Kembali…


Dia bukan seorang wanita yang pintar, tidak mengenyam bangku kuliah. Ia bahkan berhenti di kelas 2 SMA karena keterbatasan biaya. Sedangkan suaminya, seorang insinyur yang sedang meningkatkan karirnya.

Hari-hari pertama saat kepergian suaminya adalah hari-hari yang berat. Uang yang ada di dompetnya adalah uang belanja terakhir yang diberikan suaminya seminggu sebelumnya. Hanya bisa menghidupi dirinya dan anak-anaknya selama dua hingga tiga minggu saja. Itu pun jika ia tidak harus membayar uang sekolah anak-anaknya.

Ia seorang wanita berusia awal tiga puluhan yang masih terlihat begitu cantik, masih menarik perhatian kaum pria jika ia berjalan seorang diri.

Kehidupannya sangat sulit menginjak bulan kedua. Ia tak tahu lagi dari mana ia bisa mendapat uang. Pekerjaan mencuci di rumah tetangga atau membersihkan rumah mereka tidak akan cukup membiayai dirinya dan tiga anaknya.

Malam itu dia menatap cermin di kamarnya dan berkata pada bayangan dirinya di cermin, “apa yang telah kau lakukan hingga suamimu meninggalkanmu? Kau cantik, dan tidak pernah macam-macam. Mengapa dia meninggalkanmu.”

Hal terakhir yang dia pikirkan hanya menjual rumahnya, tapi kemudian ia teringat bahwa semua surat-surat rumah dibawa pergi oleh suaminya… Lagipula seandainya ia menjual rumah, apa yang akan ia lakukan? Mengontrak, lalu apa?

Ia masih ingat hari itu, ketika berjumpa dengan teman SMA-nya yang kebetulan tersesat di daerah sekitar rumahnya. Temannya itu mengendarai mobil kecil dengan penampilan bak selebritis.

“Kau Diana?” Kata temannya itu.

Sebenarnya ia hendak mengatakan tidak. Ia malu jika membandingkan dirinya dengan temannya itu. Waktu SMA, dirinya terkenal sebagai “gadis tercantik di sekolah” dan temannya itu hanya “gadis biasa-biasa saja” dan sekarang lihatlah apa yang terjadi.

“Vania” jawabnya lemah.

“Ya, ini aku… Kamu apa kabar?”

“Seperti yang kau lihat” jawabnya sambil merentangkan tangannya.

“Ayo masuk deh… Sekalian nunjukkin aku jalan. Aku tersesat nih”

“Aku tidak bisa. Kalau mau kau mampir ke rumahku. Aku harus menunggu anak-anakku pulang sekolah.” Jawabnya sambil berharap temannya itu menolak ajakannya untuk mampir. Apa yang akan ia suguhi.

“Oh, sudah punya berapa anak?”

“Tiga” jawabnya pendek

“Baiklah, aku masih punya cukup waktu” kata temannya sambil melihat arloji yang kelihatannya dari emas murni bertatahkan berlian, “aku akan mampir ke rumahmu, sekalian nanti kamu kasih tau aku jalan ke alamat tujuanku ya.”

Hidupnya berubah sejak temannya datang ke rumahnya.

“Apa pekerjaan suamimu?” tanya temannya sambil menyelipkan sebatang rokok di bibirnya.

“Eh, aku… Suamiku…” Dan pecahlah pertahanannya. Dia menangis tersedu-sedu di hadapan temannya sambil menceritakan keadaannya.

“Aku juga ditinggal oleh suamiku.” Katanya sambil mengepulkan asap rokoknya.

“Kamu…? Tapi….kamu…”

“Kamu pasti bingung dengan mobil, penampilan, dan perhiasanku. Betul begitu?”

“Maaf, bukannya aku..”

“Tak apa” jawab temannya sambil mengibaskan tangannya. “Ini pemberian dari pria-pria yang menyewa jasaku. Aku ini wanita penghibur tingkat atas”

“Apa maksudmu?”

“Hahaha, Diana…Diana… Kau wanita dewasa, haruskah aku menjelaskannya?”

“Bagaimana dengan anak-anakmu.”

