Sebuah Cerpen, Seri Gereja Bintang Lima (feel free not to read it)
Batal jadi Pendeta
BATAL JADI PENDETA
Dua hari ini kita dihebohkan dengan berita seorang Pendeta Pengusaha (atau Pengusaha Pendeta, intinya Pendeta yang juga Pengusaha) yang diminta KPK segera menyerahkan diri karena terlibat dengan kasus suap Meikarta. Saya tidak perlu menyebutkan nama gerejanya, yang jelas yang bersangkutan memiliki gereja mewah nan megah yang merupakan impian tiap pendeta (saya tidak tahu juga apakah tiap pendeta bermimpi memiliki Gereja Bintang Lima seperti mall).
Jujur saja, tidak semua dari kita (bahkan jika itu Hamba Tuhan) merasa menyesal mengapa hal seperti ini bisa terjadi. Sebagian pasti ada yang merasa “sukurin”, ada juga yang merasa “sudah kuduga” atau merasa “ga ngaruh juga buat hidup gue”. Apapun perasaan Anda, saya ingin membahasnya dengan mempertimbangkan sebuah kisah dalam Alkitab
Anda dan saya pasti pernah mendengar kisah ini, tentang seorang kaya yang datang pada Yesus. Membaca dari ciri-cirinya, saya rasa dia ini pengusaha, punya banyak uang, suka menyumbang. Ya, dia pasti pengusaha!
Pengusaha ini ingin memperoleh hidup yang kekal. Jadi dia bertanya “perbuatan baik apa yang harus kuperbuat?” Entah Anda bagaimana, saya melihat orang kaya ini sebagai pribadi angkuh yang merasa dirinya sudah melakukan segala hal. Dia baik dalam hal ini, baik dalam hal itu. Ketika Yesus menjawab agar dia mengikuti seluruh Perintah Tuhan, dia jawab, “aku sudah melakukannya”.
Sama seperti anak SD yang sudah mengerjakan semua PR, semua nilai ujiannya 100 dan datang kepada guru di hadapan teman-temannya yang lain dan berkata, “apakah aku murid yang baik menurutmu, Bu Guru?”
Yesus berkata padanya”jika kamu mau sempurna, jual seluruh milikmu, bagikan itu pada orang miskin, kemudian datanglah pada-Ku, ikutlah Aku”. Orang kaya ini pulang dengan wajah tertunduk lesu.
Saya berpikir, seandainya dia melakukan apan yang Yesus katakan, tentulah namanya akan tercatat dalam Alkitab, bukan sekedar menjadi contoh orang kaya yang sukar masuk Kerajaan Surga.
Apa hubungannya dengan kisah Pendeta Pengusaha yang kita bicarakan di awal tulisan saya?
Bagaimana jika, kisah orang kaya itu ditujukan Yesus untuk Pengusaha yang mau melayani Yesus sepenuh waktu? “Jika kamu mau sempurna, layani Aku sepenuh waktu. Jika kamu mau melayani Aku sepenuh waktu, tinggalkan hartamu, juallah, bagikan pada orang miskin, dan jadilah pendeta”
Anda menangkap maksud saya?
Jika (saya katakan JIKA) saat ini Yesus mengatakan hal tersebut pada para pengusaha kaya yang ‘merasa terpanggil’ menjadi pendeta, yang datang pada Yesus dan berkata “apa yang harus kulakukan?”. Kemudian Yesus berkata “juallah hartamu, bagikan pada orang miskin, dan ikutlah aku”, ada berapa banyak pengusaha (yang merasa terpanggil jadi pendeta) akan batal jadi pendeta? pulang dengan wajah tertunduk lesu seperti orang kaya dalam kisah Yesus…
Update: Yang bersangkutan bos Lippo sudah ditangkap kemarin malam di rumahnya (sangat disesalkan, sebagai Pendeta seharusnya menyerahkan diri saat diminta). Semoga Tuhan memberinya hikmat agar tidak melakukan kesalahan-kesalahan berikutnya.
