
Rasanya kurang pantas jika saya membuat semacam surat terbuka, atau mengomentari Pernyataan Pastoral tentang LGBT yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekjen PGI (Persekutuan Gereja-gereja Indonesia), karena saya bukan pendeta dan tidak memiliki titel teologis apapun. Saya hanyalah seorang guru dan trainer yang banyak memberikan pertanyaan pancingan (selain mengajar tentu saja), dan seorang Management Consultant yang banyak memberikan pertanyaan jebakan supaya klien saya melihat lebih jernih, juga seorang penulis realis yang senang mengkritisi apa yang sedang terjadi. Jadi, ijinkan saya, melalui tulisan ini, mengajukan beberapa pertanyaan untuk direnungkan (saya tidak cukup PD untuk menulis ‘direnungkan oleh Yang Terhormat Ketua PGI’)
Beberapa hari ini umat Kristen merasa dikejutkan oleh sebuah Surat Pastoral ber-kop PGI dan bertandatangan Ketua Umum dan Sekjen PGI, isinya membahas mengenai pandangan gereja PGI mengenai LGBT. Di surat sepanjang 5 halaman tersebut, Yang Terhormat para Pengurus PGI membaginya menjadi Surat Pendahuluan, Pengantar (poin 1 – 3), Titik Tolak (poin 4 – 7), Rekomendasi (poin 8 – 12) dan Penutup (Poin 13-14). Bagi Saudara yang penasaran dan belum pernah membaca, berikut saya berikan PDF yang saya buat dari gambar-gambar yang saya dapatkan: Surat Pastoral PGI
Baik, mari kita mulai (tulisan ini agak panjang, silahkan akhiri di sini jika Saudara merasa tidak tertarik)
Surat Pendahuluan
Saya membayangkan para pengurus PGI yang merupakan para pemuka gereja-gereja se Indonesia sedang duduk dalam sebuah sidang yang terhormat pada tanggal 26 – 28 Mei 2016 (halaman 1) membicarakan sebuah isu sensitif: bagaimana seharusnya sikap organisasi gereja (yang mereka wakili) terhadap LGBT. Para pendeta besar itu duduk di kursinya, berpikir, berdiskusi dan mengeluarkan butir-butir.
Dalam bayangan saya (sekali lagi, ini hanya bayangan saya), para Doktoral yang terhormat itu mengemukakan pendapatnya satu persatu mengenai masalah ini. Beberapa diam karena merasa tidak punya cukup referensi (walau Alkitab seharusnya sudah cukup jelas), beberapa berbicara dengan berapi-api (mungkin karena ada kenalan atau saudaranya yang juga merupakan bagian dari LGBT), beberapa menyampaikan pandangan, beberapa memandang ke depan dengan pandangan kosong sambil menantikan akhir jaman.
Kemudian setelah tiga hari yang terasa begitu panjang, dibuatlah sebuah rangkuman pembicaraan tersebut, ditujukan kepada Pimpinan Gereja Anggota PGI, entah sebagai “undang-undang” yang harus diterima atau hanya sebagai “draft keputusan”, saya tidak paham, yang saya tahu pasti dalam surat pendahuluan itu tertulis Pengantar Pernyataan Sikap PGI.
Surat pendahuluan itu diakhiri dengan himbauan agar organisasi gereja – gereja memberikan pandangannya agar PGI dapat menyempurnakan Sikap dan Pandangannya. Saya rasa ini satu-satunya bagian yang saya puji dari surat pendahuluan ini, terbuka untuk masukan, walau saya sesalkan juga. Jika memang ini merupakan sebuah bola api yang digulirkan untuk dibahas, bukankah PGI tidak perlu membuat tulisan Pernyataan Sikap? Mereka bisa menulisnya sebagai Usulan Pernyataan Sikap.
