Beberapa hari belakangan, Media Sosial dihebohkan dengan surat terbuka seorang wanita bernama Tasniem Fauzia Rais, anak seorang politikus bernama Amien Rais.
Tulisan saya kali ini tidak ditujukan untuk membalas surat terbukanya (yang sudah dibuat secara luar biasa oleh Mbak Dian Paramita), juga tidak untuk mencaci maki Tasniem, walau saya sama sekali tidak setuju dengan apa yang ditulisnya.
Mundur ke belakang kita mengetahui dari pelajaran sekolah bahwa Lembaga tertinggi di Negara Pancasila ini adalah MPR, dan bahwa Amien Rais pernah duduk sebagai ketuanya. Sebagai seorang puteri dari Ketua Lembaga tertinggi negara, saya membayangkan bahwa Fauzia muda memiliki rasa bangga luar biasa akan jabatan ayahnya ini, walau dibungkus dengan baik dalam kostum yang bersahaja seperti kata Dian Paramita dalam tulisannya.
Saya sendiri adalah anak perempuan dari seorang ayah. Saya rasa setiap anak perempuan memiliki kebanggaan luar biasa atas ayahnya… Menganggap ayahnya setingkat di bawah Tuhan dan mengamini setiap perkataan dan keputusan ayahnya.
Jika kita mencermati, tulisan Tasniem dibuat tidak lama setelah Sang Ayah menjadi buah bibir karena tidak juga bersiap-siap untuk berjalan kaki bolak balik Jakarta-Jogjakarta,
Anak perempuan manapun akan panas telinganya jika orang-orang mencaci ayahnya di Media Sosial, sementara hatinya menyayangkan omong besar ayahnya mengenai jalan kaki PP Jakarta-Jogjakarta. Ini sebuah siksaan luar biasa untuk anak perempuan… Sementara logikamu mengakui ayahmu salah, tapi hatimu tak tega untuk menegurnya…
Tasniem Fauzia mungkin berpikir, bagaimana caranya agar kesalahan yang terlalu berat ini tidak ditanggung ayahnya sendirian… Bagaimana caranya membalikkan keadaan ini dan membenarkan sikap Sang Ayah yang plin plan dan mendukung kubu Prabowo yang dulu ditentangnya.
Maka, keputusanpun dibuat… Mungkin dengan mata yang kabur oleh air mata, atau jantung yang berdegup kencang, atau jari-jari yang gemetaran, Tasniem mengetik surat terbuka yang (seharusnya) disesalinya kemudian.
Alih-alih menjadi pahlawan bagi Sang Ayah, dirinya justru menjerumuskan sang ayah ke dalam lubang yang lebih dalam lagi… Hampir di seluruh surat balasan untuk Tasniem, nama Amien Rais semakin memburuk.
Sikap Tasniem ini membuat saya merenung dan menyimpulkan bahwa bangsa ini memang membutuhkan Revolusi Mental. Kecenderungan masyarakat bangsa ini adalah melihat ke bawah dan menendangi orang yang ada di bawahnya, atau melihat ke atas dan menarik orang di atas untuk turun, persis sama seperti permainan panjat pinang yang marak setiap Tujuh Belas Agustusan.
Mungkin hanya di Indonesia alasan bersyukur adalah melihat orang lain yang berada dalam kondisi tidak beruntung, kemudian duduk lagi topang kaki sambil berpikir “untung aku tidak seperti dia”
Mungkin hanya di Indonesia orang-orang yang berada di bawah melihat ke atas untuk menjatuhkan orang yang berada di atas agar bisa sejajar atau bahkan lebih rendah dari dirinya… Dan bukannya dengan besar hati mengakui dan bertekad mengejar ketertinggalan.
Mungkin hanya di Indonesia orang-orang yang berada di atas melihat ke bawah dengan khawatir kemudian mulai menendangi orang-orang yang hampir menyusulnya, bukannya fokus untuk naik lebih tinggi.
Surat Tasniem membuktikannya, bukannya berbesar hati menerima bahwa kubunya memiliki banyak kekurangan, ia malah fokus mencari kelemahan orang lain… Bukannya mencari hal positif kubunya, ia malah fokus menjatuhkan lawannya…
Membaca surat Tasniem, hati saya hancur… Inikah mentalitas bangsa Indonesia yang begitu saya cintai… Ah Mbak Tasniem… Bukankah jika ayah Anda salah sebaiknya Anda diam saja daripada memperkeruh suasana?
Namun saya kembali besar hati melihat banyaknya surat balasan untuk Tasniem… Saya pun kembali optimis melihat begitu banyak kreativitas diciptakan untuk kubu yang diserang Tasniem…
Saya ingat Amien Rais pernah berkata bahwa Pemilu kali ini seperti Perang Badar… Ah, Pak Amien… Rupanya Anda dan puteri Anda merupakan pihak-pihak yang ingin Perang tersebut benar-benar terjadi…
Ya, rupanya apa yang dikatakan Pak Amien Rais benar-benar terjadi… Perang Badar sudah terjadi… Ketika kubu penuh fitnah melawan kubu penuh kreativitas… Seperti kisah dari negeri dongeng ketika penyihir jahat berupaya melawan para peri yang senang bernyanyi…
Saya optimis akan bangsa ini… Jika memang Tuhan yang mengawal kota, dan Tuhan yang memilih pemimpin… Maka saya berdoa agar kebenaran membuktikan kemenangannya…
#salamduajari!