Dokumenter Kriminal dan Kehidupan


Beberapa hari belakangan saya banyak menonton film dokumenter mengenai kriminal-kriminal yang dihukum mati. Kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga yang berantakan, mengalami pelecehan di masa kecil, pada akhirnya mencoba sesuatu seperti narkoba untuk membuat mereka keluar dari perasaan yang tidak enak, kemudian berakhir di penjara.

Banyak hal buruk terjadi pada seseorang karena keputusan buruk yang dibuat orang lain di masa lalu. Keputusan buruk yang dibuat orang tua mereka, atau orang-orang terdekat, atau bahkan orang lain yang melakukan hal buruk pada orang lain.

Tapi bukan itu yang hendak saya bicarakan di sini. Kemarin saya menyelesaikan sebuah documenter berjudul “confession killer”, kisah mengenai Henry Lucas, yang mengaku membunuh 600 orang lebih.

Henry Lucas sejak kecil disiksa ibunya hingga suatu saat di usia remajanya dia memutuskan untuk mengakhiri penyiksaan itu dengan membunuh ibunya. Dia dihukum 25 tahun penjara karena pembunuhan itu. Setelah bebas di awal tahun 1980an, dia membunuh pacarnya dan neneknya. Dia tertangkap dan kemudian menunjukkan di mana letak mayat nenek dan pacarnya.

Di sidang, ketika hendak dijatuhi hukuman, tiba-tiba dia berkata kepada hakim “bagaimana dengan ratusan wanita lain yang saya bunuh? Apakah saya tidak akan disidang untuk itu juga?”

Awalnya mungkin ini ide Henry Lucas untuk menunda hukuman matinya. Namun hal ini ditangkap oleh Texas Ranger sebagai sebuah kesempatan untuk menutup banyak cold cases. Banyak kasus yang ditunjukkan kepada Henry Lucas yang langsung diakui begitu saja oleh Lucas sehingga banyak kasus yang ditutup.

Kemudian jumlah korban meningkat, mulai dari 100, 150, 360 hingga terakhir dia mengakui lebih dari 600. Lucas yang ber-IQ 87 diberitahu, makin banyak dia mengakui pembunuhan, maka hukuman matinya akan semakin lama karena dia akan dimintai tolong menutup kasus-kasus tersebut.

Dimulailah perjalanan Lucas bak selebritis mengelilingi Amerika, mengunjungi kantor-kantor polisi untuk ditunjukkan kasus-kasus mandek (cold cases) yang kemudian diakui begitu saja oleh Lucas sebagai “karya” nya.

Singkat cerita, akhirnya ketahuan bahwa sebenarnya Lucas tidak pernah membunuh siapapun kecuali pacar dan neneknya (dua pembunuhan di awal). Lucas berbohong dan dicekoki untuk terus berbohong oleh kepolisian supaya menutup banyak kasus pembunuhan mandek.

Pada akhirnya, Lucas lolos dari hukuman mati karena diampuni nyawanya oleh George Bush yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Texas. Lucas meninggal karena sebab alami di selnya. Dalam film documenter tersebut diperlihatkan bahwa di penjara Lucas kerap membaca Alkitab dan sering mendengar kotbah dari pendeta wanita.

Hal yang membuat saya merenung setiap kali menonton film dokumenter adalah ketika melihat sendiri apa yang diperbuat waktu kepada seseorang. Entah bagaimana Netflix berhasil mengumpulkan seluruh dokumentasi sejak tahun 1983 hingga saat kematian Lucas 2001 bahkan sampai 2017 untuk menunjukkan ditangkapnya (lagi) seorang pembunuh atas sebuah kasus pembunuhan yang diakui oleh Lucas, berkat teknologi DNA yang sudah berkembang saat ini.

Betapa waktu mengubah seorang yang terlihat mengerikan di saat muda, menjadi terlihat gemuk, lemah dan tak berdaya menjelang ajalnya. Setiap kali melihat film dokumenter seperti ini, saya jadi merenungkan apa yang akan terjadi dalam hidup saya, dan orang-orang di sekitar saya 30 tahun dari sekarang. Kemudian menjadi sedih saat berpikir “Papa saya akan berusia 100 kalau masih hidup”… kalau masih hidup… dan kemudian saya akan memikirkan soal kematian.

Namun tadi malam, ketika sedang memikirkan soal kematian, saya diingatkan bahwa kalau saya percaya pada kehidupan setelah kematian, dan bahwa kalau saya sungguh beriman bahwa Kristus menjamin kita memasukinya bersama dengan Dia, dan bahwa kalau saya sungguh mengamini bahwa hidup saya telah ditebus, maka seharusnya saya tidak perlu takut pada kematian.

