Beberapa minggu yang lalu saya diundang untuk membawakan Firman di ibadah remaja salah satu gereja di kota Bandung. Tidak banyak jemaatnya, tapi kita semua sepakat jumlah bukanlah masalah ketika kita melayani jiwa, bukan begitu?
Sepertinya pembina remaja saat itu semuanya berhalangan, sehingga ditunjuk salah satu anak remaja yang biasa bermain musik di ibadah itu untuk memimpin pujian. Saat tidak ada gembala, domba kocar kacir… Hal itu yang saya lihat di ibadah remaja saat itu. Pemimpin pujian memimpin sekenanya, seolah menyembah hanyalah rangkaian “menyanyikan-3-buah-lagu” dan ibadah hanyalah “rutinitas-yang-harus-dilalui-begitu-saja”.
Saya cukup shock dengan keadaan saat itu dan entah mengapa Firman Tuhan yang saya siapkan begitu sesuai. Saya membawakan tentang kisah Tabut Perjanjian yang melambangkan kehadiran Tuhan. Saya memulainya dengan ketika orang Filistin merampok Tabut Perjanjian itu karena berpikir bahwa Tabut itu adalah jimat keberuntungan orang Israel. Betapa Tuhan ingin kehadiran-Nya dihargai dan menghukum siapapun yang tidak menghargainya.
Tabut itu sempat ‘singgah’ di kuil Dagon dan Tuhan menghancurkan patung Dagon, hingga terlihat patung itu seperti sujud di depan Tabut Perjanjian. Tidak hanya itu, Tuhan menghukum orang Filistin dengan hebat. Tabut itu dipindahkan ke tiga kota, dan Tuhan menghukum orang Filistin yang berada di manapun Tabut itu berada.
Saya bertanya pada anak-anak remaja itu. Seandainya,… sekali lagi, seandainya… Tabut Perjanjian yang melambangkan kehadiran Tuhan itu ada di hadapanmu saat ini, apakah kalian pikir kalian akan selamat?
Sebagian besar menjawab “tidak” dan ada yang menjawab bahwa mereka pastilah akan mati. Saya mengasumsikan mereka mengerti arah pembicaraan saya.
Saat ini Tuhan tidak hadir dengan wujud Tabut Perjanjian yang ditaruh di ruang Maha Kudus. Tirai itu sudah terbelah dan siapapun yang percaya bisa menghadap hadirat-Nya. Namun pertanyaannya sikap seperti apa yang kita tunjukkan saat kita menghadap kepada-Nya?
Apakah Tuhan sudah melunak saat ini sehingga kita bisa bersikap seenaknya saat menyembah Dia? Apakah Dia sudah turun pangkat sehingga kita bisa seenaknya memandang kehadiran-Nya? Apakah Dia sudah ‘bukan siapa-siapa’ sehingga kehadiran-Nya dalam ibadah kita tidak diperhitungkan??
Saya pernah menghadiri salah satu “gereja modern” di kota Bandung. Jika gereja ini digambarkan sebagai aliran musik, maka gereja ini adalah hip hop. Pemimpin pujiannya memakai topi dan salah satu singer mengenakan kaos oblong butut di dalam dan kemeja longgar di luar sementara singer lain menggunakan celana monyet. Saya tidak mengerti apakah dia memang tidak memiliki pakaian lagi di rumah, tapi saya percaya ada banyak pilihan lain untuk berpakaian sopan ketika Anda sedang menjadi “imam pujian” (bahasa yang dipakai oleh salah satu sinode besar di negara ini yang sangat saya sukai).
Hey dude, apakah jika Anda diundang Presiden Jokowi untuk makan di rumahnya Anda akan berpakaian seperti itu sementara Pak Presiden dengan rapi mengenakan batik untuk menemui Anda? Apakah istilah “mengekspresikan diri” bisa digunakan untuk kondisi semacam ini? Ketika melepas topi adalah cara untuk menunjukkan hormat, mengapa Anda mengenakannya di mimbar? Apakah Anda sehat?
Kembali ke masalah Tabut Perjanjian (oh ya, yang bercetak biru tidak saya Firmankan ke anak-anak remaja itu…hehe..). Orang Filistin kemudian mengembalikan Tabut Perjanjian, dengan dinaikkan ke atas lembu dan sesembahan berupa tikus dan benjol-benjol emas (I Samuel 6:17-18), mereka mengembalikan tabut itu. Lembu yang mereka gunakan berjalan dan tidak berbelok hingga tiba di sebuah daerah bernama Bet Semes. Orang-orang Bet Semes melihat Tabut itu dan senang bukan kepalang.
Tidak disebutkan apakah mereka senang karena berpikir bahwa kehadiran Tuhan sudah kembali atau hanya senang saja. Saya kira mereka ‘hanya senang saja’ tanpa mengerti makna dari kehadiran Tuhan. Buktinya, setelah memberikan korban persembahan untuk Tuhan, beberapa orang Bet Semes melongok-longok ke dalam Tabut Perjanjian, sebuah sikap yang tidak sopan dan seharusnya tidak dilakukan di saat itu. Akibatnya, Tuhan memukul orang Bet Semes dan 70 orang mati saat itu.
Orang Bet Semes kemudian menjadi takut, “Siapa yang tahan berdiri di hadapan Tuhan” kata mereka, dan mereka mengirim utusan pada penduduk Kiryat Yearim untuk mengambil tabut itu, seolah kehadiran Tuhan adalah masalah bagi mereka.
