Kembali…


Dia bukan seorang wanita yang pintar, tidak mengenyam bangku kuliah. Ia bahkan berhenti di kelas 2 SMA karena keterbatasan biaya. Sedangkan suaminya, seorang insinyur yang sedang meningkatkan karirnya.

Hari-hari pertama saat kepergian suaminya adalah hari-hari yang berat. Uang yang ada di dompetnya adalah uang belanja terakhir yang diberikan suaminya seminggu sebelumnya. Hanya bisa menghidupi dirinya dan anak-anaknya selama dua hingga tiga minggu saja. Itu pun jika ia tidak harus membayar uang sekolah anak-anaknya.

Ia seorang wanita berusia awal tiga puluhan yang masih terlihat begitu cantik, masih menarik perhatian kaum pria jika ia berjalan seorang diri. Continue reading

Terlambatkah?


[Lagi suka membuat cerpen (sangat) pendek]

Aku memiliki anak di usia yang sangat muda. Ketika cinta membutakan mata dan bayangan rumah tangga seindah cerita Cinderella. Terus terang saja, kami tak siap ketika tiba-tiba kami memiliki anak. Bukannya kami tak tahu bahwa resiko pernikahan itu adalah anak, tapi kami tak siap dengan apa yang akan kami lakukan pada anak itu… maksudku, selain memberinya makan dan menjaganya tetap hidup.

Anakku lucu sekali sejak kecil. Kakek dan neneknya sangat memujanya, memberikan semua yang ia inginkan, mulai dari mainan sampai teknologi tercanggih. Semua yang anakku katakan harus selalu terpenuhi. Aku pikir waktu masih sangat panjang, tentulah mendidiknya dengan disiplin bisa ditunda… selama anak ini lucu, sebaiknya waktu yang ada dinikmati saja. Continue reading

Kecewa!


Lagi…sebuah cerita (sangat) pendek…

Kekecewaan adalah ketika kau tak mendapat apa yang kau inginkan. Semakin kau dekat dengan seseorang, maka semakin besar rasa kecewa yang akan kau dapat darinya jika dia tak dapat memenuhi harapanmu.atau bahkan melakukan sesuatu yang membuatmu sakit hati.

Besok aku akan mengisi sesi khusus mengenai makna kekecewaan pada murid-murid yang masih SD. Mungkin banyak orang akan mengatakan bahwa mengajarkan arti kekecewaan pada anak-anak sama seperti meminta bayi mengunyah, belum waktunya. Tapi rupanya kepala sekolah tidak sependapat dengan mereka. Sejak kecil, seorang anak harus belajar tentang mengatasi kekecewaan, katanya. Continue reading

Menjadi Superman!


Sebuah cerita (sangat) singkat…

“Papa, aku ingin jadi Superman,” kata anakku tadi. Ketika aku membangunkannya, rupanya dia sedang bermimpi terbang di langit mengawasi orang-orang di bawahnya, siap turun kapan saja seseorang membutuhkan bantuannya.

“Apa kau ingin papa membelikanmu pakaian Superman?” tanyaku sebagai jawaban atas pernyataan anakku.
Continue reading

Tempat Remang-Remang


(A short story about life)

Kepalaku masih sakit karena semalam aku minum dan sepertinya aku mabuk. Tunggu dulu! Jangan berpikir bahwa aku seorang pemabuk. Justru kepalaku sakit karena sebelumnya aku tidak pernah mabuk. Tadi malam aku merasa bahwa aku sudah cukup dewasa untuk merasakan minuman yang katanya bisa membuat kita lupa akan masalah yang ada.

Tunggu sebentar, biar aku ingat-ingat apa yang terjadi semalam. Orangtuaku sebenarnya ada di rumah, tapi aku katakan pada mereka bahwa malam ini aku tidak akan pulang ke rumah. Lagipula aku sudah dewasa kan. Malah seharusnya aku sudah tidak tinggal lagi dengan mereka. Sudah waktunya aku tinggal terpisah dari mereka dan mengurus kehidupanku sendiri.