Bahwa sesungguhnya tubuh ini hanya cangkang sementara yang kita tempati selama di dunia, yang akan aus karena bumi yang berputar dan kondisi lingkungan. Bahwa sesungguhnya hidup di dunia adalah kesempatan bagi kita untuk membuat keputusan penting bagi hidup kekekalan. Jika itu kita percayai, maka seharusnya tidak perlu takut pada kematian.

Saat menyaksikan film serial dokumenter lainnya, saya pun pernah melihat ironi yang luar biasa. Ketika keluarga korban pembunuhan hidup dalam dendamnya, dan pembunuh mendapatkan damai karena memutuskan menerima Kristus dalam hidupnya, mendedikasikan sisa hidupnya untuk mengenal dan melayani Dia.

Hidup terkadang memang tidak adil, hanya Tuhan yang adil. Keadilan-Nya kadang tidak bisa kita mengerti. Seperti perumpamaan tentang pekerja di ladang. Mereka yang bekerja sejak jam 9 mendapat upah yang sama dengan yang bekerja menjelang sore. Juga tentang sebuah kotbah bahwa yang pertama akan jadi terkemudian sedangkan yang terkemudian akan jadi yang terdahulu.

Karena jalan Tuhan tak terselami, dan untuk mempercayai, untuk memiliki iman, kita harus memiliki keberanian,…seperti yang saya pernah bilang beriman itu beresiko.

Mengajar Generasi Z


Saya mendapat kesempatan mengajar generasi Z selama satu semester mengenai Marketing Farmasi dan Kewirausahaan (dijadikan satu mata kuliah). Beberapa minggu sebelumnya saya mengobrol dengan seorang pengusaha yang berkata bahwa generasi Z ini memang harus diperlengkapi dengan kemampuan Wirausaha sehingga mereka mampu berdiri di atas kaki sendiri, menciptakan lapangan kerja mereka sendiri.

Saya sungguh bersyukur mendapat kesempatan mengajar mahasiswa yang menyerap seperti spons ini. Menerima setiap pelajaran yang diberikan dan menghasilkan produk-produk buatan mereka yang luar biasa.

Mereka bukanlah mahasiswa program Sarjana, tapi kegigihan, usaha dan kecerdasan mereka luar biasa. Produk mereka sangat menjanjikan, berkualitas dan saya rasa siapa pun akan sepakat dengan saya bahwa anak-anak generasi Z jika diarahkan dengan tepat akan menjadikan bangsa ini unggul di bidang apapun. Namun jika tidak diarahkan, dapat membuat bangsa ini mundur dan hancur dengan segera.

Kekuatan yang besar memang begitu, bukan? Saat digunakan untuk apa yang baik maka akan ada daya bangun yang luar biasa, sebaliknya jika digunakan untuk sesuatu yang buruk, daya hancurnya pun luar biasa.

Produk yang mereka hasilkan, seperti parfum, coklat, handbody lotion, face mist, masker dan lipbalm dikerjakan dengan sepenuh hati dan memiliki nilai jual yang sangat baik. Saya sendiri menyukai parfum dan coklat rasa cabe yang unik.

Terkadang anak-anak mengejutkan kita dengan apa yang mereka sampaikan, bukan begitu?? Jika Anda memiliki anak generasi Z, Anda akan sangat rugi jika tidak menghabiskan waktu bicara dengan mereka. Mengabaikan kesempatan untuk bicara dan mengajar mereka sama saja menyia-nyiakan waktu yang sungguh berharga sekaligus melepaskan kesempatan menjadi pahlawan yang membentuk hidup mereka, dan masa depan negara ini.

 

Walkout, Rumah Tuhan dan Racun


Sudah lama saya berhenti berpikir bahwa gedung gereja adalah “Rumah Tuhan”. Itu adalah tempat nama Tuhan dimuliakan, benar… tapi itu bukan Rumah Tuhan. Kalau itu Rumah Tuhan, tentulah tidak akan terjadi hal-hal melenceng di dalamnya, Tuhan tentu tidak mengijinkan rumah-Nya disalahgunakan.
 
