Lagi…sebuah cerita (sangat) pendek…
Kekecewaan adalah ketika kau tak mendapat apa yang kau inginkan. Semakin kau dekat dengan seseorang, maka semakin besar rasa kecewa yang akan kau dapat darinya jika dia tak dapat memenuhi harapanmu.atau bahkan melakukan sesuatu yang membuatmu sakit hati.
Besok aku akan mengisi sesi khusus mengenai makna kekecewaan pada murid-murid yang masih SD. Mungkin banyak orang akan mengatakan bahwa mengajarkan arti kekecewaan pada anak-anak sama seperti meminta bayi mengunyah, belum waktunya. Tapi rupanya kepala sekolah tidak sependapat dengan mereka. Sejak kecil, seorang anak harus belajar tentang mengatasi kekecewaan, katanya.
Aku teringat ketika kecil dahulu. Aku mengalami kekecewaan ketika ternyata orangtuaku tidak dapat menepati janjinya. Misalkan saja ketika papaku berjanji akan mengajakku dan adikku berenang. Tiba-tiba saja ada tamu yang datang sehingga kami tidak jadi berenang. Walaupun papaku sudah bicara baik-baik pada kami, tetap saja kami merasa kecewa sekali. Saat itu rasanya, dunia begitu tidak adil.
Ya, rasa kecewa memiliki akibat yang cukup rumit juga. Seseorang dapat meninggalkan Tuhan karena rasa kecewa yang dia rasakan. Seseorang bahkan dapat membunuh dirinya karena dia merasa kecewa. Kecewa itu suatu perasaan yang tidak dapat dihindari, di luar kendali kita. Namun jelas sekali bahwa reaksi setelah kecewa itu ada di dalam kendali kita.
Mengajarkan tentang makna itu kepada anak TK tentunya akan sangat sulit. Bagi mereka dunia ini tentunya sangat indah. Begitu banyak kasih sayang, begitu banyak harapan… Namun tentunya bukannya tidak mungkin harapan mereka tidak terkabul….ku rasa kepala sekolah benar….dan aku pun memutuskan untuk mampir ke kantornya sebelum pulang ke rumah.
Sesampai di kantor kepala sekolah, aku menghenyakkan diriku ke sofanya yang empuk. Aku dan kepala sekolah sudah seperti saudara, kami sangat dekat. “Banyak orang berkata bahwa untuk menghindarikan diri dari kekecewaan sebaiknya kita tidak perlu berharap” kataku membuka pembicaraan, “bagaimana pendapatmu?”
Dia menghentikan pekerjaannya dan dari balik kacamatanya dia menatapku, “aku tidak setuju” jawabnya singkat.
“Yah, aku pernah mendengar temanku mengatakan itu.” kataku setengah membela diri “katanya terlalu berharap adalah awal dari kekecewaan.”
“Aku tak mengerti maksudmu. Berharap dan terlalu berharap adalah dua hal yang berbeda. Namun walau begitu, keduanya bukanlah jawaban atas masalah ‘menghindarikan diri dari kekecewaan’ ” katanya.
“Ya, aku paham maksudmu. Merasa kecewa ada di luar kendali kita. Kita kecewa karena orang lain melakukan sesuatu di bawah standar kita, bukan begitu? Namun seandainya kita menurunkan standar kita….”
“Tunggu sebentar…” katanya memotong pembicaraanku. “aku rasa ini akan jadi pembicaraan yang menarik. Bagaimana jika aku traktir kau minum kopi setelah aku menyelesaikan semua ini. Nanti kita akan bicara tentang itu.”
“Baik… begini Yan.Mengenai kekecewaan ini, terus terang saja… aku rasa ini bahan yang berat untuk anak-anak itu. Maksudku….”
“Ya, kita akan bicarakan sambil minum kopi nanti. Sebentar ya…sedikit lagi”
Setelah dia menyelesaikan pekerjaanya kami kemudian menuju cafe kecil di dekat sekolah. Sebuah cafe tenang yang nyaman untuk dijadikan tempat berdiskusi (dan mungkin juga berdebat).
“Lanjutkan kalimatmu yang tadi… Jika kita menurunkan standar kita…” katanya membuka diskusi kami sore itu.
