melihat
Bahwa bagi dunia, integritas dan sikap adanya
Adalah kebodohan dan sesuatu yang naif
Bahwa kau tak bisa bertahan hidup dengan modal kejujuran

Tapi, anakku…
Saat kau dewasa nanti….
Dan menghadapi semua yang kukatakan…
ingatlah satu hal…
Yang akan ku ajarkan padamu

Sesulit apapun kehidupan nantinya…
Seberat apapun hidup yang akan kau jalani…
Sebesar apapun masalah yang kau hadapi

Ingatlah anakku…

Bahwa pemberani adalah
Mereka yang dapat menerima diri mereka sendiri
Mereka yang menerima apa yang tak dapat diubah
Dan berjuang untuk memperbaiki apa yang dapat diubah

Bahwa pemenang sejati adalah
Mereka yang tahu siapa dirinya
Mereka yang tahu apa tujuan hidupnya
Dan berjuang untuk mencapai tujuan itu
Dengan cara yang benar

Bahwa pahlawan adalah
Mereka yang dapat memberi kebaikan pada orang lain
Bukan hanya menerima kebaikan dari orang lain

Dan mereka yang beruntung adalah
Mereka yang dapat tetap memiliki integritas
Walau mempertaruhkan reputasi

Anakku, saat kau dewasa nanti
Ingatlah…
Apa yang telah kubangun sejak kau kanak-kanak
Apa yang telah kuajarkan hari demi hari

Bahwa benar tetap akan benar,
Bahkan seandainya tak ada seorang pun di dunia yang melakukannya

Dan salah tetap akan dikatakan salah,
Bahkan seandainya semua orang melakukannya

Ingatlah anakku….