Jadi saya tidak merasa bersalah ketika hari ini, untuk pertama kalinya kesabaran saya melebihi batasannya dan saya memutuskan untuk walkout 10 menit setelah pengkotbah dari Jakarta (dokter yang digelari pdm.) mulai berkotbah. Duh, saya mendengar sebagian dari teman-teman atau yang mengenal saya berkata “gak aneh!!!” dan “kebiasaan kamu sok benar!!!”… Hahaha, i can take that, saya tidak keberatan sama sekali dengan predikat ‘pemberontak’ ketika saya mengatakan “TIDAK” untuk sesuatu yang salah.
 
Sebenarnya perasaan saya sudah tidak enak ketika salah satu Worship Leader, yang adalah tim pelayanan dari bapak dokter ini, mengatakan “Tuhan itu baik dan Dia tidak meminta balasan apapun dari kita, karena itu kita harus tahu diri”. Sebagian dari Anda mungkin ada yang berpikir “apa salahnya?”. Ayolah, Anda pikir apa gunanya 10 hukum taurat? Anda pikir apa artinya ketika Tuhan Yesus berkata “kasihilah Tuhanmu dengan segenap hatimu”?
 
Selanjutnya perasaan saya lebih tidak enak lagi ketika di doa awal kotbah Sang Dokter memimpin seperti ini “Kami bersyukur karena Engkau Baik, Tuhan. Kami bersyukur karena kami bisa hidup, karena kami bisa makan tiga kali sehari, karena tidak ada keluarga kami yang tercerai berai, karena tidak ada keluarga kami yang menggunakan narkoba,…”. Jika di antara jemaat ada mereka yang sedang susah hati karena keluarganya terlibat narkoba, atau orang tuanya bercerai, atau dia tidak dapat makan tiga kali sehari dan memutuskan ‘mencari Tuhan’ ke gedung itu… Apa artinya Tuhan tidak baik untuknya?
 
Hal berikutnya ketika di awal kotbah Bapak Dokter berkata “saya tahu kenapa Anda semua ada di sini, datang ke gereja… Pasti sama seperti saya, karena kita semua ingin masuk Surga”. Saat itu saya mulai menjadi sangat gelisah dan berbisik pada anak asuh saya “ini ga bener!”
 
Kotbah berikutnya dilanjutkan dengan menceritakan kehebatan Bapak dokter yang sekolah 10 tahun di Jerman hingga mengambil spesialis dan super spesialis, lalu ke Perancis, lalu ke London, ke Amerika (beberapa tempat sekaligus) dan ke Jepang, namun kemudian memutuskan kembali ke Indonesia. Lalu kemudian memutuskan melayani Tuhan karena (perhatikan baik-baik) dia ingin masuk Surga.
 
Saudara, jika Anda bersama anak Anda memutuskan untuk makan di suatu restoran, kemudian Anda melihat tukang masak restoran itu mengambil makanan yang sudah berceceran di lantai, memungutinya dan menaruh lagi di piring untuk disajikan kepada Anda, apa yang akan Anda lakukan? Tentu Anda menolak untuk makan sampah itu walau terlihat enak. Terutama, Anda ingin supaya anak Anda tidak memakannya. Itulah yang saya lakukan, saya menolak untuk makan sampah, dan saya tidak mau anak asuh saya memakannya juga, jadi saya mengajaknya keluar.
 
Saya menjelaskan bahwa orang Kristen harus mengetahui prinsip-prinsip Dasar Kekristenan dan menolak ketika berhadapan dengan penyesat. Saya bangga ketika anak asuh saya sudah mengerti bahwa kita diselamatkan karena iman pada Yesus, bukan karena pergi ke gereja atau mengambil bagian dalam pelayanan.
 
Bapak-bapak yang melayani di mimbar, atau para pendeta yang menggembalakan jemaat. Bukankah Anda diberi tanggungjawab besar untuk memberi ‘roti’ pada mereka yang lapar. Lalu mengapa seringkali Anda mengijinkan orang lain memberi ‘racun’ pada jemaat yang Tuhan percayakan? Mengapa seringkali Anda tidak mengolah roti itu dengan benar sehingga mungkin membuat yang memakannya menjadi sakit perut?
 
Saya mendengar dari mama saya bahwa dulu ada pendeta yang sering berkata bahwa Neraka mulai dirasakan di bumi, ketika kita mendapat ‘masalah’ menuai akibat dari perbuatan kita. Penjelasan yang tidak baik menyebabkan jemaat yang tertimpa masalah berkata “salah saya apa Tuhan?” atau menghakimi orang yang tertimpa masalah dengan berkata “pasti dia pendosa!”
 
Para domba, sebagai sesama domba saya menasihati, jangan memakan apa saja yang disajikan pada Anda. Jadilah domba-domba cerdas yang tidak hanya duduk termangu-mangu.