“Ya…jika kita menurunkan standar kita agar orang itu dapat memenuhinya, bukankah kita akan menurunkan resiko untuk menjadi kecewa?”
“Itu ada benarnya juga sih… Kau mau pesan apa? Aku yang traktir,… aku sih Black Coffee…”
“Aku Capuccino saja” jawabku singkat.
“Lalu, dengan menurunkan standar itu… apakah itu menyelesaikan masalah? Maksudku…jika kita ingin sesuatu dikerjakan dengan suatu cara yang kita inginkan, lalu kita turunkan standar itu agar tidak kecewa, bukankah itu sendiri sebenarnya sudah membuat kita kecewa? Bahkan kita menanggung resiko untuk kecewa dua kali” katanya
“Kecewa dua kali?”
“Ya, kecewa karena kalaupun sesuatu itu selesai, ternyata itu tidak selesai sesuai dengan standar kita, dan kecewa jika setelah kita turunkan standar, sesuatu itu tetap tidak dapat terpenuhi standarnya. Apa kamu mengerti?”
“Aku rasa kau benar.. Lalu bagaimana dengan tidak terlalu berharap agar tidak kecewa”
“Hmmm…. itu pun aku tidak setuju. Itu hanya sesuatu yang kau ucapkan setelah suatu peristiwa berakhir. Seperti… kalimat ‘penyesalan datang belakangan’ yang baru kau maknai setelah kau benar-benar menyesal”
“Aku tidak mengerti” kataku
“Yah… tidak ada kata ‘terlalu’ untuk sebuah harapan, kecuali kau telah apatis. dan orang apatis adalah orang yang sudah tenggelam dalam kekecewaannya.”
“Anak-anak tidak akan mengerti istilah apatis” jawabku sambil nyengir
“Dan tugas kita adalah mencegah mereka akan menjadi apatis suatu saat nanti” jawabnya sambil termenung
“Kau berpikir terlalu jauh” kataku.
“Apatis itu…” katanya sambil melihat ke luar jendela, “adalah ketika seseorang memutuskan untuk mati ketika nyawanya masih ada di tubuhnya.”
“Apa maksudmu?”
“Seorang yang apatis sama sekali tidak memiliki harapan. Apa jadinya hidup tanpa harapan? Bukankah yang menyemangati kita di pagi hari adalah karena kita memiliki harapan bahwa hari ini akan lebih baik dari kemarin, dan apa yang kita usahakan akan berhasil? Bukankah yang membuat kita tidur nyenyak di malam hari adalah ketika kita berharap besok akan lebih baik dari hari ini. Apa jadinya jika harapan itu tidak ada?”
“Jika harapan itu tidak ada…” kataku, “maka akan menjalani hari dengan begitu saja… mengalir ke manapun hidup membawanya. Ingin cepat-cepat malam dan mengakhiri hari ini, dan enggan bangun di pagi hari…”
“Yah..itu dia… orang apatis itu seperti mayat hidup. Dan kau tahu alasannya seseorang dapat menjadi apatis? Karena dia tidak dapat mengatasi kekecewaannya”
“Kau berkata bahwa kita tidak dapat melakukan sesuatu untuk mencegah kekecewaan. Tapi aku kira, kita masih dapat melakukan sesuatu agar kita tidak kecewa.”
“Siapa yang dapat membuat kita kecewa paling besar?” katanya
“Orang lain tentu saja.” jawabku mantap.
“Di situlah letak kesalahan setiap orang. Dalam benak manusia ‘harapan menerima’ jauh lebih besar daripada ‘keinginan memberi’. Itu sangat manusiawi. Bahwa manusia menempatkan dirinya sebagai obyek..bukan subyek”
“Apa hubungannya?”
“Karena keinginan menerima itu maka seseorang kecewa pada apa yang orang lain lakukan. Karena ia berpikir orang lain tidak dapat memberikan sesuatu sesuai dengan harapannya.”
“Ya… itu benar” jawabku sambil berpikir. “Tapi itu artinya kita tidak boleh berharap”
“Kita tidak boleh menempatkan harapan yang salah.” jawabnya sambil tersenyum.
“Dengar Yan, kita sedang berbicara tentang bagaimana mengajarkan kekecewaan pada anak SD. Ini semua membuatku pusing. Aku tidak tahu bagaimana caranya mengajar anak-anak tentang ini.”