Walkout, Rumah Tuhan dan Racun
Kehadiran Ayah dan Bunuh Diri
Salah satu kalimat yang menggelitik saya dalam kotbah hari ini adalah “Menurut penelitian 65 persen anak bunuh diri tanpa kehadiran sosok ayah…”,
Saya berpikir… Artinya, 35 persen anak bunuh diri walau ayahnya hadir, jumlah yang masih sangat besar. Pertanyaan saya, apakah ‘kehadiran ayah’ memiliki pengaruh yang cukup signifikan dari keputusan seorang anak bunuh diri?
Terlepas dari adanya kehadiran ayah atau tidak dalam diri anak (yang mana saya yakini bahwa kehadiran sosok ayah penting bagi setiap anak manapun), keputusan anak bunuh diri disebabkan rendahkan kemampuannya mengendalikan emosi, dengan kata lain rendahnya kecerdasan intrapersonal.
Sekali lagi, tanpa mengecilkan arti kehadiran ayah, kecerdasan intrapersonal yang rendah merupakan penyebab seseorang bunuh diri. Pertanyaannya, bagaimana melatih kecerdasan intrapersonal seorang anak?
Kecerdasan intrapersonal anak dilatih sejak ia masih sangat kecil. Jika Anda tak pernah mengijinkan seorang anak merasa kecewa, saat dewasa ia akan mengalami kesulitan menangani kekecewaan. Jika Anda tak pernah memotivasi anak saat ia kesulitan melakukan sesuatu di masa kecilnya, saat dewasa ia akan mengalami kesulitan menangani keputusasaan. Jika Anda selalu menyela dan tak punya cukup waktu mendengarkan saat mereka marah, saat dewasa ia akan kesulitan menangani kemarahan.
Kecerdasan intrapersonal merupakan kecerdasan dasar yang harus diajarkan pada anak, tapi sayangnya, bahkan dengan kehadiran seorang ayah, anak tidak mempelajari ini sejak kecil. Bahkan seringkali diperburuk oleh orang tua. Orang tua yang selalu menjatuhkan, orang tua yang terlalu “sayang” hingga mengabulkan semua keinginan anak dan tak mengijinkan anak kecewa atau menangis, orang tua yang tak punya cukup waktu mendengarkan anak.
Lagi dan lagi, tanpa mengecilkan kehadiran seorang ayah, sumber dari kecerdasan intrapersonal adalah kehadiran Tuhan dalam hidup anak. Adanya pengharapan dalam kesesakan, kesabaran dalam kesulitan, dan iman dalam ketidakjelasan adalah sepenuhnya karya Roh Kudus dalam tiap anak.
Artinya, menurut pendapat saya, kehadiran ayah akan sia-sia ketika ia tidak mengenalkan Tuhan dalam hidup anak. Jadi, menurut saya, pertanyaan utamanya pada akhirnya bukanlah apakah ayah hadir atau tidak dalam kehidupan anak, tapi apakah Tuhan hadir dan diperkenalkan sejak kecil dalam hidupnya.
Ketika Pancasila Menangis





Membunuh Sang Waktu
Betapa cepat kemajuan teknologi sepuluh hingga dua puluh tahun belakangan. Saya masih ingat sekitar 14 tahun yang lalu ketika saya bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta. Saya kost di jakarta selama 6 bulan sebelum kemudian keluar dan kembali ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan.
Saat itu saya bingung bagaimana caranya “membunuh waktu”, terutama di hari Sabtu dan Minggu. Saat itu belum ada tol cipularang sehingga untuk pulang ke Bandung hari Sabtu siang (karena saya tidak libur di hari Sabtu) menghabiskan begitu banyak waktu (bisa sampai 8 jam). Biasanya saya menghabiskan waktu dengan menonton atau membaca buku, atau pergi ke warnet untuk chatting dengan teman. Saya bahkan pernah menghabiskan buku Harry Potter dalam satu hari karena benar-benar tidak tahu bagaimana caranya membunuh waktu.