“Aku serahkan mereka pada ibuku untuk dirawat. Tanpa mereka aku lebih leluasa. Sebulan sekali aku mengunjungi mereka sambil membawa uang. Hidup mereka lebih baik sekarang.”

“Tapi…bagaimana kau…”

“Sudahlah, kita tidak sedang bicara masa laluku. Aku bisa menolongmu jika kau mau. Diana… Kau ini masih cantik. Jika didandani kau akan jadi saingan yang berat untukku.” Katanya sambil dilanjutkan dengan tawa terkikik.

“Aku…”

“Pikirkanlah.. Kau punya tiga orang anak yang harus kau biayai. Suamimu pergi meninggalkanmu. Tuhanpun tahu jika kau tidak memiliki pilihan lain, Diana.”

“Aku…”

“Baiklah, aku harus pergi. Ini nomor teleponku” katanya sambil mencatat dalam sebuah kertas notes berbau harum dan menyerahkannya pada Diana, “hubungi aku jika kau menerima tawaranku”

Sudah seminggu sejak perjumpaannya dengan teman SMA-nya. Dalam seminggu itu, sudah tiga kali ia didatangi penagih hutang, dan pada kali terakhir, penagih hutang itu mengancam akan menjual anak-anaknya jika hutangnya tidak segera ia lunasi dalam waktu tiga hari.

Akhirnya ia mengambil keputusan itu, “Vania, ini aku, Diana”

“Hey…aku tahu kau akan menelepon. Jadi bagaimana, kau bersedia?”

“Aku butuh uang cepat dalam dua hari. Aku harus membayar hutang-hutangku.”

“Dalam tiga jam temui aku di mall dekat sekolah kita dulu. Pakailah pakaian terbaikmu, dan berdandanlah yang elegan, jangan norak! Jika perlu berhutanglah ke salon, nanti kau akan dapat membayarnya.”

Hatinya berdebar-debar, masalah apa yang akan ditimbulkannya. Bagaimana jika suaminya tiba-tiba pulang? Bagaimana jika… Ah, dia segera mengesampingkan pikirannya “Tuhan pun tahu kau tidak punya pilihan,” adalah kalimat yang akan dia simpan dalam hatinya, sebagai penutup dosa-dosanya kelak.

Ini sudah tahun ketiga sejak dia memutuskan untuk menerima tawaran temannya. Hidupnya sekarang benar-benar sudah berubah. Dia bisa membiayai ketiga anaknya di sekolah mahal, dia memiliki mobil dan semua hal yang diinginkan wanita.

Pria yang bersamanya saat ini adalah pria kelima yang membiayainya. Bagaimanapun dia wanita yang cukup cantik untuk mempertahankan pria-pria kaya itu tetap bersamanya. Pria-pria kaya itu akan meninggalkannya jika ketahuan istri mereka atau ketika mereka sudah tak punya lagi uang.

Suatu sore ia memutuskan untuk berjalan-jalan ke taman komplek. Tempat favorit orang-orang di perumahan elit tempat dia tinggal saat ini.

Saat itu ia berjumpa dengan seorang pria yang tampak kelelahan, “aku haus, kau punya minum”. Pria itu terlihat seperti pria baik-baik. Sama sekali tidak terlihat seperti pria-pria yang biasa bersamanya.

“Kau terlihat seperti pria baik-baik” jawabnya

“Apa yang kau lakukan sore-sore di sini?”

“Aku berjalan-jalan… Apa kau mau menemaniku” jawabnya genit.

“Sendirian?” Tanyanya lagi.

“Ya, sendirian. Tapi tidak lagi jika bersamamu” jawabnya masih dengan nada menggoda.

Pria itu tersenyum, dan senyumannya aneh sekali. Seolah ingin mengatakan bahwa dia kasihan padanya, dan bahwa dia mengerti keadaan dirinya.

“Kau sedang dalam masalah?”

“Tidak, aku baik-baik saja, hidupku hebat”

“Tentu saja. Seandainya kau tahu sedang bicara dengan siapa, dan mau menceritakan masalahmu, engkau akan meminta damai dan ketenangan dan Ia akan memberikannya”

“Apa maksudmu? Dengar, aku telah berusaha… Aku berusaha untuk bisa hidup tenang. Dan sekarang kau mengatakan padaku bahwa aku memiliki masalah? Apa masalahmu, tuan???”

