Suap, kompromi dan hati nurani


Menjelang pemilu, ada begitu banyak spanduk, stiker dan brosur disebarkan demi kepentingan sebuah kursi dewan. Di media sosial kita melihat begitu banyak spanduk calon legislatif yang aneh-aneh, mulai dari gambar superhero yang dilibatkan sampai slogan yang luar biasa aneh.

Saat ini slogan dari anti politik uang yang begitu banyak digunakan oleh caleg-caleg yang (mengaku) bersih dari politik uang, adalah “ambil uangnya, jangan pilih orangnya”

Budaya suap merupakan budaya yang ada di bangsa kita entah sejak kapan. Karena saya lahir di era orde baru maka saya dapat mengatakan bahwa budaya itu ada sejak era orde baru. Tapi mungkin saja budaya suap sudah ada sejak jaman orde lama, bahkan lebih lama.

Budaya suap sebenarnya sudah ada sejak jaman Musa. Tidak percaya? Mari kita lihat apa yang Tuhan katakan ketika ia meminta Musa mengangkat pemimpin-pemimpin atas bangsa Israel:

“Di samping itu kau carilah dari seluruh bangsa itu orang-orang yang cakap dan takut akan Tuhan, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap; tempatkanlah mereka di antara bangsa itu menjadi pemimpin seribu orang, pemimpin seratus orang, pemimpin lima puluh orang dan pemimpin sepuluh orang”

Suap merupakan sejumlah harta atau benda yang diberikan oleh seseorang kepada orang lainnya agar si penerima mau melakukan keinginan si pemberi. Biasanya suap diberikan oleh yang memiliki kebutuhan terhadap pemilik otoritas (pemimpin).

Suap merupakan hukum rimba bagi mahluk yang bernama manusia. Siapa memiliki uang lebih banyak, dia yang menang.

Para caleg dan calon-calon lain yang merupakan kandidat dalam pemilu biasanya akan menggunakan uang atau harta benda untuk menyuap rakyat, pemilik otoritas dalam pemilu, agar memilihnya.

Walau jaman sekarang aturan mulai diperketat, tapi rupanya di beberapa organisasi maupun golongan, suap masih dapat memuluskan jalan kita menuju kursi yang kita inginkan.

Nah, yang mengganggu saya dari spanduk yang saya bicarakan tadi adalah, jika seseorang menerima uang suap kemudian melakukan apa yang diharapkan pemberi suap, maka dia adalah seseorang dengan harga diri rendah, bahkan sebenarnya dapat dikategorikan kriminal (itulah sebabnya banyak pejabat dipenjara karena menerima suap).

Namun bagaimana jika, si penerima suap ternyata tidak melakukan apa yang diminta si pemberi suap. Apakah ini dapat dikategorikan menerima uang suap? “Terima uangnya, jangan pilih orangnya”

Jika Anda seorang guru, kemudian ada orangtua salah seorang anak menyuap Anda agar Anda membantu anak ini naik kelas dengan cara yang salah. Kemudian Anda menerima uangnya namun tidak melakukan apa-apa, maka sebutan apa yang cocok untuk Anda? Betul! Penipu!

Jadi (menurut saya) spanduk itu sedang mengajak Anda untuk menjadi penipu… Terima uangnya, tapi jangan pilih orangnya…

Kalau Anda, apa yang akan Anda lakukan jika seorang caleg memberi Anda uang? Sebagian dari Anda mungkin berkata “tidak baik menolak rejeki, kalau orangnya baik dipilih, kalau tidak ya ga usah dipilih”

Pertanyaan saya sekarang adalah, apakah yang salah melakukan sesuatu setelah menerima uang atau menerima uangnya? (Semoga Anda paham maksud saya).

Apakah istilah “menerima suap” itu berlaku saat seseorang menerima uang, atau ketika ia melakukan apa yang diharapkan melalui uang itu?

Dulu, Tuhan pernah menetapkan aturan mengenai hak-hak manusia yang disampaikanNya kepada Musa: “Suap janganlah kau terima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar” (Kel 23:8)

Nah, dari tadi kita bicara tentang suap yang berhubungan dengan uang, bagaimana dengan hal ini?

Jika Anda, misalnya, untuk meluruskan urusan pekerjaan yang berkaitan dengan pemerintahan atau organisasi lain diminta untuk mencari wanita penghibur, apakah Anda akan melakukannya?

Jika Anda, misalnya, sebagai karyawan diminta mengutak atik laporan keuangan untuk atasan Anda dengan balasan tiket liburan VVIP, apakah Anda akan melakukannya?

Jika Anda, misalnya, diminta berbohong kepada istri teman Anda mengenai keberadaan teman Anda pada suatu malam, apakah Anda akan melakukannya?

Contoh di atas mungkin tidak dapat sepenuhnya dikategorikan sebagai suap. Tapi saya bisa menyebutnya: KOMPROMI.

Kompromi adalah ketika seseorang, untuk suatu kepentingan, bersedia melakukan sesuatu yang ditentang oleh hati nuraninya. (Saya hanya menitikberatkan pada mereka yang masih memiliki hati nurani).

Hati nurani manusia “on” ketika manusia memakan buah pengetahuan baik dan jahat… Menyebabkan manusia memiliki pilihan untuk melakukan apa yang jahat… (Mungkin sebelumnya mereka bahkan tidak tahu apa definisi “jahat”).

Dalam jaman ini, kompromi hampir dapat dikatakan merupakan syarat agar kita bisa “hidup lancar”. Ketika Anda ditilang polisi, hal termudah yang dapat dilakukan adalah memberi “uang damai” daripada ikut sidang. Anda ingin membuat SIM namun tidak mau antri atau ikut ujian? Lebih mudah menggunakan “orang dalam” agar semua urusan mulus.

Anda didenda satu juta karena membeli di PKL? Lebih mudah memberi 200 ribu kepada petugas satpol PP.

Kesempatan suap dan kompromi begitu banyak disekeliling kita, apalagi di negara seperti Indonesia di jaman sekarang ini.

Sebagai Anak-anak Tuhan, kita memiliki pilihan yang begitu sulit… Mengikuti aturan dengan keringat dan air mata, atau menggunakan uang atau kedudukan kita untuk mempermudah seluruh urusan?

-Sebab itu, kiranya kamu diliputi oleh rasa takut kepada TUHAN. Bertindaklah dengan seksama, karena berlaku curang, memihak ataupun menerima suap tidak ada pada TUHAN kita- 2 Tawarikh 19:7