About Greissia

A children educator, composer, writer and management consultant

Demokrasi dibatasi?


Saya sering mendengar sebagian anak muda berkata, “pada pemerintahan Jokowi demokrasi dibatasi,” atau sesuatu yang menyerupai pernyataan itu.

Pertanyaan besarnya sebenarnya adalah, apa itu demokrasi menurut mereka? Saya menebak, menurut mereka demokrasi adalah kebebasan berpendapat tanpa batas. Nah, kalau kita mau menanyakan pertanyaan besar lagi, apa itu berpendapat menurut mereka?

Saya jamin, yang mereka maksud adalah bebas berpendapat tanpa memperhatikan etika dan adab. Bagi mereka, memaki-maki kepala negara di medsos adalah salah satu bentuk “bebas berpendapat” atau “demokrasi”. Padahal, jangankan kepala negara, jika anda, di depan umum, memaki-maki dan menghujat orang yang tanpa kedudukan pun, dan orang tersebut melapor, Anda bisa kena masalah hukum! Lalu kenapa Anda berharap memaki-maki kepala negara di muka umum (ya, sekarang medsos dapat dikatakan ‘di muka umum’), dan Anda bebas?

Mari kita bahas soal berpendapat! Anda harus bisa membedakan antara berpendapat dan memaki-maki. Berpendapat adalah menyampaikan pemikiran Anda mengenai sesuatu. Misalnya presiden mengeluarkan kebijakan dan Anda tidak setuju. Anda bisa berpendapat dengan bebas di muka umum. Sampaikan pendapat Anda dan argumentasi Anda. Saya rasa jika Anda menyampaikan dengan adab, Anda tidak akan kena pasal apapun.Itu adalah yang dilakukan orang yang berbudaya.

Katakanlah jika misalkan atasan Anda membuat aturan baru di kantor, atau dosen Anda, atau siapapun otoritas Anda. Kemudian Anda menuliskan di media sosial bahwa otoritas Anda itu seperti monyet, kampungan, pantas mati, apakah itu namanya berpendapat? Hell No! itu namanya Anda sedang menghina! Otoritas Anda bisa menuntut Anda atas perbuatan tidak menyenangkan. Jika bukti cukup, Anda bisa berurusan dengan hukum.

Anak muda, kalian harus belajar bagaimana berpendapat, bagaimana memanfaatkan demokrasi dengan benar jika Anda ingin berkontribusi kepada kemajuan negeri ini.

Jika Anda ingin tinggal di negara yang berbudaya, maka Anda harus menjadi manusia berbudaya, sampaikan pendapat dengan berbudaya, mengkritik dengan berbudaya, menyampaikan ketidaksetujuan dengan berbudaya.

Jika Anda ingin bebas, bebas memaki, bebas menghujat, bebas tanpa aturan, rasanya hutan Indonesia masih luas… silahkan Anda bawa pakaian secukupnya, pilih salah satu pohon untuk jadi tempat tinggal Anda, dan selamat bebas!

Kesabaran dan Toleransi


Sudah lama tidak menulis blog ini. Kalau saya tidak salah ingat, terakhir kali yang menulis dengan serius adalah Yoanna Greissia berusia 37 tahun. Versi yang paling rajin menulis adalah yang berusia antara 28 sampai 35 tahun. Tidak perlu saya jelaskan kenapa Versi berusia 37 – 39 malas sekali menulis (toh sebenarnya yang membaca pun sedikit, hehehe).

Hari ini, untuk pertama kalinya versi berusia 39 tahun akan menulis. Sedikit tergelitik karena menemukan bahwa di usia tertentu, sebagian orang menjadi sangat tidaksabaran (termasuk saya mungkin). Baru saja adik saya mengirimi saya pesan teks mengatakan bahwa dia merasa belakangan ini tidak sabar dengan orang-orang yang lambat sekali jika bercerita (kebetulan yang dia maksudkan adalah anak muda, walau tak jarang juga tidak sabaran dengan orang yang lebih tua)

Sebagai orang muda, sebelum memasuki usia 40-an, beberapa orang dianugerahi sikap kritis, cepat tanggap, perfeksionis. Kemudian, dalam usia tertentu (khususnya di puncak kehidupan, sebelum menukik turun, menjelang paruh baya) seringkali mereka merasa bahwa standar mereka adalah yang terbaik. Orang lain harus mengikuti standar mereka, dalam hal kecepatan bicara, kemampuan menangkap informasi, kemampuan menyelesaikan masalah, kecepatan berjalan, semua harus seperti standar yang mereka buat.