Kehadiran Ayah dan Bunuh Diri


Salah satu kalimat yang menggelitik saya dalam kotbah hari ini adalah “Menurut penelitian 65 persen anak bunuh diri tanpa kehadiran sosok ayah…”,

Saya berpikir… Artinya, 35 persen anak bunuh diri walau ayahnya hadir, jumlah yang masih sangat besar. Pertanyaan saya, apakah ‘kehadiran ayah’ memiliki pengaruh yang cukup signifikan dari keputusan seorang anak bunuh diri?

Terlepas dari adanya kehadiran ayah atau tidak dalam diri anak (yang mana saya yakini bahwa kehadiran sosok ayah penting bagi setiap anak manapun), keputusan anak bunuh diri disebabkan rendahkan kemampuannya mengendalikan emosi, dengan kata lain rendahnya kecerdasan intrapersonal.

Sekali lagi, tanpa mengecilkan arti kehadiran ayah, kecerdasan intrapersonal yang rendah merupakan penyebab seseorang bunuh diri. Pertanyaannya, bagaimana melatih kecerdasan intrapersonal seorang anak?

Kecerdasan intrapersonal anak dilatih sejak ia masih sangat kecil. Jika Anda tak pernah mengijinkan seorang anak merasa kecewa, saat dewasa ia akan mengalami kesulitan menangani kekecewaan. Jika Anda tak pernah memotivasi anak saat ia kesulitan melakukan sesuatu di masa kecilnya, saat dewasa ia akan mengalami kesulitan menangani keputusasaan. Jika Anda selalu menyela dan tak punya cukup waktu mendengarkan saat mereka marah, saat dewasa ia akan kesulitan menangani kemarahan.

Kecerdasan intrapersonal merupakan kecerdasan dasar yang harus diajarkan pada anak, tapi sayangnya, bahkan dengan kehadiran seorang ayah, anak tidak mempelajari ini sejak kecil. Bahkan seringkali diperburuk oleh orang tua. Orang tua yang selalu menjatuhkan, orang tua yang terlalu “sayang” hingga mengabulkan semua keinginan anak dan tak mengijinkan anak kecewa atau menangis, orang tua yang tak punya cukup waktu mendengarkan anak.

Lagi dan lagi, tanpa mengecilkan kehadiran seorang ayah, sumber dari kecerdasan intrapersonal adalah kehadiran Tuhan dalam hidup anak. Adanya pengharapan dalam kesesakan, kesabaran dalam kesulitan, dan iman dalam ketidakjelasan adalah sepenuhnya karya Roh Kudus dalam tiap anak.

Artinya, menurut pendapat saya, kehadiran ayah akan sia-sia ketika ia tidak mengenalkan Tuhan dalam hidup anak. Jadi, menurut saya, pertanyaan utamanya pada akhirnya bukanlah apakah ayah hadir atau tidak dalam kehidupan anak, tapi apakah Tuhan hadir dan diperkenalkan sejak kecil dalam hidupnya.

Membunuh Sang Waktu


Betapa cepat kemajuan teknologi sepuluh hingga dua puluh tahun belakangan. Saya masih ingat sekitar 14 tahun yang lalu ketika saya bekerja di salah satu perusahaan di Jakarta. Saya kost di jakarta selama 6 bulan sebelum kemudian keluar dan kembali ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan.

Saat itu saya bingung bagaimana caranya “membunuh waktu”, terutama di hari Sabtu dan Minggu. Saat itu belum ada tol cipularang sehingga untuk pulang ke Bandung hari Sabtu siang (karena saya tidak libur di hari Sabtu) menghabiskan begitu banyak waktu (bisa sampai 8 jam). Biasanya saya menghabiskan waktu dengan menonton atau membaca buku, atau pergi ke warnet untuk chatting dengan teman. Saya bahkan pernah menghabiskan buku Harry Potter dalam satu hari karena benar-benar tidak tahu bagaimana caranya membunuh waktu.

Tadi, saya bicara dengan seorang anak yang baru lulus SMK dan memiliki rencana kuliah di luar kota. Saya merasa diri sudah tua ketika tanpa berpikir saya berkata “bosan lho di tempat kost, harus bawa TV…” belum selesai saya menyelesaikan kalimat saya, saya tersadar, ah ya benar, ada youtube, viu dan banyak aplikasi lain di smartphone yang menjadi senjata kita membunuh waktu.

