Beberapa hari belakangan saya banyak menonton film dokumenter mengenai kriminal-kriminal yang dihukum mati. Kebanyakan dari mereka berasal dari keluarga yang berantakan, mengalami pelecehan di masa kecil, pada akhirnya mencoba sesuatu seperti narkoba untuk membuat mereka keluar dari perasaan yang tidak enak, kemudian berakhir di penjara.
Banyak hal buruk terjadi pada seseorang karena keputusan buruk yang dibuat orang lain di masa lalu. Keputusan buruk yang dibuat orang tua mereka, atau orang-orang terdekat, atau bahkan orang lain yang melakukan hal buruk pada orang lain.
Tapi bukan itu yang hendak saya bicarakan di sini. Kemarin saya menyelesaikan sebuah documenter berjudul “confession killer”, kisah mengenai Henry Lucas, yang mengaku membunuh 600 orang lebih.
Henry Lucas sejak kecil disiksa ibunya hingga suatu saat di usia remajanya dia memutuskan untuk mengakhiri penyiksaan itu dengan membunuh ibunya. Dia dihukum 25 tahun penjara karena pembunuhan itu. Setelah bebas di awal tahun 1980an, dia membunuh pacarnya dan neneknya. Dia tertangkap dan kemudian menunjukkan di mana letak mayat nenek dan pacarnya.
Di sidang, ketika hendak dijatuhi hukuman, tiba-tiba dia berkata kepada hakim “bagaimana dengan ratusan wanita lain yang saya bunuh? Apakah saya tidak akan disidang untuk itu juga?”
Awalnya mungkin ini ide Henry Lucas untuk menunda hukuman matinya. Namun hal ini ditangkap oleh Texas Ranger sebagai sebuah kesempatan untuk menutup banyak cold cases. Banyak kasus yang ditunjukkan kepada Henry Lucas yang langsung diakui begitu saja oleh Lucas sehingga banyak kasus yang ditutup.
Kemudian jumlah korban meningkat, mulai dari 100, 150, 360 hingga terakhir dia mengakui lebih dari 600. Lucas yang ber-IQ 87 diberitahu, makin banyak dia mengakui pembunuhan, maka hukuman matinya akan semakin lama karena dia akan dimintai tolong menutup kasus-kasus tersebut.
Dimulailah perjalanan Lucas bak selebritis mengelilingi Amerika, mengunjungi kantor-kantor polisi untuk ditunjukkan kasus-kasus mandek (cold cases) yang kemudian diakui begitu saja oleh Lucas sebagai “karya” nya.
Singkat cerita, akhirnya ketahuan bahwa sebenarnya Lucas tidak pernah membunuh siapapun kecuali pacar dan neneknya (dua pembunuhan di awal). Lucas berbohong dan dicekoki untuk terus berbohong oleh kepolisian supaya menutup banyak kasus pembunuhan mandek.
Pada akhirnya, Lucas lolos dari hukuman mati karena diampuni nyawanya oleh George Bush yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Texas. Lucas meninggal karena sebab alami di selnya. Dalam film documenter tersebut diperlihatkan bahwa di penjara Lucas kerap membaca Alkitab dan sering mendengar kotbah dari pendeta wanita.
Hal yang membuat saya merenung setiap kali menonton film dokumenter adalah ketika melihat sendiri apa yang diperbuat waktu kepada seseorang. Entah bagaimana Netflix berhasil mengumpulkan seluruh dokumentasi sejak tahun 1983 hingga saat kematian Lucas 2001 bahkan sampai 2017 untuk menunjukkan ditangkapnya (lagi) seorang pembunuh atas sebuah kasus pembunuhan yang diakui oleh Lucas, berkat teknologi DNA yang sudah berkembang saat ini.
Betapa waktu mengubah seorang yang terlihat mengerikan di saat muda, menjadi terlihat gemuk, lemah dan tak berdaya menjelang ajalnya. Setiap kali melihat film dokumenter seperti ini, saya jadi merenungkan apa yang akan terjadi dalam hidup saya, dan orang-orang di sekitar saya 30 tahun dari sekarang. Kemudian menjadi sedih saat berpikir “Papa saya akan berusia 100 kalau masih hidup”… kalau masih hidup… dan kemudian saya akan memikirkan soal kematian.
Namun tadi malam, ketika sedang memikirkan soal kematian, saya diingatkan bahwa kalau saya percaya pada kehidupan setelah kematian, dan bahwa kalau saya sungguh beriman bahwa Kristus menjamin kita memasukinya bersama dengan Dia, dan bahwa kalau saya sungguh mengamini bahwa hidup saya telah ditebus, maka seharusnya saya tidak perlu takut pada kematian.
Bahwa sesungguhnya tubuh ini hanya cangkang sementara yang kita tempati selama di dunia, yang akan aus karena bumi yang berputar dan kondisi lingkungan. Bahwa sesungguhnya hidup di dunia adalah kesempatan bagi kita untuk membuat keputusan penting bagi hidup kekekalan. Jika itu kita percayai, maka seharusnya tidak perlu takut pada kematian.
Saat menyaksikan film serial dokumenter lainnya, saya pun pernah melihat ironi yang luar biasa. Ketika keluarga korban pembunuhan hidup dalam dendamnya, dan pembunuh mendapatkan damai karena memutuskan menerima Kristus dalam hidupnya, mendedikasikan sisa hidupnya untuk mengenal dan melayani Dia.
Hidup terkadang memang tidak adil, hanya Tuhan yang adil. Keadilan-Nya kadang tidak bisa kita mengerti. Seperti perumpamaan tentang pekerja di ladang. Mereka yang bekerja sejak jam 9 mendapat upah yang sama dengan yang bekerja menjelang sore. Juga tentang sebuah kotbah bahwa yang pertama akan jadi terkemudian sedangkan yang terkemudian akan jadi yang terdahulu.
Karena jalan Tuhan tak terselami, dan untuk mempercayai, untuk memiliki iman, kita harus memiliki keberanian,…seperti yang saya pernah bilang beriman itu beresiko.