Ketika orang lain gagal mencapai standar tersebut, mereka menjadi tidak sabaran, marah-marah, dan frustrasi sendiri. Mungkin ini adalah alasan kenapa banyak orang tua terlihat begitu letih dan jenuh dengan kehidupan, mereka memiliki standar (yang terkadang terlalu tinggi) dan menuntut orang lain memenuhi standar tersebut.

Kemudian, bersama dengan waktu yang berjalan, usia bertambah, sebagian dari orang-orang tersebut belajar, bahwa hidup tak bisa selalu menuruti apa yang kita inginkan. Sebagian orang-orang itu menyadari bahwa ketika mereka muda, tentu mereka telah menguji kesabaran orang yang lebih tua, dan saat mereka tua nanti, mereka mungkin akan menguji kesabaran orang yang lebih muda.

Mereka belajar, bahwa semakin mereka tidak sabaran, artinya semakin mereka harus memperbesar toleransi, karena kesabaran berbanding lurus dengan toleransi. Semakin rendah kesabaran, semakin tinggi toleransi yang harus diusahakan.Hanya dengan cara demikian, mereka akan memperoleh kembali kesabaran.

Namun bersama dengan sang waktu tersebut, sebagian orang lainnya mungkin tidak belajar , mereka terus menuntut agar hidup memberi mereka apa yang mereka inginkan, agar orang lain melakukan persis seperti yang mereka harapkan. Orang-orang itu mungkin nantinya akan menjadi nenek tua cerewet atau kakek-kakek pemarah, yang menggerutu dengan kehidupan dan menganggap semua orang di luar dirinya adalah orang yang selalu salah.

Saat ini, si versi 39 tahun ini, yang akan memasuki era menurunnya kurva kehidupan, sedang belajar menjadi yang pertama. Belajar bahwa hidup tak bisa selalu memenuhi apa yang saya inginkan. Belajar untuk memperbesar toleransi ketika kesabaran semakin menurun, agar nanti di usia senja tidak menjadi nenek-nenek cerewet yang menjengkelkan anak-anak muda.

Menjual Integritas


Kemarin, berita dihebohkan dengan seorang mentri sosial yang menerima dana suap bansos 17 Miliar Rupiah. Beliau yang dulu berkata bahwa mental korupsi itu bobrok, kita terpaksa mengakui bahwa mentalnya juga sama bobroknya dengan mereka yang korupsi.

Di tengah-tengah pemberitaan itu, seorang komedian menulis di twitnya seperti ini

Twit ini langsung dikecam, karena terkesan merasionalisasi sebuah kesalahan.

Tadi, anak asuh membuka percakapan mengenai hal ini, “Ka Greis tahu twit Imam Darto? Menurut Ka Greis gimana?” Selanjutnya dia berkata bahwa twit itu ada benarnya juga. Seseorang yang ditawari miliaran rupiah bisa saja tergoda.

Saya menjawab, “Sebenarnya,itu tergantung dari berapa harga integritas yang kau miliki. Jangankan 17 Miliar. Jika integritasmu begitu murah, ditawari 100 ribu pun akan kau jual.”

Kekayaan manusia memang dinilai dari berapa banyak uang yang ia miliki, tapi harga diri manusia dinilai dari integritas yang dimilikinya. Jika manusia menjual integritasnya demi uang,mungkin seumur hidup ia akan sulit mendapatkannya kembali. Jika manusia melihat integritasnya tak ternilai, berapa pun uang yang ditawarkan, dia akan merasa terhina dan tak akan menjual integritasnya.

Dokumenter Kriminal dan Kehidupan


Beberapa hari belakangan saya banyak menonton film dokumenter mengenai kriminal-kriminal yang dihukum mati. Kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga yang berantakan, mengalami pelecehan di masa kecil, pada akhirnya mencoba sesuatu seperti narkoba untuk membuat mereka keluar dari perasaan yang tidak enak, kemudian berakhir di penjara.