Kita berusaha mati-matian membunuh waktu. Di setopan lampu merah, saat mengantri di bank, saat menunggu kendaraan umum, di manapun kita ingin agar waktu berjalan tanpa kita sadari.

Namun tanpa sadar kitalah yang dirugikan dengan “matinya sang waktu”. Setidaknya itulah yang ada di pikiran kita. Kita pikir waktu telah mati, padahal kitalah yang seperti mati, waktu terus berjalan, tik tok tik tok. Bekasnya terlihat di mana-mana, rambut yang memutih, kerut yang semakin banyak, kondisi nenek kita yang menurun drastis, jerawat yang timbul. Waktu meninggalkan jejaknya di mana-mana.

Sang waktu tidak mati, kitalah yang sebenarnya “mati”. Kita menjalani hari seperti benda mati. Tak memaknainya, tak memberinya makna. Kita menjalani hari tanpa meninggalkan jejak yang berarti, dan tiba-tiba usia tua menyergap dari berbagai arah, entah orang tua kita yang tiba-tiba tua karena kita tidak menyadarinya akibat kurang menaruh perhatian dan menghabiskan waktu berasama, atau anak kita yang tiba-tiba besar karena kita tidak menikmati setiap proses pertumbuhannya. Atau diri kita sendiri saat kita bercermin.

Sesungguhnya sang waktu tak bisa mati, sebagaimanapun kita mencoba membunuhnya. Malah kitalah yang akan mati tanpa kita sadari. Taruh sebentar smartphone di tangan Anda, tegakkan kepala dan lihatlah sekitar Anda. Mungkin ada tempat di mana kita bisa membalas dendam pada Sang Waktu, dengan meninggalkan jejak kita yang berharga saat kita masih hidup di dunia.

Menggantikan orang di Neraka…???


Baru saja adik saya memberikan saya sebuah gambar yang cukup menarik. Sebuah iklan berbau dukun rohani, yang bertujuan menjerat pengusaha yang mengalami resesi ekonomi aka masalah keuangan. Langsung saja hati saya tergelitik untuk menuliskannya (mengingat sudah sekian lama saya tidak menulis dan bersikap nyinyir pada keanehan yang terjadi)

Hal yang menarik adalah ketika sebagian gereja (dan hamba Tuhan) berusaha menjadi jawaban atas masalah keuangan anggotanya, seolah mengaminkan bahwa satu-satunya indikator berkat Tuhan adalah ketika seseorang diberkati secara finansial.

Namun hal yang menarik perhatian saya dari brosur di samping bukanlah kalimat “PELEPASAN RESESI EKONOMI” yang dipampang besar-besar, tapi kalimat yang diberi lingkaran merah oleh siapapun yang membagi gambar itu pertama kali.

Disebutkan: (maaf, saya tidak berniat mensensor nama gereja dan pendeta absurd yang tertulis di brosur itu)

Dilayani Gembala Sidang Gereja Tiberias Indonesia yang diberikan Predikat seorang Martir yang tidak duniawi se-Roh dengan Tuhan Yesus karena mencium kaki Tuhan Yesus ingin menggantikan orang di neraka

Saya tidak tahu sebodoh apa para fulltime di gereja itu, yang saya tahu setiap kali mengeluarkan brosur atau apapun mereka sepertinya melupakan tanda baca seperti titik dan koma, seolah mereka tidak tahan untuk menyemburkan pujian pada junjungan mereka ini.

Hal yang teramat konyol (setidaknya bagi saya), adalah karena “ingin menggantikan orang di neraka” merupakan alasan mengapa pendeta ini dapat menyejajarkan dirinya dengan Tuhan Yesus.

Ayolah!!! Bahkan Tuhan Yesus tidak menggantikan orang di neraka… Dia menebus orang agar tidak ke neraka. Dia mati, sebagian orang percaya Dia turun ke neraka, tapi sesudahnya dia BANGKIT dan menjadi TUHAN dan RAJA. Jika Bapak Pendeta yang terhormat ini ingin menggantikan orang di neraka, apakah sebenarnya dia tidak percaya bahwa kematian Yesus di kayu salib sudah cukup? atau justru dia meragukan kedaulatan Tuhan? Saya tidak mengerti sama sekali.

Hal kedua adalah, alasan yang melatarbelakangi dia ingin “menggantikan orang di neraka”. Dia tahu benar bahwa Tuhan tidak ada di Neraka, tempatnya Tuhan bukan di Neraka. Jika dia ingin berada di neraka, apakah artinya dia tidak ingin menghabiskan keabadian bersama Tuhan?