Beberapa dari Anda mungkin bersyukur kita hidup di jaman kasih karunia. Di mana Tuhan tidak lagi menghukum dengan cara yang ekstrim. Saya ingin bertanya sekali lagi. Apakah Tuhan sudah melunak sehingga saat ini kita bisa bermain-main dengan kehadiran-Nya? Apakah Dia sudah turun pangkat sehingga kita bisa seenaknya memandang kehadiran-Nya? Apakah Dia sudah ‘bukan siapa-siapa’ sehingga kehadiran-Nya dalam ibadah kita tidak diperhitungkan??
Ya, kita seringkali main-main dengan kehadiran-Nya seperti orang Bet Semes yang walaupun terlihat senang dengan kehadiran Tabut Perjanjian tapi tidak bersikap sepatutnya. Seperti orang Bet Semes yang baru saja memberi persembahan untuk Tuhan tapi berlaku tidak semestinya dengan kehadiran Tuhan sesudahnya.
Selanjutnya Tabut Perjanjian itu disimpan di Rumah Abinadab dan dijaga oleh Eleazar yang dikuduskan untuk menjaga tabut Tuhan itu.
Selama dua puluh tahun tabut itu dilupakan oleh orang Israel. Saul menjadi raja dan sama sekali tidak ada niatnya untuk membawa Tabut itu hingga Daud diangkat menggantikan dia. Daud menjadi raja saat umur 30 tahun. Tentunya dia mendengar kisah mengenai tabut yang disimpan di rumah Abinadab saat ia berusia 10 tahun.
Tentu Daud merasa sudah waktunya ‘kejayaan Israel’ dikembalikan. Lambang kehadiran Tuhan seharusnya kembali ke tengah-tengah orang Israel. Saya sudah pernah membahas kisah Daud itu. Anda dapat membacanya di sini.
Daud mengenakan pakaian kebesarannya, menggunakan kereta dengan lembu seperti yang dilakukan oleh orang Filistin, menaikkan tabut ke atas kereta itu dan mulai menari-nari. Saya tidak mengerti apakah Daud lupa membaca Taurat yang mengatur bagaimana seharusnya Tabut itu dibawa atau dia berpikir bahwa dirinya sangat berkuasa hingga Tuhan dinaikannya di dalam keretanya?
Hasilnya, Anda bisa membacanya di II Samuel 6, Lembu-lembu itu hampir tergelincir dan Uza, anak Abinadab yang lain mencoba ‘menyelamatkan’ tabut itu,…dipukul Tuhan sampai mati.
Daud begitu terpukul dengan kejadian itu, hingga dia meninggalkan tabut itu di rumah Obed Edom sampai kemudian dia mendengar bahwa Obed Edom diberkati secara luar biasa dan kemudian Daud mempelajari lagi tentang Tabut itu.
Kali kedua Daud menanggalkan jubah kebesarannya, dikenakannya Efod dan dia menari-nari di depan tabut yang diusung di atas bahu orang Lewi. Tiap enam langkah, Daud mempersembahkan korban pada Tuhan, seekor lembu dan seekor anak lembu gemukan.
Kepada anak-anak remaja itu saya berkata, kemajuan teknologi membuat kita merasa bahwa kehadiran Tuhan perlu dinaikkan ke atas kereta lembu di mana kita menari-nari dengan baju kebesaran kita. Kereta lembu itu makin lama menjadi semakin modern. Awalnya kita bisa menyembah Tuhan dengan sungguh-sungguh, hingga kemudian ditambahkan alat musik dan kita berpikir bahwa hanya dengan alat musik itu kita bisa menyembah Tuhan. Ketika musik itu tidak ada, maka sulit sekali menyembah Tuhan.
Lalu ditambahkan lagi sound system yang dikendalikan oleh seorang soundman hebat. Kemudian kita berpikir tanpa alat musik dan sound system maka tentulah kita tidak bisa menyembah Tuhan. Dekorasi kereta lembu ini terus kita lengkapi. Kita naikkan kehadiran Tuhan di atas kereta lembu.
Misi hanyalah omong kosong ketika kita bisa menari dengan jubah kebesaran kita. Seorang raja yang sanggup menghadirkan kehadiran Tuhan di atas kereta lembu seperti penyanyi yang merasa hebat karena pikirnya jemaat merasakan kehadiran Tuhan karena suara merdunya dan lenggak lenggoknya. Seperti pendeta yang merasa hebat karena pikirnya kehadiran Tuhan bisa direkayasa dengan seluruh kecanggihan teknologi. Seperti pemuka agama yang merasa bisa merekayasa kehadiran Tuhan dengan kemampuan bicaranya yang kaya dan penuh intonasi.
Kita merasa “terlalu berat memanggul tabut itu di atas bahu…”, menjadi terang untuk dunia tidak mungkin, lebih ringan jika terang itu ditaruh di bawah gantang, minimal mikroba atau kutu busuk di bawah gantang akan merasakan sinarnya.
Saya katakan kepada remaja-remaja itu. Tuhan hadir dalam penyembahan umat-Nya dan penyembahan itu tidak ada di atas kereta lembu, tapi penyembahan itu ada di atas bahu kita. Tuhan tidak peduli dengan gedung yang hebat walaupun manusia peduli. Tuhan tidak peduli dengan sound system dan tata cahaya walaupun manusia peduli. Tuhan tidak peduli dengan karpet dan rundown, walaupun manusia peduli. Ingatlah, lembu-lembu itu bisa tergelincir, menjatuhkan tabut Tuhan yang ada di atasnya.
Dunia melihat kita, dunia memperhatikan kita. Jika kita menggantungkan kehadiran Tuhan di atas ‘kereta lembu’ maka ketika kereta itu tergelincir, dan kita berusaha ‘menyelamatkannya’, mungkin saat itu sudah terlambat…
Tuhan yang menginginkan penghormatan di jaman Daud, yang ingin kehadirannya dihargai… bukankah Dia Tuhan yang sama dengan yang kita percayai saat ini?