Banyak hal buruk terjadi pada seseorang karena keputusan buruk yang dibuat orang lain di masa lalu. Keputusan buruk yang dibuat orang tua mereka, atau orang-orang terdekat, atau bahkan orang lain yang melakukan hal buruk pada orang lain.

Tapi bukan itu yang hendak saya bicarakan di sini. Kemarin saya menyelesaikan sebuah documenter berjudul “confession killer”, kisah mengenai Henry Lucas, yang mengaku membunuh 600 orang lebih.

Henry Lucas sejak kecil disiksa ibunya hingga suatu saat di usia remajanya dia memutuskan untuk mengakhiri penyiksaan itu dengan membunuh ibunya. Dia dihukum 25 tahun penjara karena pembunuhan itu. Setelah bebas di awal tahun 1980an, dia membunuh pacarnya dan neneknya. Dia tertangkap dan kemudian menunjukkan di mana letak mayat nenek dan pacarnya.

Di sidang, ketika hendak dijatuhi hukuman, tiba-tiba dia berkata kepada hakim “bagaimana dengan ratusan wanita lain yang saya bunuh? Apakah saya tidak akan disidang untuk itu juga?”

Awalnya mungkin ini ide Henry Lucas untuk menunda hukuman matinya. Namun hal ini ditangkap oleh Texas Ranger sebagai sebuah kesempatan untuk menutup banyak cold cases. Banyak kasus yang ditunjukkan kepada Henry Lucas yang langsung diakui begitu saja oleh Lucas sehingga banyak kasus yang ditutup.

Kemudian jumlah korban meningkat, mulai dari 100, 150, 360 hingga terakhir dia mengakui lebih dari 600. Lucas yang ber-IQ 87 diberitahu, makin banyak dia mengakui pembunuhan, maka hukuman matinya akan semakin lama karena dia akan dimintai tolong menutup kasus-kasus tersebut.

Dimulailah perjalanan Lucas bak selebritis mengelilingi Amerika, mengunjungi kantor-kantor polisi untuk ditunjukkan kasus-kasus mandek (cold cases) yang kemudian diakui begitu saja oleh Lucas sebagai “karya” nya.

Singkat cerita, akhirnya ketahuan bahwa sebenarnya Lucas tidak pernah membunuh siapapun kecuali pacar dan neneknya (dua pembunuhan di awal). Lucas berbohong dan dicekoki untuk terus berbohong oleh kepolisian supaya menutup banyak kasus pembunuhan mandek.

Pada akhirnya, Lucas lolos dari hukuman mati karena diampuni nyawanya oleh George Bush yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Texas. Lucas meninggal karena sebab alami di selnya. Dalam film documenter tersebut diperlihatkan bahwa di penjara Lucas kerap membaca Alkitab dan sering mendengar kotbah dari pendeta wanita.

Hal yang membuat saya merenung setiap kali menonton film dokumenter adalah ketika melihat sendiri apa yang diperbuat waktu kepada seseorang. Entah bagaimana Netflix berhasil mengumpulkan seluruh dokumentasi sejak tahun 1983 hingga saat kematian Lucas 2001 bahkan sampai 2017 untuk menunjukkan ditangkapnya (lagi) seorang pembunuh atas sebuah kasus pembunuhan yang diakui oleh Lucas, berkat teknologi DNA yang sudah berkembang saat ini.

Betapa waktu mengubah seorang yang terlihat mengerikan di saat muda, menjadi terlihat gemuk, lemah dan tak berdaya menjelang ajalnya. Setiap kali melihat film dokumenter seperti ini, saya jadi merenungkan apa yang akan terjadi dalam hidup saya, dan orang-orang di sekitar saya 30 tahun dari sekarang. Kemudian menjadi sedih saat berpikir “Papa saya akan berusia 100 kalau masih hidup”… kalau masih hidup… dan kemudian saya akan memikirkan soal kematian.

Namun tadi malam, ketika sedang memikirkan soal kematian, saya diingatkan bahwa kalau saya percaya pada kehidupan setelah kematian, dan bahwa kalau saya sungguh beriman bahwa Kristus menjamin kita memasukinya bersama dengan Dia, dan bahwa kalau saya sungguh mengamini bahwa hidup saya telah ditebus, maka seharusnya saya tidak perlu takut pada kematian.