“Kalau kau mencari damai dan ketenangan dari apa yang kau lakukan, kau tak apan pernah puas. Tapi siapa saja yang mencari damai dariku, ia akan merasa damai dan tenang… Dan kedamaian itu akan menjadi seperti mata air di dalam dirinya, yang terus menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal.”

“Baik tuan… Apa kamu bisa memberi aku damai itu” jawabnya setengah mengejek…”Supaya aku tak perlu lagi bersusah payah atas hidupku…” Lanjutnya sambil termenung…

“Mana suamimu. Panggil dia ke sini” kata pria itu

“Aku tak bersuami”

“Betul sekali kamu tidak punya suami. Kamu sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu bukanlah suamimu. Ya…kau benar”

Kata-kata itu menyentakannya dan mengembalikannya ke alam sadar. Rupanya ia sudah bermimpi… Mimpi yang sangat aneh…

Mimpinya mengingatkannya pada sesuatu, tapi ia tidak tahu apa… Ia seperti tidak asing dengan pria yang ada di taman itu, juga dengan kata-kata yang diucapkannya. Tapi dimana ia pernah mengenal pria itu?


“Mama, tadi guruku di sekolah bercerita tentang air hidup. Mama tahu tidak apa itu air hidup”

Tiba-tiba ia tersentak, ia teringat mimpinya tempo hari. Tentu saja ia tahu siapa pria itu. Dia adalah seorang dari masa lalunya, ketika iman masih menjadi bagian dari hari-harinya. Ketika ayahnya masih hidup.

“Air hidup, sayang?”

“Ya mama, kata guruku, kalau kita punya air hidup kita tidak akan haus lagi… Mama tahu tidak apa itu air hidup. Ayo ma, tebak…”

Air mata mulai mendesak keluar dari matanya, mengalir pelan di pipinya, “mama tahu sayang”

“Kenapa mama tidak pernah cerita padaku kalau mama tahu? Aku sudah terima Tuhan Yesus di sekolahku tadi ma”

“Oya?”

“Ya ma, kata guruku, aku tidak akan pernah sendiri lagi… Kalau aku memiliki Tuhan Yesus, dia akan melindungiku…”

“Sayang, apalagi kata gurumu?”

“Katanya kalau aku menerima Tuhan Yesus maka aku dipelihara oleh-Nya… Dia senantiasa bersamaku, dan suatu saat aku akan berbahagia bersama Tuhan Yesus di surga”

“Surga…”

“Ya Ma… Surga, tempat yang luar biasa indah” kata anaknya sambil merentangkan tangannya. “Mama mau masuk surga kan?”

“Tentu sayang mama mau, mama hanya tidak yakin apakah Tuhan Yesus mau menerima mama di Surga.”

“Mama…kata guruku, Tuhan Yesus sudah mati untuk kita. Artinya semua kesalahan kita sudah dihapus mama… Dihapuuuusss…” Kata anaknya sambil memperagakan gaya menghapus papan tulis.

“Ya sayang”

“Kita hanya tinggal datang dan minta, Ma”

“Tapi mama… Mama ini…”

“Mama mau menerima Tuhan Yesus?”

Dia teringat saat kecil dulu ia menerima Tuhan Yesus…

“Mama sudah membuat Tuhan sedih, sayang”

“Mama, Tuhan Yesus cepat pulih kok dari sedihnya. Gak kaya aku yang kalau nangis susah berhenti… Mama,…”

“Tidurlah sayang… Jaga adik-adikmu ya…Mama akan memikirkan ceritamu”

Diana teringat kisah si wanita Samaria, bagaimana Tuhan Yesus menjadikannya wanita yang berbeda sejak perjumpaannya dengan Dia. Mungkinkah mimpinya malam itu berarti Tuhan Yesus sedang memanggilnya.

Malam itu, si wanita Samaria berlutut di samping tempat tidurnya… “Tuhan Yesus… Aku kembali…”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s