Mungkin sebagian orang berkata “ayolah, jangan menanggapinya secara harafiah”. HARUS!!! Saya harus menanggapinya secara harafiah jika orang ini ingin dianggap martir dan se-Roh dengan Tuhan Yesus. Jika tidak diartikan secara harafiah, maka siapa saja bisa membual seperti dia.

Hal ketiga adalah, masih alasan yang melatarbelakangi dia ingin “menggantikan orang di neraka”. Apakah dia ingin berada di neraka karena dia begitu mengasihi orang yang ingin dia gantikan tempatnya di neraka? Jika begitu bukankah dia akan kehilangan kesempatan untuk menyelematkan orang yang masih hidup dari potensi neraka? Apakah ini semacam rayuan gombal anak SMA “aku bersedia mati menggantikanmu” atau “kenapa tidak aku saja yang mati”.

Ayolah, Tuhan Yesus memiliki kasih sebesar itu, Dia mengenal kita hingga Dia rela mati menggantikan kita. Tapi siapa bapak ini sehingga berani mengajukan diri menggantikan orang di neraka?? Ah, seandainya saja saya diijinkan mengumpat.

Hal keempat adalah… Definisi martir dalam Kristen BUKANLAH menggantikan tempat orang berdosa di neraka, tapi bersedia tetap berdiri teguh untuk mempertahankan iman, seperti Stefanus atau para murid yang mati martir demi nama Yesus. Tidak ada satu pun orang dikenal sebagai martir karena dia menggantikan tempat orang berdosa dalam keabadian neraka. Tidak ada!!

Hal kelima adalah, bukankah agama menjadi laris karena mereka menawarkan keselamatan? Bukankah kita percaya pada Kristus karena Dia menawarkan keselamatan? Bukankah inti dari kematian Kristus di salib adalah agar kita diselamatkan. Anda boleh mengatakan saya egois, tapi bukankah itu benar? Bukankah menjadi seperti Kristus dan mendapatkan keselamatan serta hidup kekal bersama Bapa di Surga adalah tujuan hidup setiap orang percaya?

Apakah bapak pendeta yang terhormat ini benar-benar bermaksud menawarkan dirinya menggantikan orang di neraka atau dia cuma melontarkan (maaf) b*llshit supaya dirinya dicap menjadi martir? Menurut Anda, jika dia benar-benar serius dengan tawarannya, dan Tuhan mengabulkannya, apa yang akan dia katakan?

Saya tahu, saya tahu,… Anda pasti hanya akan membaca kemarahan dalam tulisan saya kali ini, dan itu memang benar SAYA SANGAT MARAH dengan apa yang tertulis di brosur itu. Sebuah kalimat tolol dari seorang yang mengaku diri pendeta yang ingin menggantikan posisi orang di neraka hingga malah memberi kesan bahwa ia tidak percaya bahwa kematian Yesus sudah cukup, atau ia sendiri meragukan kedaulatan Tuhan….hmmm, atau mungkin hanya sekedar “cari muka” di hadapan Tuhan….

Pendeta, pembimbing rohani, guru sekolah minggu, atau siapapun yang (merasa dirinya) rohani, dengarlah nasihat orang awam ini sekali saja… lain kali hati-hatilah dengan statement Anda, baik itu tertulis maupun apa yang Anda ucapkan di atas mimbar. Jangan tersesat dalam kalimat-kalimat indah tanpa makna yang justru menyesatkan orang yang mendengarnya. Hati-hatilah… Tuhan tidak memberi Anda kepercayaan untuk Anda pakai seenaknya seperti ini.

Jika Anda masih melakukannya juga, menyesatkan orang lain…lain kali Anda berada di neraka bukan karena Anda meminta untuk menggantikan tempat seseorang, tapi mungkin  di sanalah tempat Anda yang seharusnya

 

 

Waktu


Waktu itu tak terlihat,
Namun ia mengambil segala yang kau miliki

Mengambil kemudaanmu
Menukarnya dengan pengalaman

Mengambil kenaifanmu
Menukarnya dengan hikmat

Mengambil kenanganmu
Menukarnya dengan kebijakan

Mengambil teman-temanmu
Menukarnya dengan sahabat

Mengambil harapanmu
Menukarnya dengan iman

Mengambil lukamu
Menukarnya dengan kekuatan

Mengambil egomu
Menukarnya dengan kerendahan hati

MENJADI PUSAT PERHATIAN


Setiap orang butuh perhatian, khususnya anak remaja. Hanya saja tiap orang memiliki persepsi berbeda tentang apa yang patut dijadikan obyek perhatian dari dirinya.
Sebagian menganggap wajah yang cantik adalah obyek yang tepat untuk perhatian orang lain. Sebagian lagi sifat yang baik, otak yang encer, gaya berpakaian, kedudukan orang tua dan banyak lagi, tergantung dari apa yang dianggap penting oleh orang tua mereka, sejak mereka kecil.