Bahwa sesungguhnya tubuh ini hanya cangkang sementara yang kita tempati selama di dunia, yang akan aus karena bumi yang berputar dan kondisi lingkungan. Bahwa sesungguhnya hidup di dunia adalah kesempatan bagi kita untuk membuat keputusan penting bagi hidup kekekalan. Jika itu kita percayai, maka seharusnya tidak perlu takut pada kematian.

Saat menyaksikan film serial dokumenter lainnya, saya pun pernah melihat ironi yang luar biasa. Ketika keluarga korban pembunuhan hidup dalam dendamnya, dan pembunuh mendapatkan damai karena memutuskan menerima Kristus dalam hidupnya, mendedikasikan sisa hidupnya untuk mengenal dan melayani Dia.

Hidup terkadang memang tidak adil, hanya Tuhan yang adil. Keadilan-Nya kadang tidak bisa kita mengerti. Seperti perumpamaan tentang pekerja di ladang. Mereka yang bekerja sejak jam 9 mendapat upah yang sama dengan yang bekerja menjelang sore. Juga tentang sebuah kotbah bahwa yang pertama akan jadi terkemudian sedangkan yang terkemudian akan jadi yang terdahulu.

Karena jalan Tuhan tak terselami, dan untuk mempercayai, untuk memiliki iman, kita harus memiliki keberanian,…seperti yang saya pernah bilang beriman itu beresiko.

Bumi pun beristirahat


Bagi manusia, ini adalah musibah
Bagi bumi, ini adalah anugerah
Dirinya lebih tenang,
Dirinya lebih bersih,
Dirinya lebih damai,

Bagi manusia, ini adalah malapetaka,
Bagi bumi, ini adalah karunia
Sampah berkurang,
Polusi berkurang,
Tangan jahil berkurang,
Kebisingan berkurang

Bagi manusia ini adalah bencana,
Bagi bumi ini masa istirahat,
Istirahat dari manusia sibuk yang mengotorinya
Istirahat dari polusi yang menyesakannya

Mungkin, ini adalah siklus alam
Ketika bumi terlalu lelah,
Ketika bumi terlalu bising,
Ketika bumi terlalu kotor,

Mungkin ini adalah pelajaran bagi manusia
Untuk menenangkan diri,
Untuk lebih mawas diri,
Untuk menghargai bumi
Untuk berdamai dengan alam

Mungkin ini adalah pelajaran bagi manusia
Untuk bertoleransi,
Untuk lebih banyak mengasihi sesama,
Untuk lebih banyak berdoa,
Untuk tidak egois

Mengajar Generasi Z


Saya mendapat kesempatan mengajar generasi Z selama satu semester mengenai Marketing Farmasi dan Kewirausahaan (dijadikan satu mata kuliah). Beberapa minggu sebelumnya saya mengobrol dengan seorang pengusaha yang berkata bahwa generasi Z ini memang harus diperlengkapi dengan kemampuan Wirausaha sehingga mereka mampu berdiri di atas kaki sendiri, menciptakan lapangan kerja mereka sendiri.

Saya sungguh bersyukur mendapat kesempatan mengajar mahasiswa yang menyerap seperti spons ini. Menerima setiap pelajaran yang diberikan dan menghasilkan produk-produk buatan mereka yang luar biasa.

Mereka bukanlah mahasiswa program Sarjana, tapi kegigihan, usaha dan kecerdasan mereka luar biasa. Produk mereka sangat menjanjikan, berkualitas dan saya rasa siapa pun akan sepakat dengan saya bahwa anak-anak generasi Z jika diarahkan dengan tepat akan menjadikan bangsa ini unggul di bidang apapun. Namun jika tidak diarahkan, dapat membuat bangsa ini mundur dan hancur dengan segera.

Kekuatan yang besar memang begitu, bukan? Saat digunakan untuk apa yang baik maka akan ada daya bangun yang luar biasa, sebaliknya jika digunakan untuk sesuatu yang buruk, daya hancurnya pun luar biasa.

Produk yang mereka hasilkan, seperti parfum, coklat, handbody lotion, face mist, masker dan lipbalm dikerjakan dengan sepenuh hati dan memiliki nilai jual yang sangat baik. Saya sendiri menyukai parfum dan coklat rasa cabe yang unik.

