Hippopotomonstrosesquipedaliophobia


Anda kesulitan membaca judul dari tulisan saya ini? Sama! Saya juga mengalami kesulitan membacanya, apalagi menuliskannya… bagaimana jika kita mengejanya: hip – po – po – to – mons – tro – ses- qui – pe – da – li – o – phobia

Sebelum kita membahasnya lebih lanjut, saya akan menjelaskan asal katanya:

  • Hippopotamus – “Kuda Nil”, sesuatu yang sering dihubungkan dengan sesuatu yang besar dan nama yang panjang untuk hewan
  • Monstro – “Monster”
  • Sesquipedalian – berarti “kata yang panjang”
  • Phobia – Ketakutan yang ekstrim

Ya, Hippopotamonstrosesquipedaliophobia adalah ketakutan yang ekstrim pada sebuah kata yang panjang.

Hal yang ironis, ya?! Kata yang digunakan untuk menggambarkan ketakutan akan suatu kata yang panjang merupakan kata yang paling panjang sedunia.

Hal ironis ini juga kita temukan dalam istilah Phobophobia, yaitu ketakutan ekstrim kepada ketakutan ekstrim. Seseorang dengan Phobophobia memiliki ketakutan berlebihan bahwa suatu saat dia akan mengalami ketakutan berlebihan.

Mari kita simpan Phobophobia dan lanjutkan pembahasan mengenai Hippopotamonstrosesquipedaliophobia. Seorang dengan Hippopotamonstrosesquipedaliophobia akan merasa sangat takut ketika melihat serangkaian huruf yang sangat panjang. Tanpa ingin mengerti maknanya mereka memilih untuk buru-buru menutup buku (atau kertas) yang mengandung tulisan tersebut dan sibuk dengan ketakutannya sendiri.

Ketakutan ini mungkin dimulai ketika seseorang takut dianggap bodoh. Daripada membaca tulisan panjang yang mungkin tidak dimengertinya, lebih baik menutup buku dan melupakannya. Takut dianggap bodoh merupakan penyakit kebanyakan orang timur (lebih spesifik orang Indonesia).

Sebagai guru atau pembina saya sering diundang untuk bicara di depan anak-anak atau remaja. Hal yang sering saya temui adalah ketika saya mengajukan pertanyaan (yang sebenarnya mudah saja jawabannya) namun saya mendapati tidak ada seorang pun yang berani untuk angkat tangan duluan untuk menjawab pertanyaan saya.

Saya paham benar alasan anak-anak itu. Sebagian merasa takut salah sedangkan sebagian lagi merasa takut dianggap sombong. Ini merupakan dua hal yang sangat menyulitkan para guru dan menyulitkan kita, orang Indonesia, untuk maju.

Pertama, perasaan takut salah. Biasanya hal ini dimulai dari perasaan takut dianggap bodoh. “Bagaimana jika saya salah kemudian teman-teman menertawakan saya dan menganggap saya bodoh” dan perasaan takut dipermalukan “Bagaimana jika saya salah kemudian teman-teman menertawakan dan mempermalukan saya”

Kesalahan atau kegagalan dalam mencoba merupakan hal yang sangat umum. Saya suka dengan permainan loncat tali atau bola bekel yang dimainkan oleh anak-anak perempuan jaman dahulu. Permainan semacam ini melatih seorang anak untuk menerima ketika dia gagal, menerima ketika orang lain melihat dia gagal, namun memaksa mereka untuk mencoba lagi ketika mengalami kegagalan tersebut. Bandingkan dengan permainan jaman sekarang, di mana anak-anak hanya bermain dengan gadgetnya. Tak ada yang tahu kapan dia gagal dan menekan tombol restart.

Sebagai orangtua, seringkali kita memaksa anak-anak kita untuk “tidak pernah gagal”. Sebagian orangtua yang memiliki sikap perfeksionis serta merta memarahi anaknya ketika anaknya gagal.

Oya, sedikit intermezzo aja. Ada tiga jenis kesalahan yang harus dibedakan oleh orangtua:

  1. Kelalaian, yaitu ketidaksengajaan. Contoh: memecahkan piring.
  2. Kegagalan / Kesalahan, yaitu ketika anak tidak berhasil mencapai sesuatu yang ia usahakan. Contoh: tidak berhasil memenangkan suatu kompetisi, salah menjawab.
  3. Kenakalan, yaitu ketika seorang anak melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan. Contoh: tetap berlari-lari walau sudah dilarang.

Orangtua dan guru perlu berhati-hati dalam menanggapi tiga jenis kesalahan di atas. TIndakan keras perlu diambil ketika anak melakukan kenakalan. Simpati dan motivasi harus diberikan ketika anak mengalami kegagalan / kesalahan. Teguran ringan perlu diberikan ketika anak melakukan kelalaian.

Ketika anak selalu dimarahi karena melakukan kelalaian atau kegagalan, maka lama kelamaan dia akan merasa takut mencoba, seperti mereka yang mengalami Hippopotamonstrosesquipedaliophobia.

Kedua, perasaan “takut dinilai sombong“. Ini merupakan perasaan yang absurd. Beberapa keluarga memang mendidik anak-anak mereka untuk rendah hati agar tidak dicap sombong. Didikan ini membuat anak-anak berpikir-pikir ulang ketika harus menjawab sesuatu, jangan sampai dinilai sombong oleh teman-temannya.

Saya beri contoh. Ketika Anda bertanya pada murid sekelas di SMA yang biasa-biasa saja (bukan SMA swasta yang terdiri dari orang-orang kaya) “siapa yang pernah ke luar negeri”. Jangan heran jika Anda menemukan tidak seorang pun mengangkat tangan, walaupun mungkin di antara mereka ada yang sudah pernah keluar negeri. Alasannya? Takut dicap sombong.

Baik, hal kedua ini memang tidak relevan dengan tema tulisan kita hari ini, mungkin lain kali kita bisa membahasnya secara lebih spesifik.

 

Kesimpulan:

Bodoh bukanlah ketika kita tidak tahu suatu informasi. Bodoh adalah ketika kita menolak untuk mencoba hal baru.

Bodoh bukanlah ketika kita melakukan kesalahan. Bodoh adalah ketika kita mengulang-ulang suatu kesalahan tanpa belajar.