Saya akan membuka tulisan ini dengan sebuah cerita. Anggap saja (ingat ya… ini hanya anggapan, jangan terlalu diambil hati) tentang saya yang sangat terpengaruh dengan buku bacaan bahasa Indonesia saat kelas 1 SD. Saya suka membaca buku bahasa Indonesia sejak sangat kecil. Saya suka membaca ini Budi, ini Ayah Budi, ini Ibu Budi. Saya bahkan ingat kalau nama kakak Budi adalah Wati dan adiknya bernama Iwan. Walau tidak pernah keluar di ujian sekolah, saya bahkan bisa menjawab pertanyaan itu jika dibangunkan di pagi hari buta “Siapa nama kakak Budi”, saya akan lantang menjawab “Wati”. Walau saya agak lupa dengan temannya yang bernama Hasan…
Saya punya seorang Papa bernama Samuel. Dia punya banyak nama, lihat saja di Facebooknya. Karena namanya Samuel Sachiawan, saat muda beliau dipanggil (atau mungkin beliau membuatnya sendiri) Sekie. Saya memanggil Samuel Sachiawan atau Samuel atau Sekie ini dengan sebutan Papa.
Anggap saja suatu saat saya bosan dengan sebutan Papa yang mainstream itu. Saya ingin memanggilnya dengan Ayah. Dia tidak keberatan. Samuel ini orang yang asik, dia mau saja dipanggil Ayah. Lalu ketika nama Ayah mulai mainstream, saya memanggilnya Babeh. Samuel ini orang yang asik, dia mau saja dipanggil Babeh. Lalu saya panggil lagi dengan sebutan Daddy. Tapi karena tetangga kami bernama Om Dedi, ayah saya bilang… ssst….jangan panggil Daddy, nanti ga enak sama tetangga.
Akhirnya saya mengganti lagi panggilan Ayah saya dengan Bokap… “Bokap,… kok lama banget pulangnya”. Sekali lagi, Samuel ini orang yang asik, dia mau saja dipanggil Bokap
Lalu saya dengar ada trend baru di kalangan anak muda. Di mana mereka mengatakan, akan lebih asik kalau memanggil Ayahnya dengan namanya sendiri. Lalu saya panggil dia dengan sebutan “Samuel”. Awalnya Samuel terlihat keberatan. Tapi lama-lama dia paham juga… Toh dia terkenal sebagai orang yang asik, tak apa dipanggil nama oleh anak perempuan yang dikasihinya, toh memang lagi trend.
Tiba-tiba saya bosan dengan semua panggilan itu. Saya ingat bahwa dulu waktu kecil saya pernah belajar mengenai “Ini Ayah Budi”, karena saya anti-mainstream, saya panggil Samuel dengan sebutan Budi…. “Bud, nanti kalau sempet kirim uang ke rekening ku ya” atau “Bud, mau dibuatin telor ceplok?” atau “Bud, liburan yuk Bud”
Samuel keberatan dipanggil Budi. Saya berusaha membuatnya mengerti bahwa Budi nama yang oke. Bahwa mungkin tak lama lagi “Budi” akan menjadi nama panggilan untuk seluruh ayah di dunia. Apa bedanya Papa, Ayah, Babeh, Bokap, Daddy, Budi. Lagipula Daddy dan Budi terdengar mirip.
Sehari dua hari saya panggil Papa saya dengan sebutan Budi. “Bud, gue baru bikin paspor.. Jelek banget fotonya. Liat dong paspor lo”
Kemudian Mama saya memberitahu saya bahwa Papa terlihat keberatan jika dipanggil Budi. Apalagi, Budi itu nama saingan terberatnya saat di sekolah dulu. Bahkan pernah berantem berkali-kali hingga sering diskors dan dipanggil kepala sekolah.
Tapi saya ga peduli. Buat saya Budi nama yang paling tepat untuk Papa saya. Lagipula, kan Samuel orangnya asik. Seharusnya dia ga keberatan dipanggil apapun. Buat saya, Budi itu artinya Papa… TITIK!!!
Adik saya kemudian memberi saya pengertian “Greis, Papa kita namanya Samuel. Dia orangnya memang asik. Bahkan dia ga keberatan kamu panggil dia namanya: Samuel. Tapi kamu panggil Dia Budi…Come on!!! Itu nama siapa”
Saya tidak peduli juga. Buat saya Budi nama yang paling tepat untuk Papa saya. Lagipula, kan Samuel orangnya asik. Seharusnya dia ga keberatan dipanggil apapun. Buat saya, Budi itu artinya Papa. Dia mengerti kok… Tidak ada yang berubah. Saya tetap mengakuinya papa saya. Kalau diperlihatkan foto-foto, saya akan menunjuknya… “Ini dia Budi saya” Bodo amat orang lain melihat dengan pandangan bingung…Bagi saya Budi ya Budi…TITIK!
