Terlambatkah?


[Lagi suka membuat cerpen (sangat) pendek]

Aku memiliki anak di usia yang sangat muda. Ketika cinta membutakan mata dan bayangan rumah tangga seindah cerita Cinderella. Terus terang saja, kami tak siap ketika tiba-tiba kami memiliki anak. Bukannya kami tak tahu bahwa resiko pernikahan itu adalah anak, tapi kami tak siap dengan apa yang akan kami lakukan pada anak itu… maksudku, selain memberinya makan dan menjaganya tetap hidup.

Anakku lucu sekali sejak kecil. Kakek dan neneknya sangat memujanya, memberikan semua yang ia inginkan, mulai dari mainan sampai teknologi tercanggih. Semua yang anakku katakan harus selalu terpenuhi. Aku pikir waktu masih sangat panjang, tentulah mendidiknya dengan disiplin bisa ditunda… selama anak ini lucu, sebaiknya waktu yang ada dinikmati saja.

Waktu yang kunantikan rupanya tak kunjung datang. Aku baru menyadarinya ketika aku mulai kewalahan dengan tingkahnya. Menangis meraung-raung, mengamuk dan mulai merusak ketika apa yang dia inginkan tak dapat kami turuti. Pada akhirnya, kami yang kalah, terpaksa memberikannya sebelum ia membuat malu kami di depan umum.

Kalau sekarang kupikir-pikir, alangkah lebih baik jika dahulu aku malu di depan umum. Lebih baik aku yang mencengkeramnya dan memukulnya di hadapan orang-orang, daripada kini orang lain dan hukum yang mencengkeramnya. 

Dulu aku tak mau dia sampai membenciku karena tak memberikan apa yang dia inginkan. Aku tak mau dia menangis karena aku yang membentaknya jika dia nakal. Jadi, selalu kugunakan kata ‘sayang’ dan bahasa yang lembut, walaupun dia berulah.

Kalau sekarang kupikir-pikir, alangkah lebih baik jika dulu dia membenciku karena aku tak memberikan keinginannya. Bukankah aku seharusnya bisa mengubah kebencian seorang anak menjadi pengertian? Aangkah lebih baik jika dulu dia menangis karena aku membentaknya, daripada sekarang dia menangis ji dan aku tak bisa melakukan apapun ketika orang lain yang mengata-ngatainya karena merasa dirugikan olehnya.

Aku dalam perjalanan menuju kantor polisi ketika menyadari bahwa ulah anakku sekarang tidak lagi terasa “lucu” dan dapat ditolerir, ketika ketakutan itu memasuki hati dan otakku, apakah kini anakku menjadi seorang kriminal?.

Apa lagi yang dibuat oleh anakku kali ini. Tidak jarang aku dipanggil ke sekolah karena perilakunya yang kelewat batas. Terakhir aku dipanggil kepala sekolah karena anakku memukul gurunya. Aku memohon agar anakku tidak dikeluarkan dari sekolah, aku memberi uang jaminan, dan… aku berhasil, anakku tidak dikeluarkan dari sekolah.

Tapi sepertinya apa yang dilakukan anakku sudah kelewat batas. Aku mendengar tentang kejahatan yang dilakukan sekelompok remaja dari SMA tempat anakku sekolah. Ku harap anakku adalah korban, bukan pelaku. Baru kali ini bukan seorang ibu berharap anaknya menjadi korban? Bagiku kini lebih baik anakku terluka daripada ia membuat orang lain terluka, lebih baik ia terbaring lemah di rumah sakit daripada ia berada di balik jeruji besi menanti hukuman.

Setiba di kantor polisi, rasanya aku hampir jatuh pingsan, melihat anakku yang berjongkok bersama teman-temannya. Di meja tergeletak beberapa senjata tajam. Kata polisi itu adalah apa yang dibawa anak-anak remaja itu. Aku melihat beberapa orangtua sepertiku juga, ada yang marah-marah, ada yang menangis, ada yang ngotot membela anaknya.

Aku tak dapat membela anakku kali ini. Dia dan beberapa temannya telah menyebabkan beberapa orang terluka, bahkan kudengar ada yang meninggal karena ulah mereka. Aku kemudian ijin pada polisi untuk menghampiri anakku sebentar saja.

Ketika mendapatkan ijin dari anakku, aku menghampirinya. Aku melihat wajah anakku, ekspresi ketakutan ada di sana. Ku kuatkan hatiku, ku hampiri dia. PLAK! Ku tampar wajahnya, dua kali.

