Hanya bercanda?


Amsal 26:18-19
Seperti orang gila menembakkan panah api, panah dan maut, demikianlah orang yang memperdaya sesamanya dan berkata: “Aku hanya bersenda gurau.”

Pernahkah Anda mendengar orang berkata “aku kan hanya bercanda” atau “ah itu kan hanya main-main saja”?

Bercanda bukanlah sesuatu yang salah, jika dilakukan pada saat yang tepat. Tapi jika itu dilakukan pada saat yang salah, Alkitab berkata, seperti orang gila yang menembakkan panah api.

Dapatkah Anda membayangkan orang gila yang menembakkan panah api. Dia melakukannya tanpa pertimbangan, tanpa pikir panjang dan sangat membahayakan, bukan hanya satu orang, tapi banyak orang yang ada di sekelilingnya.

Kontestasi pilpres sedang memasuki babak akhir, di mana penilaian setiap calon (dan partai pengusungnya) sudah selesai dilakukan oleh rakyat. Rakyat jaman sekarang, khususnya milenial dan gen-Z yang merupakan sebagian besar pemilih sudah terbiasa menilai (sudah berapa banyak ajang pencarian bakat yang dilakukan berdasarkan penilaian ‘rakyat’).

Papa saya pendukung Ganjar Pranowo, capres yang semakin lama semakin menampakkan keangkuhannya dan didukung oleh partai yang ketuanya pun tidak bisa menjaga lisannya.

Sejak awal saya katakan pada Papa, Ganjar tidak mungkin menang, gaya komunikasinya tidak dapat diterima oleh generasi jaman sekarang. Ketika diwawancara oleh salah satu podcaster, Alam Ganjar, putera Ganjar berkata “ayah saya hanya bercanda, itu satir saja”. Papa saya pun sama seperti Alam Ganjar, menjawab,”itu kan guyon aja”

Masalahnya, Ganjar bercanda di saat yang tidak tepat, dengan audien yang tidak tepat dan di ajang yang tidak tepat. Jika dia bercanda di panggung komika, mungkin orang akan memberikan applause.

Begitu pun dengan ketua partai pengusungnya, Ibu Megawati, yang dengan bercanda berkata “saya ini cantik dan karismatik”, “gini-gini saya anak proklamator lho”, “bukan sombong, gini-gini saya presiden kelima lho”

Bagi angkatan Papa saya mungkin mendengar bu Mega berkata begitu akan maklum dan dalam pikirannya kata-kata itu dikategorikan “hanya bercanda”, tapi bagi generasi jaman sekarang, yang memiliki panggung khusus bercanda (stand up comedy atau panggung lawak lainnya), apa yang diucapkan bu Mega itu norak, tidak pada tempatnya dan justru menurunkan wibawanya sendiri.

Belum lagi momen yang terkenal sampai saat ini. Saya tidak tahu apakah mereka berdua menyesal karena telah bercanda tidak pada tempatnya. Ketika Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan memberikan nilai kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di acara debat.

Dengan wajah seperti itu, angkatan Papa saya hanya akan tertawa dan berkata “ah, itu kan hanya bercanda”, tapi sekali lagi, angkatan muda yang menilai ini bukanlah panggung standup comedy akan melihatnya sebagai “orang gila yang menembakkan panah api”

Ironisnya, ketika dibalas oleh Gibran pada debat cawapres, angkatan Papa saya justru berkata “itu kurang ajar dan songong”, yang sontak saja oleh Grace Natalie (seusia saya btw) dijawab “apa bedanya? Waktu itu Pak Anies dan Pak Ganjar pun begitu. Beda usianya mirip-mirip tuh, dua puluh tahun”

“Hanya bercanda” yang mereka lakukan terbukti seperti orang gila yang menembakkan panah api. Rakyat memberi nilai rendah pada mereka berdua, hingga dijadikan bahan olok-olokan kaum muda. Ya, menjadi orang gila yang menembakkan panah api, tapi panah apinya tidak kena sasaran lawan malah mengenai dirinya sendiri.

Sejak kecil, jarang sekali ada orang tua yang mengajarkan “berpikirlah sebelum bicara”, sehingga banyak orang yang asal bicara. Ketika kepepet, kemudian menjawab “hanya bercanda”.

Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo mendapatkan hasil dari bercandanya yang kelewatan. Mudah-mudahan kita tidak menjadi generasi yang seperti orang gila menembakkan panah api…

Enosiophobia: antara input, kritik dan cela


Saya dan adik saya suka bergosip, seperti umumnya wanita lain (atau mungkin lebih tepatnya berdiskusi, seperti umumnya saudara lain). Kali ini kami membicarakan sesuatu mengenai ‘benteng’. Bagaimana seseorang mungkin membangun benteng yang indah, tinggi dan tebal dalam dirinya, melindungi kesempitan pikiran yang ada di balik benteng itu.

Bagaimana seseorang yang membangun benteng itu sesungguhnya ingin menyembunyikan gubug reyot yang ada di balik benteng itu. Gubug reyot berisi kebebalan dan pikiran naif.

Anda bingung dengan isi gosip kami? Ya, seiring pertambahan usia kita jadi suka membicarakan sesuatu yang cukup berat, bukan? Setidaknya lebih berat dari masalah si anu patah hati atau si itu yang punya mobil baru.