Saudara, tunggu… Anda pasti cukup pintar kan untuk tidak menganggap bahwa cerita di atas adalah fakta. Tidak, saya tidak memanggil Samuel dengan sebutan Budi. Saya tahu dia suka dipanggil Papa. Dia menyebut dirinya dengan Papa dan saya memanggilnya begitu.
Hal yang ingin saya jelaskan di sini adalah masalah KEBEBALAN. Berkali-kali dalam Alkitab kita membaca ayat mengenai orang bebal, saya pun pernah mengulasnya. Orang bebal atau tegar tengkuk menulikan telinga dan menutup mata terhadap kebenaran. Bagi mereka, lebih mudah menyangkali kebenaran daripada mengakui bahwa selama ini mereka salah. Bahkan bqgi mereka, apa yang mereka yakini sudah pasti benar, walau fakta tidak mendukungnya.
Saat ini kita disuguhkan tiap hari dengan drama kebebalan dari bangsa ini. Kasus “AHOK MENISTA AGAMA” adalah contoh yang paling besar. Kaum intelektual mencoba meyakinkan “tak ada penistaan agama”.
“Gus Dur pun mengatakan itu”
“Tapi Ahok itu Kristen. Dia tak berhak mengutip kitab suci agama lain. Gus Dur beda lagi!!! PENJARAKAN!!!”
Lalu:
“Secara struktur bahasa kata ‘pakai’ akan mengubah makna kalimat. ‘Makan sendok’ beda dengan ‘makan pakai sendok”
“Tapi kan dilempar batu sama dengan dilempar pakai batu”
“Nah, yang salah bukan batunya kan, tapi orang yang melemparnya”
“Bodo amat. PENJARAKAN!!”
“Tapi Ahok itu anti korupsi”
“Lebih baik yang korupsi. PENJARAKAN!!!”
“Dia bahkan membangun banyak mesjid”
“Tidak peduli!!! PENJARAKAN”
Contoh berikutnya soal pemboikotan Sari Roti. :
“Tapi memang bukan Sari Roti yang bagi-bagi gratis.”
“Harusnya ga usah klarifikasi. BOIKOOOT”
“Tapi kalau tidak klarifikasi nanti salah paham. Ini perusahaan besar, bukan pisang goreng”
“Ah, biar saja seperti itu. BOIKOTT”
“Kasihan kan yang memang sudah mendanai”
“Ah, tidak ada yang tahu kan.BOIKOTTT”
“Tapi sudah ada sertifikat HALAL dari MUI”
“Bukan masalah itu. BOIKOTT”
Saya bingung sekali. Apakah kebebalan yang masif di bangsa ini adalah sebagai kutukan, bawaan lahir, serangan roh jahat, ataukah memang karakter yang sudah mengakar?
Kebebalan ini membuat manusia mempercayai suatu persepsi yang salah dan tidak mau menerima kebenaran. Membuat mereka mudah dipengaruhi oleh siapapun dalang yang memiliki kebusukan hati.
Kebebalan ini membuat manusia hanya mempercayai apa yang mereka inginkan. Mempercayai kebiasaan yang sudah lama dipupuk walaupun kebiasaan itu salah. Tidak mau dikoreksi dan mudah tersulut emosinya ketika diberi pandangan baru dari luar.
Jika Anda tidak percaya bangsa ini memiliki kebebalan semacam ini. Buka saja media sosial, kemudian baca komentar dari berita-berita yang hangat. Saya tidak tahu apakah itu akun bayaran atau bagaimana. Biasanya mereka akan menandaskan komentarnya seolah mereka menempatkan “pokoknya” di setiap kalimat,
“Pokoknya begitu”
“Kenapa begitu”
“Karena memang begitu”
“Kamu yakin?”
“Yakin!!!”
“Dari mana kamu yakin”
“Karena memang begitu!!”
Sayangnya, walaupun sudah menulis panjang-panjang, saya tidak memiliki solusi untuk kebebalan yang masif ini. Saya akhirnya hanya menutup dengan percakapan saya dan adik saya.
Saya (G): Pasti Tuhan sangat menyayangi bangsa ini.
Adik saya (Y): Kenapa?
G : Dulu Tuhan menyayangi Bangsa Israel, bangsa yang bebal dan tegar tengkuk
Y : Lalu?
G : Pasti Tuhan lebih menyayangi Bangsa Indonesia yang lebih bebal dan lebih tegar tengkuk
Y : Tapi orang Yahudi itu cerdas, sedangkan Indonesia…
G : Makanya…karena itu Tuhan pasti lebih menyayangi bangsa ini… Bangsa yang bebal, dan (begitulah)