Disebutkan bahwa pertimbangan-pertimbangan PGI tidak bermaksud menyeragamkan pandangan organisasi gereja yang berbeda tentang LGBT. Jika memang demikian, lalu untuk apa Surat Pastoral ini dibuat?? Jika tidak perlu berdampak, untuk apa repot-repot mengadakan sidang MPH selama tiga hari hanya untuk membahas sesuatu yang ‘tidak perlu diterima’?? Jika PGI mewakili organisasi gereja-gereja di bawahnya, mengapa mengeluarkan Pernyataan Sikap yang ‘tidak perlu diterima’?
Pengantar
Sebuah poin yang menarik dari bagian pengantar adalah poin 2:
Allah menciptakan manusia, mahluk dan segala ciptaan yang beraneka ragam dan berbeda-beda satu sama lain. Kita hidup dalam keanekaragaman ras, etnik, gender, orientasi seksual, dan agama. Keanekaragaman ini adalah sebuah realitas yang Allah berikan kepada kita, yang seharusnya kita terima dengan sikap positif dan realistis
WOW!!! Bukankah luar biasa?? Apakah maksudnya keanekaragaman orientasi seksual yang terjadi saat ini disamakan dengan keanekaragaman agama?
Setahu saya, Tuhan hanya menciptakan tiga gender di dunia:
- Wanita (Betina)
- Pria (Jantan)
- Hermafrodit (hewan yang membuahi dirinya sendiri)
Khusus untuk hewan tingkat tinggi dan manusia, Tuhan hanya memberikan dua saja: Pria dan Wanita. Selain untuk mengasihi satu dengan yang lain, tujuan Tuhan sederhana, supaya mereka bisa berkembang biak. Tuhan memberikan perangkat yang berbeda untuk pria dan wanita agar ketika disatukan, keduanya bekerjasama menghasilkan keturunan.
Jika memang gender hanya dua untuk manusia, apakah ini bisa dikatakan KEANEKARAGAMAN? Jika jenis tumbuhan hanya dua di dunia, apakah kita bisa mengatakan bahwa Tuhan menciptakan aneka ragam tumbuhan? Semoga Anda mengerti maksud saya.
Demikian juga orientasi seksual. Ada dua orientasi seksual yang kita kenal: Heteroseksual (tertarik pada lawan jenis) dan Homoseksual (tertarik pada sesama jenis). Apakah Yang Terhormat para Ketua PGI hendak mengatakan bahwa Tuhan yang patut bertanggungjawab dan dipersalahkan atas adanya Homoseksual?? Apakah Homoseksual merupakan produknya Tuhan?
Bagaimana dengan kecenderungan (orientasi) seksual orang yang meyukai binatang secara seksual, atau yang menyukai dan menikah dengan Menara Eiffel? Apakah itu salah satu keragaman orientasi seksual yang Tuhan ciptakan?
Sebagai non-pendeta dan non-gelar-teologis, saya sih tidak berani mengklaim demikian, bagaimana dengan Anda?
Sisanya Para Pendeta Besar yang terkumpul dalam kepengurusan PGI menghimbau agar kita bersikap positif, realistis dengan menerima dalam kasih segala perbedaan yang ada. Poin 3 tidak ada masalah saya setuju kita harus mengasihi siapapun, baik itu LGBT maupun manusia normal, baik itu wanita penghibur maupun istri pendeta, baik itu pembunuh maupun pendeta.
Titik Tolak
Poin 4:
Membicaraan LGBT adalah membicarakan manusia yang merupakan mahluk Allah yang sangat dikasihi-Nya.
Saya tidak mengerti poin ini. Rupanya mereka tidak dapat membedakan antara perilaku dengan pelaku. Ada perbedaan antara pelaku dan perilaku. Pelaku adalah manusia, sedangkan perilaku adalah apa yang diperbuatnya. Secara logika matematika, pernyataan ini tidak ada yang salah.
