Teh dalam botol: ketika yang mahal jadi murah


Teh dalam botol memang sudah lama sekali, paling tidak sejak mbah Sosro menemukan cara mengemas minuman ini ke dalam botol kaca, dan diikuti oleh merk lainnya.

Kalau bicara soal teh, kita pasti hanya ingat minuman murah yang diberikan gratis oleh sebagian besar rumah makan di kota Bandung (saya kurang tahu juga apakah di kota lain ada juga yang memberikan teh tawar gratis selain rumah makan Sunda).

Kalau Anda coba-coba memasukkan “sejarah teh” di google, maka Anda akan menemukan bahwa teh adalah sebuah minuman bergengsi pada abad awal hingga pertengahan, khususnya di dataran Cina dan Eropa. Teh terbaik dicari dan ditukar dengan harga yang cukup tinggi.

Di Cina, teh adalah minuman yang disajikan untuk kaisar dan tamunya. Di Eropa, teh adalah minuman yang terdapat di rumah-rumah bangsawan. Di Eropa bahkan mereka menjadwalkan waktu khusus untuk minum teh, dan tradisi minum teh hingga saat ini masih dikenal di negara-negara Eropa?

Nah, bagaimana tradisi di Indonesia? Tanah yang subur dan udara yang sejuk di Indonesia membuat teh menjadi barang yang tidak mahal lagi. Kalau Anda ke dataran tinggi, khususnya di Jawa Barat, Anda akan menemukan banyak sekali kebun teh.

Suatu tradisi yang mahal bergeser menjadi minuman murahan disajikan dalam botol dan gelas dengan rasa bervariasi. Suatu kebanggaan yang maha berubah menjadi kebiasaan yang murah ketika sesuatu yang sulit diperoleh tiba-tiba dapat dengan mudah diperoleh atau dibuat.

Bukankah itu yang terjadi dengan peradaban manusia? Sesuatu yang mahal lama kelamaan akan bergeser menjadi murah. Beberapa tahun yang lalu, Anda membutuhkan ratusan ribu untuk mendapatkan sebuah SIM Card untuk telepon genggam. Saat ini, dengan Rp. 5000 Anda dapat memperoleh sebuah nomor baru yang dapat digunakan menelepon.

Ini memang hukum ekonomi, bukan? Sesuatu menjadi murah ketika banyak atau dengan kata lain mudah diperoleh…

Bagaimana dengan “Tuhan”?

Jaman Perjanjian Lama, menghadap Tuhan adalah sesuatu yang mahal. Seseorang harus menempuh jarak yang panjang untuk dapat ke Bait Suci. Itu pun mereka tidak dapat masuk sampai ke tempat di mana Tabut Perjanjian, yang melambangkan kehadiran Tuhan berada.

Jaman Perjanjian Baru tradisi itu diubahkan setelah kematian Kristus dan tirai menuju ruang yang maha kudus terbelah dua. Manusia punya akses lebih mudah dan langsung pada Tuhan, tidak lagi dibatasi hanya para imam yang boleh menghadap Tuhan.

Pada jemaat mula-mula hal ini mereka manfaatkan dengan membuat persekutuan-persekutuan di rumah-rumah setiap hari… Bukankah kini Tuhan bersedia ditemui di mana saja oleh umatNya?

Namun, manusia tetaplah mahluk yang merindukan sebuah “kesakralan”. Ya, merupakan naluri manusia untuk tertarik pada sesuatu yang sakral dan supranatural (makanya acara yang menampilkan pencarian mahluk halus merupakan salah satu yang laris).

Mereka berpikir dengan prinsip ekonomi, jika sesuatu menjadi mudah, maka sesuatu itu akan murahan. Mereka tidak mau memiliki pemikiran “Tuhan yang murah”. Manusia merasa bahwa mencari Tuhan perlu usaha yang sulit, sakral…

Pencarian akan kesakralan ini membuat manusia membuat bangunan tempat ibadah dengan begitu megah dan kudus, sehingga (mereka pikir) kehadiran Tuhan akan nyata di dalamnya.

Bangunan itu dibuat tinggi, dengan desain yang luar biasa indah, sehingga lebih cocok dijadikan obyek wisata daripada tempat ibadah. Sebuah bangunan yang membuat manusia berpikir, “aah, ini tempat yang layak untuk Sang Pencipta” atau “aaah, inilah tempat di mana Sang Maha Kudus bersemayam”

Pemikiran bahwa “menghadap Tuhan perlu ke bangunan yang sakral” terus berkembang namun kemudian perkembangan jaman membuat bangunan itu semakin modern, sederhana, dan tidak lagi agung menjulang tinggi.

Persekutuan orang percaya yang diajarkan Kristus saat menyuruh muridNya berkumpul telah bergeser menjadi “datang seminggu sekali ke tempat tinggal Tuhan”

Sebagian besar Umat Kristus ini mulai berpikir “perlunya datang seminggu sekali untuk menemui Tuhan di gedung gereja” kemudian melupakan kenyataan bahwa Tuhan berjalan bersama mereka setiap hari.

Dan megahnya bangunan sakral yang membuat manusia merasa takjub mulai bergeser menjadi bangunan kotak modern dengan tata cahaya, sistem suara, alat musik, media audiovisual dan semua hal yang modern.

Jadi apa yang tersisa? Sekumpulan orang percaya yang merasa bahwa menghadiri bangunan kotak modern seminggu sekali adalah sesuatu yang diwajibkan dan cukup untuk menjadikan mereka umat Kristen yang taat dan memiliki persekutuan dengan Tuhannya. Membuat mereka merasa bahwa rumah mereka tidak layak untuk kehadiran Tuhan sehingga melupakan hubungan intim setiap hari dengan Pencipta.

Juga sekumpulan pemuka agama yang berpikir bahwa semakin modern bangunan itu, maka mereka akan semakin mudah menarik jemaat… Bukankah sesuatu yang mudah diperoleh akan menjadi murahan?? Buat menjadi sedikit “mahal” sehingga manusia tidak melihat Tuhan (atau organisasi gereja) menjadi “murah”…biarlah teh saja yang menjadi murahan, tapi tidak Tuhan…

Pertanyaan saya, “apakah Tuhan ingin terlihat ‘murah’ (dengan definisi mudah ditemui) atau ‘mahal’ (dengan definisi sulit ditemui) ?

-carilah Tuhan selama Ia berkenan ditemui; berserulah kepadaNya selama ia dekat- Yesaya 55:6

1 thought on “Teh dalam botol: ketika yang mahal jadi murah

  1. dan ini yang saya rasa terjadi saat ini, Bapak saya juga sering hal yang serupa dengan kalimat ini: “Sebagian besar Umat Kristus ini mulai berpikir “perlunya datang seminggu sekali untuk menemui Tuhan di gedung gereja” kemudian melupakan kenyataan bahwa Tuhan berjalan bersama mereka setiap hari.”

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s