Tadi, saya bicara dengan seorang anak yang baru lulus SMK dan memiliki rencana kuliah di luar kota. Saya merasa diri sudah tua ketika tanpa berpikir saya berkata “bosan lho di tempat kost, harus bawa TV…” belum selesai saya menyelesaikan kalimat saya, saya tersadar, ah ya benar, ada youtube, viu dan banyak aplikasi lain di smartphone yang menjadi senjata kita membunuh waktu.
Kita berusaha mati-matian membunuh waktu. Di setopan lampu merah, saat mengantri di bank, saat menunggu kendaraan umum, di manapun kita ingin agar waktu berjalan tanpa kita sadari.
Namun tanpa sadar kitalah yang dirugikan dengan “matinya sang waktu”. Setidaknya itulah yang ada di pikiran kita. Kita pikir waktu telah mati, padahal kitalah yang seperti mati, waktu terus berjalan, tik tok tik tok. Bekasnya terlihat di mana-mana, rambut yang memutih, kerut yang semakin banyak, kondisi nenek kita yang menurun drastis, jerawat yang timbul. Waktu meninggalkan jejaknya di mana-mana.
Sang waktu tidak mati, kitalah yang sebenarnya “mati”. Kita menjalani hari seperti benda mati. Tak memaknainya, tak memberinya makna. Kita menjalani hari tanpa meninggalkan jejak yang berarti, dan tiba-tiba usia tua menyergap dari berbagai arah, entah orang tua kita yang tiba-tiba tua karena kita tidak menyadarinya akibat kurang menaruh perhatian dan menghabiskan waktu berasama, atau anak kita yang tiba-tiba besar karena kita tidak menikmati setiap proses pertumbuhannya. Atau diri kita sendiri saat kita bercermin.
Sesungguhnya sang waktu tak bisa mati, sebagaimanapun kita mencoba membunuhnya. Malah kitalah yang akan mati tanpa kita sadari. Taruh sebentar smartphone di tangan Anda, tegakkan kepala dan lihatlah sekitar Anda. Mungkin ada tempat di mana kita bisa membalas dendam pada Sang Waktu, dengan meninggalkan jejak kita yang berharga saat kita masih hidup di dunia.
Saat Kau Keriput
Tanganku,
Suatu saat kau akan keriput
Tapi sebelum saat itu
Aku harap sudah banyak yang kau kerjakan
Berguna bagi orang lain,
Membantu sesama,
Melakukan apa yang hebat,
Menghasilkan karya besar,
Mengubahkan dunia
Wajahku,
Suatu saat kau akan keriput,
Tapi sebelum dan bahkan sesudah saat itu
Aku harap banyak yang kau tunjukkan,
Senyum yang menenangkan
Tawa yang hangat
Kemarahan yang dikendalikan,
Perhatian tulus saat ada yang bicara,
Mataku,
Suatu saat penglihatanmu akan kabur
Tapi sebelum saat itu
Aku harap banyak yang sudah kau lihat
Banyak yang sudah kau pelajari,
Banyak yang sudah kau baca,
Banyak yang sudah kau kenali,
Telingaku,
Suatu saat pendengaranmu mungkin akan berkurang
Tapi sebelum saat itu
Aku harap banyak yang sudah kau dengar
Banyak keluhan yang kau dengarkan
Banyak cerita yang kau tangkap
Banyak pelajaran yang kau dapatkan
Mulutku,
Suatu saat mungkin kau akan banyak bicara,
Mengeluh ini itu,
Mengomel ini itu,
Tapi sebelum saat itu,
Aku harap kau bisa mengendalikannya
Seperti kekang pada kuda
Lambat berkata-kata
Memilah mana yang harus diucapkan
Berlatih untuk tak memaki
Berlatih untuk tak mengomel
Berlatih untuk mengatakan apa yang manis
Tubuhku,
Suatu saat kau akan renta
Tapi sebelum saat itu,
Berkaryalah,
Berbuatlah banyak,
Bersyukurlah,
Bantulah mereka yang membutuhkan
Agar ketika saatnya tiba,
di tengah keriputmu,
Kau dapat tersenyum,
Ketika Pencipta memanggil.