- A: LGBT adalah manusia
- B: Manusia merupakan mahluk yang dikasihi Tuhan
- Kesimpulan: LGBT merupakan mahluk yang dikasihi Tuhan
Namun, kata “membicarakan” membuatnya menjadi fail! Ketika kita membicarakan LGBT, kita tidak sedang membicarakan manusia yang merupakan mahluk Tuhan yang sangat dikasihi-Nya. Ketika kita membicarakan LGBT, kita membicarakan sebuah perilaku dari manusia yang merupakan mahluk Tuham yang sangat dikasihi-Nya.
Oke, Anda mungkin berkata “kaya gitu aja kok diributin”. Ada alasan saya membahas ini, karena ada sebuah pernyataan di poin ke 6 (poin ini merupakan favorit saya di mana saya tertawa paling keras). Anda bisa membacanya sendiri, namun saya bisa merangkumnya dengan interpretasi saya (maafkan jika salah):
- Kita mengatakan bahwa LGBT itu melawan moral karena kita salah paham dalam mengartikan Alkitab
- Alkitab tidak pernah menghakimi LGBT, Alkitab mengkritisi perlakuan eksploitatif seksual (pemerkosaan)
- Heteroseksual adalah sebuah orientasi seksual yang “kita anggap normal” dan bukan orientasi seksual yang normal
- Dalam kisah penciptaan Adam dan Hawa tidak ada tertulis bahwa Tuhan menolak kaum LGBT.
Pertama, dalam penciptaan belum ada alat make up operasi plastik sehingga tidak ada transgender, kedua dalam penciptaan jika terdapat LGBT, maka jaman sekarang manusia tidak akan sebanyak ini di muka bumi… mungkin setengahnya, karena perintah Tuhan “penuhilah bumi” hanya bisa dilakukan oleh orang yang menurut PGI “dianggap normal”
Ketiga, berkaitan dengan poin sebelumya tentang pelaku dan perilaku. Jika memang kita salah paham (salah interpretasi) terhadap ayat yang mudah seperti I Korintus 6:9 (Atau tidak tahukah kamu, ahwa orang-orang yang tidak adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Surga? Janganlah sesat! orang cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, pemburit), betapa banyak ayat yang kita bisa salah pahami. Dalam ayat 10 dikatakan “pencuri, orang kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Surga”
Bagaimana jika kita juga salah paham?? Bagaimana jika ternyata korupsi diijinkan karena korupsi bukanlah bagian dari pencuri dan karena koruptor adalah manusia yang dikasihi Tuhan dan memiliki martabat?
Sekali lagi, bedakan antara perilaku dan pelaku. Tuhan mengasihi pelaku kejahatan itu betul, bahkan Yesus makan dengan orang berdosa. Tapi itu tidak dengan serta merta membuat Yesus berkata “manusia lahir dengan kecenderungan berbuat dosa, itu sudah bawaan lahir, jadi kita harus menerimanya sebagai suatu keadaan yang tidak dapat diubah”
Rekomendasi
Jika poin 6 adalah tempat saya tertawa paling keras, poin rekomendasi adalah tempat saya merasa terkhianati oleh pemimpin gereja.
Kesimpulan poin 8 adalah PGI mengingatkan kita semua mempertimbangkan hasil-hasil penemuan mutakhir baik itu dari kedokteran, WHO, PDSKJI dan sebagainya tanpa sedikit pun mempertimbangkan hatinya Tuhan.
Disebutkan bahwa LGBT merupakan sesuatu yang natural, sudah diterima sejak manusia dilahirkan, walau ada juga karena pengaruh sosial.
Dalam salah satu kalimat di poin 8 disebutkan:
Oleh karena itu, menjadi LGBT, apalagi yang sudah diterima sejak lahir, bukanlah suatu dosa, karena itu kita tidak boleh memaksa mereka bertobat. Kita juga tidak boleh memaksa mereka berubah, melainkan sebaliknya, kita harus mendorong mereka agar bisa menerima dirinya sendiri sebagai pemberian Allah.
