Aku adalah domba terhilang
Tidak tahu kapan aku mulai tersesat
Yang ku tahu tiba-tiba aku tidak lagi bersama kerumunanku
Aku berusaha mencari jalan menuju gembalaku
Kembali ke kerumunanku
Kembali ke kandangku
Bersama teman-temanku
Tapi aku tak bisa
Semakin aku berusaha
Semakin jauh aku tersesat
Aku benar-benar tak sanggup
Semakin aku mencari
Semakin aku tak tahu aku ada di mana
Aku menanti gembalaku
Tak kunjung datang
Apakah dia sadar kalau aku hilang
Apakah dia sadar kalau satu dombanya tak di tempat
Kalau dipikir-pikir
Dombanya begitu banyak
Akankah dia mau mencariku?
Satu diantara seribu?
Aku adalah domba terhilang
Begitu rapuh
Begitu bodoh
Aku benar-benar tidak tahu jalan pulang
Sekali waktu aku menemukan kerumunan lain
Aku harap gembala di sana mau menerima domba hilang sepertiku
Tapi kakiku luka
Dan tubuhku lecet-lecet
Aku hanya akan merepotkan katanya
Dan dia melepasku lagi
Aku adalah domba terhilang
Seringkali aku berada di tempat yang tak aman
Sekali waktu aku terperangkap di semak-semak
Hampir saja serigala menemukan aku
Untunglah aku berhasil melarikan diri
Saat ini aku ada di lubang
Begitu gelap
Begitu dingin
Aku tak tahu sampai kapan
Apakah aku akan mati di sini
Atau…
Apakah gembalaku akan mencari…
dan menemukan aku?
Catatan penulis:
Saya selalu suka lukisan domba yang hilang. Ketika Sang Gembala berpegangan di pinggir jurang, berusaha menyelamatkan dombanya. Bukan tempat yang mudah untuk didatangi, pinggir jurang.. Di lukisan itu bahkan digambarkan Sang Gembala menuruni jurang sementara ada Elang yang siap memangsa.
Ketika kita berbicara tentang domba yang terhilang, seringkali kita mengaitkannya dengan jiwa-jiwa yang tidak mengenal Tuhan, jiwa-jiwa yang hidup dalam kegelapan.
Dua hari yang lalu seorang teman mengajak saya untuk mengunjungi sebuah tempat minum bir di kota Bandung. Sebagian Anda yang membaca ini mungkin akan mengernyitkan hidung atau memicingkan mata dan berkata “WHAT? Itu tempat penuh dosa!!”.
Sebagian kita, khususnya umat Kristen, akan berkata demikian. Suatu tempat gemerlap buka di malam hari tentulah tempat penuh dosa. Sayangnya tempat yang saya kunjungi bukan tempat seperti itu (walaupun suatu saat mungkin saya akan tertarik juga melihat ‘tempat penuh dosa’ dengan huruf DOSA besar).
Itu adalah tempat minum bir biasa, di mana orang-orang yang minum di dalamnya kebanyakan datang untuk berkumpul dan santai…dan bukan untuk mabuk.
Anda mungkin bertanya untuk apa saya pergi ke sana. Teman saya berkata di sana ada sebuah band rohani yang suka memainkan musik. Mereka anak muda yang memiliki “gaya” yang rapi…Saya jadi berpikir…’band rohani bermain di tempat minum beer yang buka di malam hari hingga subuh?’. Band ini tidak memainkan lagu rohani… lagu biasa yang dimainkannya. Tapi sikap mereka dapat disamakan dengan gambar gembala yang menuruni jurang itu.
Di sana saya berpikir, ketika kita ingin menyelamatkan domba terhilang,…bukankah seharusnya kita pergi ke tempat di mana domba itu tersesat. Kenapa kebanyakan gembala sekarang menunggu domba hilang untuk pulang sendiri. Atau ketika ada dombanya yang hilang banyak gembala berkata “well, itu pilihannya…bukankah Tuhan memberikan kita pilihan bebas?”
Tapi tidak seperti itu lukisan yang sering saya lihat dari kecil. Di lukisan itu Sang Gembala menuruni jurang untuk mengambil dombanya yang tersesat. Bukankah tempat yang paling mungkin untuk menemukan domba terhilang adalah jurang dan lembah? Dan di lukisan itu Gembala itu menanggung begitu banyak resiko. Resiko jatuh, dan resiko Elang yang siap memangsa domba dan menjatuhkan Sang Gembala.
Mungkin lukisan itu akan sama maknanya dengan lukisan di mana Yesus bicara dengan pemungut cukai dan pelacur….
Jika Yesus saja rela menuruni jurang dan mengambil domba yang hilang… Kenapa kita masih duduk santai dan menunggu domba yang hilang kembali dengan sendirinya? Domba itu mungkin saja kembali, tapi mungkin saja menjadi santapan Elang atau serigala.
Mudah-mudahan ini menjadi perenungan untuk kita semua…
Selamat bertugas para gembala. Tuhan memberkati!