Terkadang anak-anak mengejutkan kita dengan apa yang mereka sampaikan, bukan begitu?? Jika Anda memiliki anak generasi Z, Anda akan sangat rugi jika tidak menghabiskan waktu bicara dengan mereka. Mengabaikan kesempatan untuk bicara dan mengajar mereka sama saja menyia-nyiakan waktu yang sungguh berharga sekaligus melepaskan kesempatan menjadi pahlawan yang membentuk hidup mereka, dan masa depan negara ini.

 

Setelah Facebook


Sudah lama tidak menulis dan tidak bermedia sosial. Sejak facebook kurang diminati dan isinya hanya orang yang berjualan online, rasanya malas sekali menulis. Karena selama ini hanya “mempromosikan” tulisan dari facebook. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, saya lebih sering menulis untuk diri sendiri, syukur-syukur jika memang itu bisa berguna buat orang lain.

Facebook sekarang berisi berita, curhat, foto-foto yang merupakan sinkronisasi dari instagram, sehingga jika ada tulisan kurang bermutu seperti blog saya ini (yang kebanyakan ditulis untuk kepuasan diri sendiri), akhirnya akan dilewatkan begitu saja. Yaah, begitulah kehidupan, hal-hal tidak penting akan dilewatkan begitu saja.

Ngomong-ngomong soal hal-hal tidak penting. Saya sedang berpikir bahwa ada terlalu banyak hal dalam kehidupan yang sebenarnya tidak terlalu penting untuk diperhatikan. Seiring bertambahnya usia, hal-hal yang tadinya kita anggap penting tidak lagi akan kita anggap penting.

Sebelumnya membuka facebook, posting status atau upload gambar adalah hal yang penting. Kemudian komentar orang-orang terhadap foto kita, adalah hal yang penting juga. Kita menjadi kesal ketika ada komentar yang tak sepaham dan senang bukan kepalang jika ada yang mendukung kita. Kita menjadi senang hanya karena hal tidak penting seperti jumlah like di foto kita atau komentar “cantik”.

Namun seiring berjalannya waktu, kita menjadi bosan dan hal-hal seperti itu tidak penting lagi, bukan?

Dulu saya banyak menulis karena melihat ada begitu banyak hal ironis dalam kehidupan. Sekarang saya melihat bahwa hal-hal ironis adalah normal dalam hidup. Apa yang bisa kita harapkan dari hidup di dunia? Surga di dunia hanya bisa kita rasakan jika kehendak Bapa jadi sepenuhnya dalam dunia ini, persis seperti doa Yesus.

Dulu saya akan melihat ditabrak motor kemudian ‘dipalakin’ pengendara motor yang bersalah itu adalah sebuah ironi, konyol, tidak masuk akal. Sekarang saya sudah bisa menerima bahwa di negeri ini, memang itu normal terjadi, tak perlu dituliskan, tak perlu dibahas, toh tak akan berubah juga.

Lalu saya berpikir, bukankah akhirnya sebuah kerusakan sistem dimulai dari toleransi terhadap kesalahan-kesalahan kecil? Ah, tapi masa bodoh dengan semuanya. Apa gunanya jika suara kita toh tidak akan membawa perubahan.

Akhirnya bukankah setiap orang akan hidup untuk dirinya sendiri?

26 Oktober 2019, dari otak yang sedang kusut.

 

Terjebak di antara keduanya.


Ada tiga jenis manusia hidup di jaman sekarang. Pertama adalah mereka yang hidup tanpa teknologi, masih hidup dengan cara yang lama. Oh ya, mereka masih ada. Coba saja Anda lihat mereka yang hidup di pulau terpencil, tidak ada jaringan, tidak ada televisi, hanya ada mereka dan alam. Kedua, mereka yang hidup full teknologi. Tidak dapat hidup tanpa bantuan robot atau mesin, atau tidak dapat hidup tanpa gadget di tangan mereka. Ketiga adalah orang yang terjebak di antara keduanya.