Semua yang hadir melihatnya dengan terkejut, termasuk polisi yang bertugas.

“Ini untuk hutang didikan yang seharusnya mama berikan padamu sejak dulu kamu mulai berulah” kataku

Kemudian kutampar lagi dia dua kali

“Ini untuk hukuman yang seharusnya mama berikan padamu sejak dulu kamu mulai tak dapat diatur” tambahku lagi

Wajah anakku memerah, masih tampak keheranan. Sejak ia kecil sampai sekarang aku tak pernah memukulnya satu kali pun. Aku tak pernah mempermalukannya di depan umum, aku bahkan tak pernah menasihatinya.

Ya, memang aku yang salah, dan kini aku menimpakan kesalahan itu pada anakku yang kini melakukan apa yang salah karena kesalahanku.

“Pak polisi, saya tidak akan membela anak saya. Tapi jika Anda perlu memenjarakan dia, ijinkan saya juga Anda penjarakan bersama dengan dia” kataku, menahan diri agar air mataku tidak tumpah.

“Wah, tidak bisa begitu bu”

“Ma…”

“Seharusnya dari dulu mama memukulmu. Seharusnya dari dulu mama menghukummu. Untuk kesalahan kamu yang ini, kamu pantas untuk dipenjara, mama tidak akan mengeluarkanmu dari sini. Tapi mama juga bersalah… dan sepertinya penjara terlalu ringan untuk menebus kesalahan mama”

“Ma….”

“Kalau semua bisa mengembalikan keadaan, mama akan menamparmu untuk setiap kesalahan yang kau lakukan… Kalau bisa mengembalikan keadaan, mama akan memukulmu untuk setiap kesalahan yang kau lanjutkan…. Tapi tidak bisa…. Tamparan mama sekarang tidak akan membangunkan mereka yang sudah mati karena ulahmu….”

“Maafkan aku maaa…”

“Mama harap tamparan mama barusan akan membuatmu ingat… Mama harap masih belum terlambat… Mama harap kau masih bisa berubah…”

Aku setengah mati menahan air mataku untuk tidak keluar. Untuk kali ini, aku tidak boleh terlihat lemah.

“Pak, apa dia bisa bebas?” tanyaku pada polisi.

“Saya rasa kita harus menunggu bu… Biasanya sih anak-anak di bawah umur akan dibebaskan dan dikembalikan kepada orangtuanya.”

“Apa anak saya terlibat dengan semua kejadian ini, pak?”

“Anak ibu tidak membawa senjata tajam. Dia hanya ikut-ikutan temannya saja. Tapi kami menangkapnya karena dia ikut memukuli beberapa orang.”

Aku melihat pada anakku yang tertunduk lesu di sudut ruangan. Orangtua yang lain diam seribu bahasa sejak aksiku menampar anakku tadi.

Tiba-tiba satu orang bapak menghampiri anaknya, menamparnya satu kali dan berkata, “seandainya ini bapak lakukan sejak dulu…” dan satu per satu orangtua menghampiri anaknya dan menampar mereka…Suatu pemandangan yang terlihat aneh sekali. Bahkan polisi tidak dapat melakukan apa-apa.

Benar, seandainya sejak dia kecil kami melakukan sesuatu untuk mendisiplin… Seandainya sejak dia mengamuk minta dibelikan mainan di pusat belanja aku memukulnya… Seandainya aku menghukumnya saat dia berkelahi saat SD… Seandainya,,,,

Tapi kalimat yang diawali dengan ‘seandainya’ tidak akan menolong… tidak akan pernah menolong!! Anakku berusia enam belas tahun. Memang masih berada di bawah umur… Tapi aku harap belum terlambat… Walau aku merasa butuh hikmat yang luar biasa dari Tuhan dan kerjasama yang juga luar biasa dengan suamiku untuk mendidiknya.

Semoga kejadian ini dapat mengubahnya… dan tamparanku dapat mewakili tamparan-tamparan yang seharusnya kuberikan sejak dulu…. semoga saja….Semoga saja anakku kelak tidak menjadi bajingan, demikian juga teman-temannya.

Dalam perjalananku pulang dari kantor polisi aku berpikir… Betapa ironisnya, setiap orangtua ingin anaknya berguna bagi nusa dan bangsa, membanggakan diri mereka… tanpa mereka berinvestasi pada karakter anak-anak mereka….dengan disiplin, dengan pukulan, dengan hukuman…dengan kata “tidak”… ya ironis sekali…

read also…https://greissia.wordpress.com/2011/05/28/dari-balik-jeruji-besi/