“Hahaha…. justru menurutku ini sangat sederhana”
“Sederhana?” tanyaku sedikit tersinggung dengan nadanya yang terkesan meremehkan. Dia memang selalu begitu… tapi biasanya dia benar. Jadi, aku ikuti saja kemana arah pembicaraannya.
“Ajari mereka untuk menjadi pemberi, bukan penerima. Ajari mereka untuk mengasihi orang lain seperti diri mereka sendiri. Ajari mereka untuk melihat orang lain dengan kasih, bukan dengan menuntut. Ajari mereka untuk bertoleransi”
“Menuntut…”
“Ya, kita menjadi kecewa karena kita cenderung menuntut orang lain untuk melakukan seperti apa keinginan kita. Kita menjadi kecewa ketika orang lain tidak dapat memberikan pada kita apa yang kita inginkan. Semuanya berpusat pada aku…aku…aku”
“Kau benar…”
“Seandainya saja pola pikir kita berubah… maka kita tentunya tidak akan merasa kecewa berlebihan. Maksudku, kecewa itu wajar…sangat wajar. Tapi kecewa berlebihan itu tidak wajar.”
“Lalu bagaimana menangani kecewa yang ‘wajar’ itu, menurutmu”
“Haha, itu sederhana… Sadari bahwa setiap hari adalah anugerah… bahwa setiap hari adalah kesempatan… Menangani kekecewaan itu dimulai dari sini” katanya sambil menunjuk kepalanya “dan diakhiri di sini” katanya sambil menunjuk dadanya.
“Yang terpenting adalah” dia melanjutkan lagi “ketika sesuatu tidak berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan, pikirkan alternatif lain… akhiri dengan mengampuni, entah itu mengampuni diri sendiri, maupun orang lain.”
“Huufft…” aku menarik nafas panjang, “kau memberiku tugas yang sangat berat Yan… “Apa yang harus aku katakan pada anak-anak itu… Bagaimana jika kau saja yang menyampaikannya?”
“Maka kau akan membuatku kecewa hahahaha…. Poin terakhir adalah…berusahalah untuk tidak membuat orang lain kecewa hahaha” katanya sambil tertawa lepas…
“Ini…susah sekali..” kataku sambil mengeluh “dan aku kecewa padamu yang memberimu tugas ini. Maksudku, silahkan beri aku tema ‘mengasihi’ atau ‘mengampuni’ atau berbagi’ atau…” lanjutku.
“Hahaha….” tawanya lagi… “Apa bedanya? Mengatasi kekecewaan adalah gabungan antara mengasihi, mengampuni dan berbagi, bukankah begitu? Mari kita pulang…kau memiliki tugas yang berat…Aku rasa kau sudah tahu apa yang harus kau sampaikan Jane… Aku tahu kau bisa… Aku mengenalmu dengan sangat baik… Jangan kecewakan aku…hahaha”
“Hmm…ya, kau benar… ayo kita pulang”
Ketika kami sedang berjalan kembali ke sekolah, aku mendengar percakapan dua orang anak, sepertinya mereka kakak beradik. Sang kakak berbicara pada adiknya, “jadi uangnya hilang? Aduh, bagaimana dong? Itu uang buat kamu study tour besok yang dari mama kan… Kok bisa hilang?”
“Aduh, gimana dong kak…Tadi kan kakak lihat sendiri aku taruh di tas ini. Apa mungkin dicopet ya kak”
“Aduh… ”
Aku sengaja menghentikan langkahku, ingin mendengar keputusan si Kakak.
“Ya sudah,… kamu pakai uang kakak saja ya… ”
“Tapi itu kan tabungan kakak untuk beli baju”
“Tidak apa… kakak bisa nabung lagi… Lagipula study tour kamu lebih penting daripada baju baru… Yuk, pulang” kata si Kakak sambil menggandeng adiknya.
Ah… aku rasa temanku benar…Anak-anak sudah bisa mengerti arti mengatasi kekecewaan. Lagipula, mereka lebih mengerti artinya mengasihi, bertoleransi dan memberi… Ketika seseorang mengasihi orang lain, dapat bertoleransi dan mau memberi, ia akan mudah sekali mengatasi kekecewaan… bukankah begitu?