Logika, Fakta, Data dan Hati Nurani


Debat capres kemarin meninggalkan banyak jejak si media sosial. Mulai dari komentar iseng para awam yang merasa tidak mengerti sepatah katapun yang diucapkan para capres, orang setengah pintar yang merasa pintar, dan tanggapan para ahli dari kedua kubu yang berusaha menjatuhkan kubu lawan.

Komentar-komentar yang berseliweran di media sosial menegaskan satu hal pada kita: sesuatu yang sama bisa dilihat dari banyak sudut pandang tergantung dimana kita berdiri…

Saya beri contoh… Ketika ditanya soal kemiskinan dan pengangguran, capres no urut 2 menjawabnya dengan dua poin penting: 1. Pembangunan di bidang pendidikan dan kesehatan untuk rakyat miskin melalui Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Indonesia Sehat (yang sepertinya merupakan nilai jual capres ini) dan 2. Pengatasan pengangguran dengan investasi bisnis di daerah yang dapat menyerap banyak tenaga kerja…

Sementara capres no urut 1 menjawab soal tersebut dengan : 1.Pemberian dana minimal 1 miliar untuk tiap desa dan 2. Memajukan sektor pertanian dimana satu petak sawah dapat menyerap 6 tenaga kerja…

Bagi saya pendukung Jokowi, saya akan menutup mata terhadap jawaban Jokowi, menganggapnya cerdas dan sempurna (ya, sejujurnya saya memang merasa jawaban-jawaban Jokowi cerdas)… Dan kemudian mengkritisi jawaban Prabowo dengan:
1. Satu Miliar per desa itu udah ada UUnya pak…
2. Memangnya lu pikir jaman sekarang orang masih mau jadi petani yang manual… Teknologi dooong…

Namun pendukung Prabowo yang saya tahu mengkritisi jawaban Jokowi dengan “jawaban ngga nyambung” dan “kan sudah ada BPJS”.

Selanjutnya kita pun mulai memilah-milah berita yang kita baca atau dengar… Kita membaca dan mendengar apa yang kita ingin baca, capres yang menjadi pilihan kita…

Mengamati fenomena yang terjadi jelang pemilu presiden, saya menyimpulkan bangsa ini memiliki dua buah kecenderungan:
1. Fanatisme buta… Dalam segala bidang bangsa ini dibutakan dengan fanatisme buta yang mengendalikan sikap dan tindakan mereka hingga pada akhirnya melupakan tokoh yang seharusnya mereka puja. Lihat saja FPI… Kita hampir melupakan sebenarnya apa atau siapa yang mereka bela mati-matian hingga rela melakukan tindakan anarkis… Apakah mereka fanatik terhadap Tuhan, agama, habib mereka, atau sorban dan cara mereka berpakaian.

Beberapa pendukung calon presiden pun melakukan hal bodoh yang tidak rasional ketika mendukung capres pilihan mereka. Back campaign adalah salah satu contoh bagaimana bangsa ini memiliki fanatisme buta…

2. Mudah terpancing, tapi mengabaikan logika, fakta, data
Hal yang menggelikan dalam debat capres kemarin adalah ketika Prabowo ditanya soal TPID (saya tidak sedang fanatisme buta, lho). Ketika dengan wajah dingin Jokowi bertanya “apa pendapat Bapak mengenai TPID”, begitu banyak orang mengatakan bahwa Jokowi melakukan hal yang culas karena terus menerus menggunakan singkatan ketika bertanya kepada Prabowo… Dan persepsi pun terbentuk, termasuk persepsi mengenai kerendahan hati Prabowo yang bersedia mengakui bahwa dia tidak tahu.

Selanjutnya, ketika Prabowo baru tahu bahwa singkatan TPID adalah Tim Pengendali Inflasi Daerah, dan dengan serta merta menggunakan logikanya menjawab bahwa itu urusan pemerintah daerah…para pendukungnya segera terpancing mengata-ngatai Jokowi lebih cocok jadi kepala daerah daripada presiden…seolah-olah mengamini jawaban Prabowo bahwa TPID memang urusan kepala daerah.

Kenyataannya? 1. Prabowo mengaku tidak tahu singkatan TPID; 2. Setelah tahu singkatan TPID pun ternyata Prabowo tetap tidak paham apa itu TPID dengan memberikan jawaban sekedarnya

Kenyataannya tingkat inflasi daerah seharusnya dikendalikan oleh pemerintah pusat… Dan anggota TPID salah satunya adalah dari kementrian yang merupakan bawahan Presiden.

Anggaplah Jokowi tidak bertanya menggunakan singkatan, namun “apa pendapat bapak Prabowo soal Tim Pengendali Inflasi Daerah”, maka jawaban Prabowo tetaplah salah,  dan dengan santun Jokowi menghentikan pertanyaannya dan tidak mencecar habis Prabowo….

Mudah terpancing, namun mengabaikan data, fakta dan terutama logika.

image

Kembali ke topik yang saya usung, sebagai orang Indonesia kita cenderung mendengar apa yang kita ingin dengar dan membaca yang kita ingin baca… Kemudian menutup logika, menutup mata dan telinga terhadap fakta yang ada di lapangan kemudian berteriak mengatakan “pilih dengan hati nurani”

image

Saya setuju dengan urusan hati nurani ini, tapi saya lebih setuju penggunaan fakta, logika dan data… Salah satunya saya setuju dengan “memilih Presiden yang tidak punya beban masa lalu, tidak punya beban utang yang begitu besar dan tidak berkoalisi dengan mereka yang juga memiliki beban utang”

Tahun ini adalah tahun perubahan untuk bangsa kita tercinta… Jangan ikuti fanatisme buta, gunakan logika, gali fakta dan data di lapangan, pilih dengan bijak… Untuk Indonesia yang membanggakan dan lebih baik.