Saya ingin bertanya,
- Bagaimana caranya mendorong mereka agar menerima dirinya sendiri? “Kamu harus menerima kalau kamu lesbian, tidak apa-apa sukailah perempuan yang kau mau” ??
- Jika logika di atas dipakai (bahwa jika LGBT normal maka tidak perlu diubah), bolehkah saya mengatakan “Epilepsi adalah bawaan lahir. Karena itu epilepsi bukanlah suatu penyakit dan tidak perlu diobati. Karena apa yang merupakan bawaan lahir adalah normal!”
Adik saya berkata, dalam ilmu kedokteran dan obat-obatan, sebuah obat bisa ditemukan jika diakui adanya masalah. Solusi baru dapat dibuat jika kita sadar ada masalah.
Organisasi pro-gay Amerika “Parents and Friends of Lesbians and Gays” mengatakan bahwa tidak ada satupun ilmuwan mengatakan bahwa gen dapat menentukan orientasi seksual. Jika gen tidak dapat menentukan orientasi seksual maka pada dasarnya LGBT tidak dilahirkan.
Baik, kita bicara soal ketidakseimbangan hormon. Ada pria yang memiliki hormon wanita berlebih, demikian juga sebaliknya. Jika pria bisa disuntik hormon wanita agar memiliki tubuh wanita, tidak mungkinkah pengobatan dibuat untuk hal ini? Entahlah, saya pun bukan ahli kedokteran.
Poin 9 menyebutkan:
Gereja sebagai sebuah persekutuan yang inklusif dan sebagai sebuah Keluarga Allah, harus belajar menerima kaum LGBT sebagai bagian yang utuh dari persekutuan kita sebagai Tubuh Kristus. Kita harus memberi kesempatan agar mereka bisa bertumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik, mental, sosial dan secara spiritual.
Ijinkan saya bertanya satu hal mengenai poin ini. Jika seorang LGBT dibina untuk bertumbuh sebagai manusia yang utuh secara fisik, mental, sosial dan spiritual, maka mereka akan bertumbuh sebagai apa? Tentunya sebagai LGBT yang utuh secara fisik, mental, sosial dan spiritual. Apakah benar begitu?
Poin 10 cukup membuat saya terkejut. Inti dari poin ini adalah gereja harus mempersiapkan dan melakukan bimbingan pastoral (ready???) kepada keluarga. Bukan kepada pelaku LGBT, tapi keluarga. Agar menerima saudara atau keluarga mereka yang LGBT.
Saya setuju dengan poin 10 ini. Peran keluarga sangatlah penting. Keluarga yang terus menerus menolak dengan kasar mungkin akhirnya dapat membuat keluarga mereka (yang LGBT) bunuh diri atau depresi. Namun yang saya soroti, tidakkah ada satu poin pun dari Yang Terhormat Pemimpin PGI menyebutkan agar gereja melakukan bimbingan pastoral kepada LGBT? Oh, saya lupa, tentu saja tidak ada, bukankah menurut mereka LGBT adalah sesuatu yang normal dan tidak perlu diubah.
Poin 11 dan 12 membuat saya bingung sekali. Poin ini berbicara mengenai “memperjuangkan hak-hak dan martabat” kaum LGBT. Saya ingin bertanya:
- Hak-hak seperti apa yang diperjuangkan?
- Apakah LGBT memiliki hak untuk menikah?
- Jika jawaban no 2 adalah ya, apakah mereka juga memiliki hak untuk diberkati di gereja?
- Jika jawaban no 3 adalah ya, apakah gereja-gereja di bawah PGI (setidaknya di bawah para pemimpin PGI yang saya pun merupakan salah satu anggotanya) mau menerima pemberkatan pernikahan untuk pernikahan LGBT?
