Setelah sekian lama akhirnya melanjutkan lagi apa yang saya pelajari dari Mazmur.
Seseorang pernah menceritakan pada saya inti dari suatu seminar mengenai integritas. Dalam seminar itu dikatakan bahwa salah satu pelajaran yang harus dilakukan peserta adalah menjadi saksi yang baik. Artinya, menceritakan hanya apa yang dilihat, dengan tidak menambahkan asumsi sedikitpun kepada apa yang dilihatnya.
Saya beri contoh, sesuatu yang sensitif, ketika ada seseorang melihat seorang pria dan wanita di depan sebuah kamar hotel di tempat wisata, misalnya. Pria dan wanita itu bukan suami dan istri dan orang tersebut merasa berkewajiban untuk mengatakan sesuatu, sayangnya bukan kepada orang yang bersangkutan, tapi pada orang lain. Bagaimana cara orang tersebut biasanya menyampaikan?
Memang alangkah lebih bijaksana jika orang tersebut langsung datang kepada yang bersangkutan untuk menanyakan “apa yang terjadi” agar tidak timbul gosip. Tapi kebanyakan orang timur, akan melakukan hal ini. Mereka akan mengatakan pada orang yang pertama mereka temui (orang yang juga mengenal kedua orang tersebut) dan mulai menceritakan apa yang baru saja dilihatnya dengan tambahan asumsi mulai dari mimik wajah (jijik), bahasa tubuh, hingga ungkapan-ungkapan.
“Eh, aku lihat si anu dan si anu keluar dari kamar hotel. Padahal mereka kan bukan suami-istri ya….kayanya mereka…(cencored)”
Kata “keluar dari” merupakan asumsi pencerita karena dia melihat bahwa kedua orang tersebut ada di kamar hotel.
Dapatkah Saudara bayangkan apa yang akan diceritakan si pendengar kepada orang lainnya yang juga mengenal kedua orang tersebut?
Mungkin seperti ini “Kemaren, si anu dan si anu check in lho di hotel di tempat wisata anu”. belum lagi ada tambahan ekspresi wajah, lirikan mata, bahasa tubuh yang melengkapi buruknya berita yang sedang disampaikan.
Berita tersebut akan terus berkembang dan jadilah gosip yang sangat merugikan.
Lucunya, banyak sekali gosip berasal dari mulut seorang yang mengaku menjunjung tinggi nilai-nilai kekristenan dengan alasan “apa yang saya lihat tidak sesuai dengan apa yang tertulis di dalam Alkitab”. Namun tanpa disadarinya ia sedang melanggar bagian lain yang tertulis dalam Alkitab.
Daud pernah mengalami tekanan yang kurang lebih sama seperti tekanan yang dihadapi “korban gosip”. Daud menggambarkan mereka sebagai:
- “tidak menunjukkan belas kasihan, membual”. Bukankah itu yang dilakukan penggosip? Tidak menunjukkan belas kasihan dan membual makin lama makin besar.
- “seperti singa, bernafsu untuk menerkam. Mengendap di tempat yang tersembunyi”. Bagaimana dengan penggosip? Sembunyi-sembunyi mengedarkan berita buruk mengenai seseorang. Ketika orang tersebut melewati tempat mereka, mereka berbisik-bisik atau langsung diam.
- “mata mereka diarahkan untuk mengempaskan aku ke bumi”. Semua berawal dari mata. Namun bukan untuk kebaikan. Apa yang dilihat para penggosip, digunakan untuk menjatuhkan orang lain
Apa yang dilakukan Daud ketika menghadapi orang-orang seperti itu juga dapat kita gunakan ketika menghadapi penggosip yang siap menerkam dan mengempaskan kita:
- “Daripadamulah kiranya penghakiman”. Tidak ada gunanya membenci. Serahkan perkara kita pada Tuhan
- “Matamu kiranya melihat apa yang benar”. Tetap sadari bahwa Tuhan melihat. Ketika kita benar di hadapan Tuhan, Tuhan melihat. Demikian juga ketika kita berbuat salah di mata Tuhan, Tuhan melihat.
- “Pada waktu Engkau memeriksa aku….kiranya Engkau tidak menemui kejahatan”. Apakah kita siap diperiksa oleh Tuhan? Jika kita di pihak yang benar, maka Tuhan ada di pihak kita.
- “Peliharalah aku seperti biji mata, sembunyikan aku dalam naungan sayap-Mu”. Sadari bahwa satu-satunya tempat berlindung adalah Tuhan. Dalam menghadapi gosip, tidak perlu meminta perlindungan hukum atau susah-susah melawan mereka. Bersembunyilah dalam naungan sayap Tuhan
- ‘Tetapi aku, dalam kebenaran akan kupandang wajahMu”. Tetap lakukan apa yang benar.
Mudah-mudahan kita bisa belajar dari Daud ketika menghadapi gosip. Juga…hati-hati ketika kita menyampaikan apa yang kita lihat. Jangan bicara jika tidak diperlukan. Ketika Saudara melihat apa yang tidak semestinya, serahkan saja sama Tuhan. Biar Dia yang berperkara. Siapa kita sehingga kita menjadi hakim sesama kita?
wow 🙂