Ya, ada orang-orang yang terjebak di antara primitif dan teknologi. Entah sebaiknya kita memanggil mereka apa. Mereka hidup dikelilingi teknologi tapi mereka tidak memahaminya. Mereka masih hidup dengan cara yang sama seperti saat tidak ada teknologi. Mereka masih membual seolah kata-kata mereka tidak dapat dicek kebenarannya. Mereka masih berbohong mencoba mengutil seolah tidak ada CCTV yang melihat mereka.

Mereka ini yang akan saya bahas dalam tulisan kali ini…. Mereka yang terjebak di antara primitif dan teknologi.

Sebut saja drama politik negara ini setelah pilpres. Satu pihak menuding pihak lainnya berbuat curang tanpa sadar bahwa jaman sekarang yang seperti itu dengan mudah dibuktikan. Atau sebaliknya jika ada yang berbuat curang dalam input hasil perolehan pemilu tanpa sadar teknologi dapat memungkinkan setiap mata mengawasi mereka.

Kita hidup di mana guru-guru modern mengatakan pada anak SMAnya, “oke buka gadget kalian dan tolong searching mengenai anu. Saya akan kasih kalian waktu 10 menit untuk mencari tahu dan setelah itu kita diskusi.” Sementara ada juga sekolah (di kota besar) yang melarang siswa-siswinya membawa gadget ke sekolah.

Saat guru-guru modern meminta anak didiknya mengumpulkan tugas lewat google class, masih ada sekolah di kota yang masih menyuruh siswinya mengumpulkan tugas menyalin dari google. COME ONE!!

Setelah dipikir-pikir akar permasalahannya, ternyata mengenai “integritas”. Jika saya disuruh menjelaskan satu kata sulit ini “Integritas” pada anak-anak. Saya akan mengatakan bahwa Integritas adalah dapat dipercaya dan dapat diandalkan dari segi kejujuran!

Sekolah atau guru yang terjebak antara primitif dan teknologi tidak dapat mempercayai siswa-siswinya jika mereka diijinkan membawa gadget ke kelas. Jadi alih-alih memanfaatkan teknologi mereka memilih membatasinya. Alih-alih mengajarkan nilai integritas agar anak menunjukkan sikap dapat dipercaya, mereka memilih menutup kesempatan anak berbuat curang. Paham maksud saya?

Ya, masalahnya memang rumit. Di satu sisi ada teknologi, di sisi lain ada karakter, jika keduanya dapat sejalan, bayangkan dahsyatnya masyarakat di mana kita tinggal. Mereka yang terjebak di antara primitif dan teknolgi adalah mereka yang tidak dapat mengejar teknologi dengan karakter positif, mereka yang tidak dapat bertanggungjawab atas teknologi yang ada di depan mata mereka… dengan kata lain, orang-orang yang norak!

Apakah kata ‘norak’ terlalu keras? Bagaimana dengan orang yang ‘piknik’ di stasiun MRT saat stasiun itu baru dibuka? atau mereka yang bergelantungan di MRT dan menginjak bangku MRT?

Apakah kata “norak” terlalu keras? Bagaimana dengan orang yang mengklaim kemenangan padahal hasil teknologi mengatakan sebaliknya?

Jadi jika kita mau dikatakan bijak, alih-alih norak, manfaatkan teknologi dengan bertanggungjawab dan pupuk karakter positif, serta sadari ada “CCTV” di manapun Anda berada!

Tentang Menyombongkan Diri


Anakku,
Suatu saat kau pulang dengan sedih,
Katamu temanmu mengatakan wajahmu tak secantik mereka,
Dan kau tak sekaya mereka,
Dan kau tak sepintar mereka.

Anakku,
Ada banyak hal dalam dunia yang dapat disombongkan manusia,
Mereka bisa menyombongkan penampilannya,
Atau menyombongkan kepintarannya,
Atau menyombongkan kekayaannya,
Atau menyombongkan kedudukannya.

Kebanggaan manusia adalah apa yang ia miliki,
Kemudian mereka merasa lebih baik daripada yang lain,
Menyombongkannya dan menjadi lupa…
Bahwa sesungguhnya mereka tak memiliki apa-apa
Bahwa apa yang ada pada mereka adalah titipan Pencipta.