Malam itu aku memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian dengan mobil kecilku. Aku melewati jalan itu. Jalan di mana terdapat banyak kafe remang-remang. Aku tidak mengerti mengapa orang yang pergi ke sana lebih menyukai suasana remang-remang seperti itu daripada terang benderang. Mungkin karena dalam keadaan remang-remang mereka bebas melakukan apapun tanpa dilihat orang lain.

Saat itu aku teringat pada kata-kata seorang guruku. Katanya kalau kita berbuat benar, kita tidak perlu takut melakukan apapun dalam keadaan terang. Apakah orang-orang ini ingin melakukan sesuatu dan tidak ingin terlihat?

Aku penasaran sekali apa yang terjadi di dalam. Jadi aku parkir mobilku dan aku melangkah masuk ke tempat itu. Suatu bar memanjang dengan kursi dan meja kayu yang diatur berjajar. Juga ada meja bar dengan beberapa kursi tinggi. Musik dari band yang bermain menghentak kencang. Lampu hijau dan merah menyala bergantian, selain lampu kuning redup yang menyala di beberapa sudut bar.
Continue reading

Mengubahkan hidup


Gadis cilik itu menengadah ke langit. “Sebentar lagi hujan,” batinnya. Dia tahu kapan akan hujan. Bau tanah dan suhu udara yang meningkat membuatnya yakin bahwa hujan sedang dalam perjalanannya. Ini artinya dia harus segera mencari tempat berteduh yang tidak hanya melindunginya dari air hujan, tapi juga dari angin dingin yang datang bersamaan dengan hujan.

Hari ini tempat tinggalnya tidak sama dengan kemarin. Sejak ibunya meninggal karena tergilas truk, dia tidak memiliki siapa-siapa lagi dan memutuskan tidak lagi menjadi gelandangan menetap seperti saat ibunya masih ada.

Dulu, saat ibunya ada, mereka selalu tidur di alun-alun kota. Tapi tempat itu sekarang hanya mengingatkannya pada ibunya, dan dia tidak suka. Dia memutuskan untuk pergi kemana kakinya membawanya. Tidur di tempat nyaman pertama yang dilihatnya. Terkadang di emperan toko roti, yang mana artinya dia harus bangun pagi-pagi sekali sebelum diusir pemilik toko. Terkadang di kolong jembatan layang, jika udara tidak terlalu dingin. Continue reading

Hutang Kepada Pencipta (A Short Story)


Aku tidak bodoh… Tidak! Aku bukan gadis bodoh. Baik, mungkin kau dapat mengatakan aku ini sombong, tapi aku tidak bodoh. Mungkin sedikit gila, tapi tidak bodoh. Di dalam kepalaku ada sel-sel yang saling berhubungan satu dengan lain, dan hantaran listrik di dalamnya begitu banyak. Aku tidak bodoh!

Banyak orang yang bilang aku bodoh. Mungkin aku sedikit berpura-pura bahwa aku tidak sepintar yang sebenarnya. Menunjukkan tatapan mata kosong sesekali, atau berpura-pura tidak mengerti sesekali. Tapi itu hanya untuk memancing informasi yang lebih banyak dari orang itu. Menikmati bahwa lawan bicaraku merasa pintar dan bicara lebih banyak, karena aku sedang malas bicara. Tapi sekali lagi ku katakan, aku ini tidak bodoh.

Aku begitu banyak membaca sejak kecil, kata-kata bermain-main dalam otakku, membuatnya semakin hari semakin kuat, semakin penuh, semakin berisi, semakin pandai. Hanya orang yang naïf dan berwawasan sempit yang mengatakan bahwa aku tidak pintar.

Suatu hari, aku bertemu dengan seorang bapak saat aku sedang menunggu kereta api. Kami bercakap-cakap cukup lama, mulai dari lintasan planet hingga kandungan yang terdapat di dalam bumi. Aku juga tidak tahu kenapa percakapan kami begitu melebar. Sebelum berpisah Bapak itu mengatakan sesuatu yang mengejutkanku, katanya aku harus berhati-hati dengan isi kepalaku, karena jika tidak, itu akan sangat menyulitkan aku suatu saat. Continue reading