Orang-orang pembangun benteng membutuhkan benteng-benteng itu agar orang lain tidak mengetahui betapa rapuhnya mereka. Mereka tidak ingin orang lain mengetahui betapa reyotnya bangunan yang ada di dalam.. Karena toh biasanya benteng yang tebal dan tinggi untuk melindungi rumah yang indah dan megah.

Para pembangun benteng takut orang lain menilai dirinya, apalagi mengkritiknya. Sebelum orang lain sempat menilai dirinya, mereka dengan sukacita menceritakan dirinya, biasanya lebih dari yang sebenarnya. Hiperbola adalah nama tengah mereka.

Para pembangun benteng begitu takut hingga mereka tak lagi bisa membedakan masukan, kritik, juga cela. Bagi mereka ketiganya sama saja. Sama-sama merupakan serangan; dan setiap serangan harus dilawan.

Apa Anda bisa membedakan masukan, kritik dan cela. Saya akan memberi contoh untuk membedakannya. Masukan adalah ketika seseorang yang peduli padamu memberitahumu bagaimana agar lebih baik, seperti teori baru mengupas kentang atau teknik bicara di depan umum yang lebih menarik.

Mungkin juga dia memberitahu jika ada sesuatu yang tidak pas seperti dasi yang miring atau akun media sosial yang dibajak.

Kritik adalah ketika seseorang yang peduli padamu mengoreksimu untuk sesuatu yang salah yang telah kau lakukan… Seperti jika kau bicara terlalu kasar atau terlalu cepat… Atau jika kau mengambil keputusan yang salah…

Cela adalah ketika seseorang tak menyukaimu, atau membencimu, atau   iri padamu menjadikan perbuatanmu sebagai alasan untuk membunuh karaktermu. Kebanyakan adalah perbuatanmu yang salah… Tapi mereka yang berniat mencelamu akan selalu memiliki alasan tak peduli apa perbuatanmu. Mereka sesungguhnya tak peduli pada perbuatanmu. Satu-satunya yang mereka pedulikan adalah bagaimana menjatuhkanmu.

Masih ingat si pembangun benteng? Mereka tidak suka ada yang menganggu teritorial mereka yang kecil dan reyot. Mereka menganggap bahwa masukan dan kritik sekecil apapun sebagai cela yang membahayakan. Karena itulah mereka membangun benteng dan memolesnya agar terlihat indah…

Mereka menutupi kebodohan dengan kata-kata nan indah dan mencegah kritik dengan mengatakan bahwa semuanya baik… Menutup telinga terhadap masukan… Dan menjadi pahit karena celaan…

Ada istilah khusus untul orang-orang seperti itu: Enosiophobia, yaitu ketakutan berlebihan akan kritik. Ketakutan ini begitu besar hingga mereka cenderung menghindari relasi yang dekat dengan orang lain yang lebih pintar atau pandai dari dirinya.

Ketakutan ini juga mencakup takut akan mendapat penilaian buruk dari orang lain sehingga ia mati-matian memoles diri, menjaga sikap, melatih kata-kata manis dan memakai topeng.

Ketakutan ini juga mencakup takut jika apa yang mereka lakukan akan menjadi fitnah… Oh ya!! Begitu sering bukan kita mendengar “mencegah fitnah” atau “bisi piomongeun” (takut diomongin orang)

Bukankah saya pernah menulis ini sebelumnya…? Orang-orang Enosiophobia memanggul keledai di pundak mereka karena kuatir penilaian buruk dari orang lain…

Ngomong-ngomong, apa penyebab Fobia ini?  Enosiophobia disebabkan karena beberapa faktor. Faktor paling banyak yang jadi penyebab adalah penolakan sejak anak-anak. Penolakan membuat seseorang takut melakukan kesalahan, dan takut melakukan kesalahan membuat seseorang rentan akan teguran dan kritik.

Faktor berikutnya adalah seringnya dibanding-bandingkan sejak kecil. Benteng dibuat agar tak ada yang tahu seperti apa dirinya sebenarnya… Agar tak ada yang dapat membandingkannya dengan siapapun.

Lalu bagaimana?

Jika Anda mengalami gejala penyakit sosial ini… Ada beberapa tips bagaimana Anda dapat mengobatinya…
1. Terima keadaan dirimu
2. Akui tiap kelalaian atau kesalahan
3. Terima dan hargailah masukan.
4. Pertimbangkan kritik
5. Abaikan celaan
6. Mulailah mengembangkan diri

Bukankah…
“kemenangan tergantung pada penasihat yang banyak?” Amsal 24:6

Jadi tunggu apalagi… Hancurkan dinding itu, perbaiki bagian dalamnya…

Allodoxaphobia


Hari ini kita masih membahas tentang Phobia. Kalau kemarin kita membahas Panophobia dan Taphephobia, hari ini saya kita akan membahas Allodoxaphobia.

Allodoxaphobia adalah takut pada pendapat orang lain. Setiap orang (normal) mengasihi dirinya sendiri melebihi kasihnya kepada orang lain (itulah mengapa Yesus memerintahkan kita untuk mengasihi orang lain SEPERTI kepada diri sendiri).

Seorang normal yang mengasihi dirinya sendiri tidak suka ketika ada orang lain yang tidak mengasihinya atau berpandangan buruk mengenai dirinya. Dalam taraf tertentu yang berlebihan, penyakit psikologis ini dinamakan Allodoxaphobia, yaitu ketika seseorang merasa ketakutan berlebihan akan pendapat orang lain.  Continue reading