Yesus itu orang benar… pengikutnya banyak. Dia bahkan bisa membuat mujizat, mulai dari menyembuhkan orang sampai memberi makan ribuan orang. Urusan perut dipikirkannya, demikian juga akhlak bahkan keselamatan jiwa.
Dia mengajarkan pengikutnya apa yang benar, mulai dari mengampuni hingga mengasihi musuh. Mulai dari mengasihi Tuhan hingga melayani sesama. Tak ada ajaran-Nya yang salah dan bertentangan dengan kemanusiaan.
Ia bisa juga bersikap keras ketika berhadapan dengan orang Farisi, mereka yang suka korupsi untuk Rumah Tuhan, mereka yang suka bawa-bawa agama untuk menutupi kelakuan busuk.
“Hai kamu keturunan ular beludak” katanya,… “Kamu seperti kuburan yang dicat putih”
Alhasil para Farisi itu makin keki, dicarinya ide untuk menjatuhkan Dia. Pernah sekali waktu mereka bertanya untuk menjebak Dia, “menurut-Mu, wajibkah bayar pajak pada kaisar?”. Berharap menempatkan-Nya dalam dilema. Jika Dia berkata wajib, maka kepercayaan umat akan surut, karena artinya Dia berpihak pada penjajah asing (belum ada aseng). Jika Dia menjawab tak wajib, maka penjajah itu yang akan menganggap Dia siap memimpin pemberontakan karena menghasut warga untuk tak bayar pajak.
Namun bagaimana mungkin ciptaan bermain-main dengan pencipta. Bagaimana mungkin si sok pintar coba-coba dengan sumber hikmat. “Bawakan padaku sebuah koin…. gambar siapa yang ada di sana?”, dijawab “gambar kaisar”
Sebuah logika sederhana dari si Sumber Hikmat, “kalau ada gambar Kaisar artinya milik kaisar. Berikan pada Kaisar apa yang menjadi haknya” kata-Nya, “dan pada Tuhan apa yang menjadi milik-Nya”
Sulit sekali mendapat kesalahan Yesus ini. Jebakan demi jebakan diberikan, namun pengikut-Nya makin banyak saja. Orang-orang yang mengikuti-Nya kemana-mana. Membahayakan pemasukan Sinagoge. Orang lebih percaya pada-Nya dibanding Farisi dan Saduki.
Akhirnya kesempatan yang dicari tiba. Seorang murid yang kecewa karena Yesus ternyata bukan pemimpin pemberontakan memutuskan untuk menyerahkan Dia. Dakwaan gimana nanti, yang penting tangkap dulu. Karena alasan kan bisa dicari.
Entah darimana datangnya para pendemo itu. Mungkin juga beberapa adalah massa bayaran. Di antaranya mungkin ada juga yang labil, mengikuti ke mana mayoritas berpihak.
“Aku tak bisa menemukan kesalahan” kata Pilatus, si pembuat keputusan.
“Salibkan Dia, Salibkan Dia”
“Aku kasih pilihan deh, mana yang mau kamu bebaskan…. Barabas, si perompak dan pembunuh atau Yesus, orang benar”
“Bebaskan Barabas, salibkan Yesus”
Oh, iya benar… mereka lebih suka membebaskan penjahat daripada orang benar. Tak ada yang suka jika kesalahannya ditunjukkan padanya. Kebenaran itu pahit, kawan!
Mereka lebih suka bersama dengan orang jahat, setidaknya orag jahat tak pernah mengusik nurani mereka yang gemar melakukan korupsi dan kejahatan. Tapi Orang Benar ini… kebenaran-Nya membuat kejahatan tampak semakin buruk.
Nurani Pilatus melonjak, namun tekanan massa begitu besar, “Dia orang benar, aku ini hakim… masakan aku menghukum orang benar… tapi tekanan massa ini”
Jalan satu-satunya adalah melakukan sebuah upacara simbolis, mencuci tangan “aku ga ada hubungannya dengan ini… silahkan perbuat pada-Nya apa yang kau mau… aku tak bertanggungjawab”
Pendemo berteriak makin keras “Salibkan Dia… biar dosanya kami yang tanggung”
Perkara dosa mendosakan, kafir mengkafirkan sejak dahulu memang sudah menjadi trend untuk menjatuhkan hukuman tak adil pada Orang Benar.
Kemana pengikut-Nya? Sebagian kabur, sebagian menangis meratap, ada juga yang menyangkalinya. Terlalu takut untuk berdiri di sisi kebenaran, saat kejahatan menguasai keadaan.
Namun kematian Yesus adalah bagian dari suatu rencana agung. Salah satunya menunjukkan pada kita, bahwa Dia sudah mengalami semua hukuman, supaya kita tak perlu lagi menanggung hukuman.
Juga menunjukkan, bahwa jika Orang Benar saja mengalami siksa demikian rupa karena melakukan apa yang benar, terlebih kita orang berdosa saat melakukan kebenaran…memiliki hater itu biasa!
Juga menunjukkan bahwa menjadi pengikut-Nya artinya tetap melakukan apa yang benar, sekalipun semua orang melakukan sebaliknya. Tidak melakukan apa yang salah, sekalipun semua orang melakukannya.
Ia menunjukkan bahwa menjadi martir bukanlah mereka yang mati karena korban dari keadaan, tapi mereka yang menjunjung kebenaran. Bukan untuk membela Tuhan, tapi mempertahankan iman.
Betapa ajaib saat menyadari, ternyata agama masih dijadikan alasan untuk menbenci, di jaman sekarang… melihat bahwa justru banyak kejahatan dilakukan oleh mereka yang berjubah agama.
Ternyata setelah dua ribuan tahun… kebenaran masih dibenci oleh mereka yang terlihat gelap karenanya.
Jubah berganti, agama bertambah, tapi manusia, tetap mahluk ciptaan yang membutuhkan bantuan Pencipta untuk mendapat keselamatan kekal…