Bagi remaja, menjadi pusat perhatian adalah segalanya, dan mereka yang gagal mendapatkannya hanyalah pecundang yang tempatnya di pojokan, tak terlihat.

Seorang remaja di sebuah kota paling timur di Pulau Jawa berhasil mendapatkan perhatian seluruh negeri. Seorang penulis tanpa kertas dan pulpen, seorang pujangga tanpa selera seni dianggap sastrawan dalam sekejap karena tulisannya yang brilian di media sosial.

Sebuah tulisan yang menyuarakan hati rakyat yang sudah muak dengan eksploitasi agama untuk kepentingan politik dan eneg dengan kebanggaan semu sebagian ‘mayoritas’ akan kepemilikan surga.

Si remaja membuat kagum banyak orang, mulai dari rakyat awam hingga penguasa negeri. Diundang ke istana dan tampil di Mata Najwa mungkin adalah prestasi terbesarnya. 

Dia pun mungkin tak mengira, kekagumannya akan sebuah tulisan yang kemudian dimuatnya di media sosial pribadinya akan membawanya setinggi itu. Dia hanya remaja yang suka puja-puji dan tersanjung dengan banyaknya like di media sosial.

Dia hanya remaja yang belum sanggup berpikir panjang selain dirinya adalah yang terpenting di semesta ini. Remaja yang walaupun tahu apa yang salah tapi memilih tetap melakukannya karena kenaifannya.

Sorotan lampu media dan jepretan kamera membuatnya merasa jenius. Sudah terlambat untuk mengakui semuanya. Dalam pemikiran remajanya, “apa salahnya menjadi pusat perhatian sesekali.”

Hingga kenyataan menghempasnya dari tempat tingginya, dan lampu sorot padam seketika, meninggalkannya di sudut gelap menjadi mangsa kucing-kucing usil yang nyinyir. Tapi itulah kehidupan di kampung abstrak yang penduduknya bernama Netizen

Dengan sisa-sisa keinginannya untuk menjadi pusat perhatian, sekali lagi ia mencari di sumber kreativitas andalannya, media sosial. Masukan kata kunci “remaja, bully, curhat, bunuh diri” dan ia menemukan sesuatu untuk diikuti.

Si remaja begitu depresi, “biarlah aku menjadi pusat peratian sekali lagi, walau bukan menjadi remaja jenius tak apalah. Mereka harus tahu aku depresi”

Menjadi pusat perhatian adalah impian setiap remaja, orang tua yang mengasah pikiran tentang itu sejak kecil, bak mengasah anak panah yang akan ditembakkan ke sasaran. Orang tua yang menentukan sasarannya, apakah kecantikan, kepintaran, uang atau kebaikan hati.

Tak salah menjadi pusat perhatian, bahkan Tuhan pun memerintahkan kita menjadi pusat perhatian. Bukankah kota terletak di atas bukit tidak mungkin tersembunyi?

Tentang Memberi


Anakku,

Begitu mudah kita memberi
ketika semua mata tertuju pada kita
atau ketika si penerima memiliki potensi membalas
Begitu mudah kita memberi,

Ketika jumlah pemberian kita akan dipampang
dan nama kita tertulis besar-besar
Sehingga siapapun yang melihat
akan berdecak kagum

Begitu mudah kita memberi,
Ketika tangan kiri mengetahui
Apa yang diperbuat tangan kananmu
Tak perlu disembunyikan

Anakku,
Prinsip memberi tidak seperti itu
Memberi tak sama dengan menjadi sponsor
Berharap publikasi setelah memberi

Anakku,
Kebahagiaan yang sesungguhnya adalah,
Justru ketika kita memberi saat tak seorang pun melihat
Kepada mereka yang membutuhkan
Kepada saudaramu,
Kepada temanmu
Kepada sesamamu manusia

Pengakuan datangnya dari Tuhan
Dia yang akan merasa berutang ketika kau memberi
…pada mereka yang membutuhkan

Kebahagiaan yang sesungguhnya adalah,
Ketika tak seorang pun tahu seberapa besar kita memberi
Namun kita melihat dampak dari pemberian kita