- Jika jawaban no 2-4 adalah “tidak”, mari saya ajak Anda berpikir normal: suatu hubungan hetero (pria dan wanita) tidak berakhir di fase ‘saling suka’, tidak juga berakhir di fase ‘pacaran’. Pada suatu titik mereka rindu untuk membangun rumah tangga, dan berhubungan layaknya suami istri. Jika LGBT dianggap normal, maka mereka pun memiliki keinginan normal untuk membangun rumah tangga dna berhubungan layaknya suami istri, bukan begitu? Gereja tidak bisa naif dan berkata “oh, tidak maksud kami… kami hanya mendorong mereka untuk menerima diri, berhenti di titik itu saja” Tidak,
pendeta BODOH!!!! Menerima diri berarti menerima bahwa dirinya menyukai orang lain yang sesama jenis dan ingin diperlakukan normal termasuk menikah dan membangun rumah tangga. Anda siap dengan itu, Bapak Pendeta?
Penutup
Bagian penutup merupakan bagian penting yang sangat perlu ditertawakan
LGBT pada dirinya sendiri bukanlah sebuah persoalan. LGBT menjadi persoalan karena kita yang mempersoalkannya. Kitalah yang memberinya stigma negatif.
Saya benar-benar menanti PGI mencabut Surat Pastoral ini. Sungguh!! Saya mengerti benar bagaimana perasaan Saudara Muslim yang malu ketika dirinya dianggap sama dengan FPI yang suka anarkis. Saya sungguh malu jika keputusan saya dianggap sama dengan pernyataan sikap PGI.
Notes:
Saya mendengar dari salah seorang teman bahwa beredarnya Surat Pernyataan Sikap merupakan sebuah “kecolongan”. Dengan tertawa saya bertanya “kecolongan seperti apa?”. Saya sungguh-sungguh berharap dia menjawab “kecolongan dalam hal keputusan, seharusnya tidak seperti itu. Ada oknum yang dengan sengaja mengubah isinya, dst”. Tapi ternyata tidak, kecolongan yang dimaksud adalah “seharusnya surat itu tidak tersebar di media sosial karena ditujukan untuk pemimpin gereja.
(Maafkan saya terpaksa kasar) HAI BODOH!!! Jika memang surat ini ditujukan untuk pemimpin gereja, bukankah ini lebih konyol lagi?? Apakah para pemimpin PGI menganggap bahwa pemimpin gereja demikian bodohnya? Dan terpikirkah oleh mereka perasaan jemaat ketika mengetahui pemimpinnya mendapat surat semacam itu? Kami, orang awam ini, merasa dipermalukan, dikhianati dan ditelikung oleh gembala kami sendiri.
Saya mengerti bahwa banyak gereja ber’kiblat’ ke Amerika dan mungkin ini adalah salah satunya. Bahwa banyak Hamba Tuhan menjadi Pendeta Humanis yang lebih condong kepada ‘Apa kata manusia’ daripada ‘Apa kata Tuhan’. Berdirinya bangunan mewah dengan lighting, sound system dan segala hal keren untuk memuaskan mata jemaat membuktikannya. Namun apakah berlebihan jika kami minta ke-humanis-an Anda berhenti pada gedung itu saja, jangan diperparah dengan pandangan humanis yang Anda masukkan ke gereja.
Ketika pemuka agama lain dengan berani menunjukkan sikap menentang tanpa peduli dianggap Homophobia atau anti-humanis, Yang Terhormat para Ketua PGI malah menunjukkan sebaliknya.
Saya angkat topi bagi para Hamba Tuhan yang langsung membuat surat pernyataan sikap terbuka yang menolak Surat Pernyataan Sikap Pastoral-nya PGI. Anda adalah pemimpin yang sangat bertanggungjawab!!
Dan bagi Anda, para pendeta yang belum membuat surat pernyataan, terutama yang namanya disebut dalam jajaran ketua dan pengurus PGI, bukankah itu hanya menunjukkan bahwa Anda menyetujui semua yang tertulis di sana?
Semoga Tuhan memberi kita semua hikmat Surgawi yang melampaui segala akal untuk mengartikan Firman Tuhan, mengaplikasikannya dan membagikannya.
Tuhan memberkati!
Like this:
Like Loading...