Keelokan wajah tak perlu disombongkan,
Tuhan berkata semuanya baik,
Semua manusia istimewa,
indah dalam pandangan Penciptanya

Namun… kau harus ingat
Bertanggungjawab artinya menjaga tubuhmu dengan baik
Berpenampilan pantas, membersihkan diri
Karena kepercayaan diri memancarkan kecantikan
Dan kebaikan hati mengeluarkan pesonamu.

Kepintaran bukan untuk disombongkan,
Namun diberikan Tuhan untuk membantu sesama
Gunakan akal budimu sebaik mungkin
Kendalikan diri dan gunakan kecerdasanmu dengan baik
Bertanggungjawab artinya mau belajar,
Berpikir kritis dan tidak malas.

Kekayaan bukan untuk disombongkan,
Namun seberapa banyak yang Tuhan percayakan padamu,
Pergunakan dan kelola itu dengan bijak.
Bertanggungjawab artinya menjadi berkat melalui apa yang kita miliki,
Berbagi dan menolong orang lain adalah apa yang Tuhan perintahkan

Kedudukan bukan untuk disombongkan,
Ada di posisi manapun kau saat ini,
Tugasmu adalah melakukan yang terbaik
Berusaha semampumu,
Tidak menjadi arogan ketika kau ada di atas,
Dan tidak iri ketika kau ada di bawah
Bertanggungjawab artinya bersikap bijak dengan kuasa yang kau miliki,

Tahukah kau apa yang dapat kau sombongkan dalam hidup?
Kau dapat menyombongkan Tuhanmu,
Kau dapat bermegah dalam Nama-Nya
Ketika orang memujimu,
Pujilah Tuhan, sombongkanlah Dia
Sebutlah Nama-Nya yang kudus, sombongkanlah Dia
Katakan bahwa semua dari diri-Nya, sombongkanlah Dia

Kau dapat menyombongkan Tuhanmu,
Kau dapat bermegah dalam Nama-Nya
Ketika kau mulai besar kepala, pujilah Tuhanmu!
Katakan semuanya dari Dia
Kecantikan, kepintaran, kekayaan, kedudukan
Semuanya sia-sia tanpa Dia

Sombongkanlah Dia,
Bermegahlah dalam Dia
Bermegahlah dalam Nama-Nya yang kudus,
Biarlah bersukahati orang-orang yang mencari Tuhan

Insinyur Semesta


Kemarin, keran tempat cuci piring di tempat saya rusak (mungkin Anda sudah melihat video dua menit curhat saya). Sebenarnya sudah berhari-hari, dan saya menggunakan solusi cepat tapi tidak efektif, yaitu menggunakan karet gelang supaya bocornya bisa tertahan. Papa saya insinyur (selalu saya banggakan), dan bagi Papa hal-hal seperti ini sangat mudah. Tapi saya tidak langsung bilang sama Papa. Saya berusaha menyelesaikannya sendiri, sampai kemarin kerusakannya sudah tidak mungkin ditahan lagi. Air menetes terus dan keran tidak bisa digunakan lagi.

Saya telepon Papa saya (saat itu malam-malam sekitar jam 7 malam), berkata dalam kepanikan, “Pa, ini gimana, kerannya rusak”.

Papa saya menjawab (ngeselin sih jawaban pertama) “ya harus dibenerin dong kalau rusak”.

“Ya tapi gimana, apa harus panggil orang buat benerin keran rusak”

“Ga usah, benerin sendiri aja, gampang itu mah.”

“Tapi Greissia ga bisa benerinnya, ini ga bisa berenti airnya gimana.”  (ya baik, saya memang seperti anak kecil memanggil nama pada diri sendiri kalau ke Papa dan Mama saya)

“Gampang itu mah tinggal diganti aja. Nanti sebentar Papa mandi dulu terus langsung ke sana”

Tidak lama kemudian Papa saya datang untuk melihat duduk permasalahannya. Papa datang membawa kotak perkakas berat yang isinya kunci-kunci untuk keperluan memperbaiki keran. Saat itu saya sudah berhasil memutar keran pada posisi yang tepat, tapi kalau kena dikit saja pasti airnya keluar lagi.

“Oh, ini sih harus ganti keran. Ya sudah besok pagi-pagi Papa beli keran terus ke sini. Ini jangan diputar-putar dulu, sementara pakai keran kamar mandi saja”

Besok paginya, Papa saya datang, membawa keran baru dan memperbaiki keran dengan cepat.