Ketika kita berinvestasi tanpa nama dalam hidup orang lain
Dan melihat hidup mereka berubah

Kebahagiaan yang sesungguhnya adalah,
Ketika bahkan tangan kiri kita tak tahu
Apa yang diberi oleh tangan kanan kita
Hanya sepasang mata di Surga yang melihat

Anakku,
Ketika kau ingin memberi,
Jangan lakukan itu untuk mendapat pujian manusia
Jangan lakukan itu untuk mendapat balas budi dari manusia
Jangan lakukan itu untuk publikasi diri

Tapi lakukanlah karena Tuhanmu memerintahmu 
Untuk tidak menahan kebaikan dari mereka yang layak menerimanya
Untuk bermurah hati dan mengasihi sesamamu manusia
Karena kau pun telah menerima banyak…
…dari si Empunya Kehidupan

Mari Bicara Surga dan Neraka


Mari kita jujur, setiap agama memang mengajarkan jalannya sendiri untuk mencapai Surga. Mereka yang beriman akan mengatakan agamanya yang pasti akan membawa mereka ke Surga. Tidak heran, itu namanya iman.
Saat seorang Afi, anak remaja menyampaikan ini, begitu banyak orang termasuk para profesor menghakiminya dan mencelanya habis-habisan. 

Bicara soal agama, tidak salah juga kalau di jaman sekarang agama dikatakan warisan. Seiring dengan pertambahan usia, iman memutuskan apakah kita akan mempertahankan warisan itu, atau melepasnya dan menukarkannya dengan yang baru yang kemudian akan kita wariskan pada anak cucu kita.

Setiap manusia yang (mengaku) beriman pastilah akan berusaha membuat anak-anaknya mempertahankan warisannya, hal itu tidak dapat dipungkiri. Alasan kebanyakan orang sederhana, agar anak-anaknya kelak juga akan mendapat Surga, seperti yang ia yakini. Kemudian akan marah ketika anaknya tiba-tiba memutuskan untuk melepaskan warisan tersebut karena imannya pada sesuatu yang lain.

Hidup di dunia ini singkat, namun sebagian orang bukannya memaknainya, namun hidup dengan terus menerus memikirkan Surga. Mereka berusaha mendapatkan Surga dengan segala cara. Bahkan ada yang membuat versinya sendiri tentang Surga dan bagaimana mendapatkannya. Kemudian teori-teori pun dibuat seolah syarat Surga semakin lama semakin fleksibel, seolah Surga adalah buatan manusia.

Surga memang adalah impian akhir setiap manusia. Setiap agama tentu mengajarkan bagaimana memperolehnya. Namun banyak orang lupa bahwa tujuan akhir itu merupakan anugerah dari Pencipta. Karena jujur saja, manusia terlalu lemah untuk mengupayakannya. Ayolah, tak akan ada yang sanggup mencapainya dengan usaha sendiri.

Anda mengatakan begini begitu akan membuat Anda layak masuk Surga, lalu bagaimana dengan kebencian dalam hati, cacian yang dilontarkan atau ancaman yang terang-terangan. Tidakkah itu membuat Anda tidak layak masuk Surga.

Sedemikian ketakutannya Anda dengan Neraka sehingga membuat fantasi sendiri mengenai Surga. Bagaimana jika justru fantasi Anda tentang mendapatkan Surga akan membawa Anda ke Neraka?

Saudara, Surga dan Neraka diciptakan sebagai tujuan akhir manusia, bukan untuk diperebutkan, tapi dianugerahkan. Apa bedanya? Ketika Anda memperebutkan Surga, Anda akan fokus pada bagaimana mengkafirkan orang lain, menunjukkan pada orang lain bahwa hanya Anda yang layak masuk Surga. Seperti permainan panjat pinang. Anda akan berusaha menendang atau menarik turun orang lain.

Namun ketika Anda percaya bahwa Surga dianugerahkan, maka hidup Anda akan dilimpahi dengan syukur pada Ilahi. Syukur karena sebenarnya Anda tidak layak, namun Sang Ilahi menganugerahkannya pada Anda. kemudian Anda akan hidup sebaik-baiknya sebagai perwujudan rasa syukur pada Ilahi yang telah menganugerahkannya pada Anda.

Pertanyaannya sekarang, jika memang Surga itu dianugerahkan atau dihadiahkan, dan bukan diperebutkan, bagaimana caranya agar Anda mendapatkannya?

Semoga Tuhan, sumber segala hikmat memberi kita semua pencerahan….