MENJADI PUSAT PERHATIAN


Setiap orang butuh perhatian, khususnya anak remaja. Hanya saja tiap orang memiliki persepsi berbeda tentang apa yang patut dijadikan obyek perhatian dari dirinya.
Sebagian menganggap wajah yang cantik adalah obyek yang tepat untuk perhatian orang lain. Sebagian lagi sifat yang baik, otak yang encer, gaya berpakaian, kedudukan orang tua dan banyak lagi, tergantung dari apa yang dianggap penting oleh orang tua mereka, sejak mereka kecil.

Bagi remaja, menjadi pusat perhatian adalah segalanya, dan mereka yang gagal mendapatkannya hanyalah pecundang yang tempatnya di pojokan, tak terlihat.

Seorang remaja di sebuah kota paling timur di Pulau Jawa berhasil mendapatkan perhatian seluruh negeri. Seorang penulis tanpa kertas dan pulpen, seorang pujangga tanpa selera seni dianggap sastrawan dalam sekejap karena tulisannya yang brilian di media sosial.

Sebuah tulisan yang menyuarakan hati rakyat yang sudah muak dengan eksploitasi agama untuk kepentingan politik dan eneg dengan kebanggaan semu sebagian ‘mayoritas’ akan kepemilikan surga.

Si remaja membuat kagum banyak orang, mulai dari rakyat awam hingga penguasa negeri. Diundang ke istana dan tampil di Mata Najwa mungkin adalah prestasi terbesarnya. 

Dia pun mungkin tak mengira, kekagumannya akan sebuah tulisan yang kemudian dimuatnya di media sosial pribadinya akan membawanya setinggi itu. Dia hanya remaja yang suka puja-puji dan tersanjung dengan banyaknya like di media sosial.

Dia hanya remaja yang belum sanggup berpikir panjang selain dirinya adalah yang terpenting di semesta ini. Remaja yang walaupun tahu apa yang salah tapi memilih tetap melakukannya karena kenaifannya.

Sorotan lampu media dan jepretan kamera membuatnya merasa jenius. Sudah terlambat untuk mengakui semuanya. Dalam pemikiran remajanya, “apa salahnya menjadi pusat perhatian sesekali.”

Hingga kenyataan menghempasnya dari tempat tingginya, dan lampu sorot padam seketika, meninggalkannya di sudut gelap menjadi mangsa kucing-kucing usil yang nyinyir. Tapi itulah kehidupan di kampung abstrak yang penduduknya bernama Netizen

Dengan sisa-sisa keinginannya untuk menjadi pusat perhatian, sekali lagi ia mencari di sumber kreativitas andalannya, media sosial. Masukan kata kunci “remaja, bully, curhat, bunuh diri” dan ia menemukan sesuatu untuk diikuti.

Si remaja begitu depresi, “biarlah aku menjadi pusat peratian sekali lagi, walau bukan menjadi remaja jenius tak apalah. Mereka harus tahu aku depresi”

Menjadi pusat perhatian adalah impian setiap remaja, orang tua yang mengasah pikiran tentang itu sejak kecil, bak mengasah anak panah yang akan ditembakkan ke sasaran. Orang tua yang menentukan sasarannya, apakah kecantikan, kepintaran, uang atau kebaikan hati.

Tak salah menjadi pusat perhatian, bahkan Tuhan pun memerintahkan kita menjadi pusat perhatian. Bukankah kota terletak di atas bukit tidak mungkin tersembunyi?