KLAKSON
I ONCE WAS BLIND
Air untuk Raja
Hari ini saya mendengar kotbah yang luar biasa dari seorang Hamba Tuhan di salah satu gereja di Kota Bandung. Kotbahnya tentang tiga orang pahlawan yang mengambilkan air dari Sumur Bethlehem untuk Daud (I Tawarikh 11:15-19). Bapak Pendeta menyamakan air dari sumur Bethlehem dengan “Air Hidup dari Bethlehem”, dan seterusnya, dan seterusnya…
Saya diberkati oleh Firman Tuhan yang dibagikan tersebut, namun ketika saya merenungkannya, saya mendapat hal lain dari kisah yang luar biasa tersebut.
Kisah itu adalah tentang tiga orang terbaik Daud yang mendengar keinginan Daud: ingin minum air dari sumur Di Bethlehem. Kondisinya saat itu Bethlehem sedang dikuasai oleh militer Filistin, sehingga hampir tidak mungkin mengambil air dari sumur tersebut.
Mendengar keinginan Daud, tiga orang ini menerobos perkemahan Filistin untuk mengambil air dari Sumur Betlehem. Setelah mereka memperoleh air itu, mereka membawanya kepada Daud.
Sampai sini saya membayangkan kondisinya jika saya menjadi satu dari tiga orang itu. Apa yang akan saya rasakan ketika Daud akhirnya meminum air yang saya dapatkan dengan mempertaruhkan nyawa. Jika Anda menjadi satu dari tiga orang itu, apa yang akan Anda rasakan saat Daud meminum air yang Anda peroleh dengan pertaruhan nyawa? Senang? Puas? Bahagia?
Tentu Anda senang ketika pemimpin Anda “menikmati” hasil dari kerja keras Anda, bukan?
Apa yang terjadi dengan air itu? Daud tidak meminumnya, malah mencurahkan air itu sebagai korban untuk Tuhan.
Saya bayangkan lagi apa yang terjadi saat itu. Ketiga orang itu melihat ketika air itu dituangkan ke tanah, dipersembahkan kepada Tuhan. Apa yang mereka rasakan? Mana yang lebih mereka sukai? Air itu diminum oleh Daud atau dipersembahkan kepada Tuhan.
Para pemimpin, khususnya pemimpin gereja, seringkali Anda menuntut orang yang Anda pimpin melakukan ini dan itu, terkadang sesuatu yang tidak masuk akal. Mengharapkan mereka untuk memenuhi standar Anda yang luar biasa tinggi: “menerobos pertahanan musuh untuk mendapatkan ‘air hidup dari Betlehem'”.
Namun seringkali ketika anak buah Anda mendapatkan keberhasilan, yang Anda lakukan adalah ‘meminum air’ itu. Anda meminumnya dengan rakus, berharap nama Anda semakin besar, Anda semakin terkenal .
Percayalah, jika Daud meminumnya, ketiga orang itu tidak akan disebutkan sebagai ‘pahlawan’ dalam ayat ke 19. Mungkin jabatan mereka hanya sebagai “orang terbaiknya Daud” (ayat 15).
Karena Daud mempersembahkan air itu untuk Tuhan, maka ketiga orang itu dituliskan Alkitab sebagai “pahlawan”.
Ketika nama Yesus ditinggikan, dan setiap perbuatan baik dan keberhasilan dipersembahkan kepada Tuhan, Dia akan menarik semua orang datang kepada-Nya, dan kita akan menjadi pahlawan-pahlawan Tuhan…