Sebenarnya tulisan ini sudah ingin saya tuliskan lama. Tapi saya memiliki beberapa pertimbangan hati nurani dan kuatir Anda salah tangkap maksud saya. Tapi, saya pikir ini sesuatu yang baik untuk dibagikan dan kita ambil pelajaran bersama-sama
Lima atau enam tahun yang lalu, saat sedang melayani di Lippo Cikarang, seorang Ibu, rekan pelayanan berkata “saya aneh sama kamu Greis. Karyamu cukup banyak, ada yang dikenal banyak orang (lagu Ku Istimewa), dan kamu memiliki banyak talenta. Kenapa sampai sekarang kamu tidak terkenal? Apa ada yang salah dengan hidupmu? Apa ada yang kamu simpan?”
Entah mengapa pertanyaan ini menempel terus, tidak pernah dilupakan. Apa saya sakit hati?
(Saya ini memiliki perasaan yang terlambat merespon sesuatu. Biasanya, hingga orang berkata bahwa itu sesuatu yang buruk dan saya seharusnya tersinggung, barulah saya tersinggung)
Saat saya mendengar pertanyaan itu, saya tidak tersinggung. Saya geli… bagaimana bisa beliau mengira (atau menghubungkan) antara tidak terkenal padahal memiliki karya dengan ada sesuatu yang salah dengan hidup saya (menyembunyikan dosa).
Namun pulang dari Lippo Cikarang, sambil menyetir saya memikirkan kembali perkataannya, dan kemudian menanyakan beberapa pertanyaan pada diri saya sendiri.
Apakah saya memang seharusnya terkenal? Apakah saya memang ingin terkenal? Apakah saya sanggup jika menjadi terkenal?
Pertanyaan terbesar adalah kenapa dia bawa-bawa (tepatnya saya ingin bertanya kenapa berani-beraninya dia berkata) bahwa hidup saya bermasalah, menyembunyikan dosa, hanya karena saya memilih tidak menjadi terkenal (atau dia pikir ‘tidak menjadi terkenal’ adalah hukuman Tuhan?)
Apapun yang saya buat, lagu-lagu yang saya bagikan (sekolahminggu.org) atau tulisan-tulisan yang pernah saya tulis, tidak dimaksudkan agar saya jadi terkenal. Mungkinkah seorang hamba yang diberikan talenta oleh tuannya menggunakan talenta pemberian itu untuk promosi diri?
Mungkinkah seorang hamba, yang menjalankan perintah tuannya, malah mempromosikan namanya di balik perintah itu?
Itu yang pertama,…
Hal kedua… ketika Tuhan berkata agar kita menjadi terang, tujuan akhirnya bukanlah agar kau dipuji orang… melainkan agar Bapa dimuliakan. Semakin terang suatu lampu, kau makin tak bisa melihat bohlamnya… Tak penting apakah kau dikenal atau tidak sepanjang terangmu bercahaya…
Terang yang bercahaya tak pernah bermanfaat untuk dirinya… melainkan untuk orang lain yang tinggal dalam kegelapan…
Terang yang bercahaya tak layak menerima pujian karena ia menerima cahayanya dari Sumber Terang.
Jadi buat ibu yang pernah bertanya hal itu… dulu saya hanya tersenyum geli mendengar pertanyaan Ibu… ini jawaban saya untuk Ibu… saya menulis ini agar ketika mengingat pertanyaan itu, saya tak lagi merasa ga enak atau sakit hati…
Tuhan memberkati Ibu! Saya memaafkan pertanyaan Ibu, bahkan berterimakasih.