Orang Kristen saat ini terbagi menjadi dua kutub, mereka yang ‘melupakan Tuhan’ ketika ada masalah dan berusaha menyelesaikan dengan caranya sendiri (seperti saya saat tahu keran rusak), dan mereka yang serakah dan suka “memotivasi Tuhan” untuk memberkati mereka.

Dapatkah Anda membayangkan kalau saya telepon Papa saya dan berkata seperti ini “Papa, Greissia percaya papa sanggup memperbaiki keran. Greissia sebagai anak mengklaim bahwa Papa akan membelikan keran baru dan memperbaiki keran yang rusak”.

Bagi saya itu tindakan kurang ajar! Sama sepert yang dilakukan seorang ibu kepada anaknya yang berusia 5 tahun, “ayo Nak, mama percaya kamu bisa membereskan mainan setelah selesai digunakan”, semacam tindakan memotivasi dan Tuhan tidak perlu dimotivasi. Memotivasi Tuhan sama seperti melecehkan-Nya.

Ada perbedaan yang jelas antara beriman dengan memotivasi Tuhan melakukan apa yang kita inginkan dengan “bahasa penuh iman”.

Kalimat yang diawali “aku percaya…” adalah kalimat untuk diri sendiri. Saya percaya Papa saya bisa memperbaiki keran, maka dengan penuh iman saya berkata “Papa, tolooong”. Kita beriman Tuhan sanggup menolong kita, maka ketika kita berada dalam masalah kita berkata “Tuhan, tolooong”.

Tapi permintaan tolong bukanlah tuntutan. Saya tidak menuntut Papa saya untuk menolong saya, saya tahu Papa saya menolong saya karena dia sanggup melakukannya. Ketika dia berkata “besok Papa ke sini” saya tidak boleh berkata “sekarang Papa!! Perbaiki sekarang!” Semoga Anda memahami maksud saya.

Memasuki tahun yang baru ada banyak pendeta (biasanya dari aliran karismatik) yang menghimbau jemaat untuk “mengklaim janji Tuhan”. Mengklaim artinya menuntut. Silahkan pikirkan sendiri pantaskah kita menuntut Tuhan?

Dalam video di bawah ini diperlihatkan pendeta memimpin jemaatnya meyakini bahwa Tuhan akan memberi rumah baru, mobil baru, hutang-hutang lunas, menjadikan pemimpin, menjadikan kaya. HEY!! Itu bukan doa! Itu kurang ajar!

Kalau Bapamu memberimu ‘berkat’, itu bukan karena kamu menuntut Dia, itu karena Dia berpikir kamu bisa mengelola berkat itu dengan baik. Kalau kamu datang pada Bapa untuk minta berkat, atau memberi sejumlah uang supaya diberkati, apa bedanya dengan pergi ke gunung Kawi untuk minta pesugihan??

Kalau Bapamu tidak memberimu apa yang kau inginkan, itu karena Dia tahu apa yang terbaik untukmu. Jika Dia memang tidak akan memberikannya, mengklaim, memotivasi, atau apapun tidak akan membuat Dia tergerak untuk memberikannya.

Tuhan dekat dengan orang yang patah hatinya dan menyelamatkan mereka yang remuk jiwanya (Mazmur 34:19), dan tidak ada tertulis Dia dekat dengan orang yang serakah, atau memberi kepada orang tamak.

Jadi lain kali ketika Anda mau mengklaim, atau menuntut, atau memotivasi Tuhan, ingat…Mungkin Anda harus patah hati dan remuk jiwa dulu baru Dia mendengarkan Anda. Itupun bukan melakukan apa yang Anda inginkan, tapi melakukan apa yang Dia inginkan!

Dia adalah insinyur semesta, Dia tahu apa yang harus dilakukan, kapan harus dilakukan dan apa dampaknya ketika itu dilakukan (atau tidak dilakukan). Percaya saja, berserah pada-Nya ketika hati Anda patah atau jiwa Anda remuk, tapi jangan sok-sokan mengajari atau memotivasi Dia mengenai apa yang seharusnya atau tidak seharusnya Dia berikan dalam kehidupan Anda. Karena ada perbedaan antara beriman dan sok tahu!