Menyembah Baju Efod


Berkali-kali saya bertekad untuk tidak lagi membicarakan mengenai organisasi gereja dan siapapun yang ada di dalamnya. Entah karena apatis atau saya sudah dewasa, saya pun tidak tahu.

Tapi spanduk-spanduk besar yang berisi undangan ibadah Natal (dan juga KKR) membuat hati saya gelisah… entah siapa yang membuat hati saya gelisah, apakah Tuhan, atau otak saya sendiri, atau malah dari kubu si jahat… saya tidak tahu… Tapi mungkin Anda bisa membantu saya mencari tahu.

Hal yang mengusik saya bukanlah mengenai pendeta besar yang terkenal dengan arogansinya yang kerap mengadakan acara rutin di beberapa kota, melainkan spanduk yang dipasang untuk acara itu. Spanduk yang lebih mengeksploitasi namanya, dibanding nama Tuhan yang ia ceritakan.

Bukankah lucu karena di jaman sekarang ini, Pendeta merebut perhatian (dan penghormatan) lebih daripada Tuhan yang ia layani?

Dalam diskusi saya mengenai hal ini dengan seorang sahabat, ada dua kisah dari dua tokoh berbeda yang kami ungkapkan, yang cocok menggambarkan situasi di atas. Saya mengacu pada Daud, sedangkan sahabat saya mengacu pada Gideon. Bagaimana jika kita bahas keduanya?

Saya akan mulai dengan sudut pandang teman saya yang menurut saya lebih tepat untuk situasi yang tadi saya gambarkan.

Anda pernah dengar seorang hakim besar bernama Gideon? Dia dipilih Tuhan di tengah-tengah kekacauan yang terjadi di Israel kala itu. Saat itu orang Israel melakukan yang jahat di mata Tuhan dan Tuhan memukul mereka hingga mereka berada dalam keadaan melarat. Orang Midian berkemah mengelilingi mereka dan secara rutin menjarah seluruh bahan makanan dan ternak mereka.

Lalu seperti biasa, orang-orang Israel itu menjerit kepada Tuhan dan Tuhan mengutus malaikatnya untuk memanggil seorang muda, yang merupakan anak bungsu dari keluarga yang berasal dari kaum terkecil, suku terkecil orang Israel.

Anda dapat membaca mengenai keperkasaan anak muda itu di Hakim-hakim 6 – 8. Saya ingin membahas akhir hidup dari Gideon.

Tahukah Anda bahwa Gideon tidak terlalu membawa dampak pada kehidupan setelahnya. Alkitab mencatat bahwa setelah kematian Gideon, dengan segera orang Israel berbalik dan menyembah Baal (Hakim-hakim 8:33).

Tidakkah membingungkan? Dengan kepemimpinan sebesar itu, Gideon tidak membawa dampak di kemudian hari?

Ijinkan saya menanyakan ini. Para Hamba Tuhan… kepemimpinan seperti apa yang Anda inginkan? Berdampak hanya saat Anda hidup, atau sampai setelah Anda pergi?

Tahukah Anda apa yang memicu hal ini di jaman Gideon? Gideon membuat perhatian orang Israel mengarah pada dirinya dan bukannya Tuhannya.

Buktinya?
Tanpa disuruh Tuhan, ia memerintahkan rakyatnya untuk mengumpulkan anting-anting dari musuhnya, membuat baju efod dari itu semua…

image

Seolah menggantikan dirinya, baju efod itu disimpan di kotanya, di Ofra. Apa yang terjadi? Orang Israel menyembah efod itu.

image

Hamba Tuhan, apakah kita pernah membuat kebijakan atau aturan yang membuat jemaat Tuhan berpaling dari Tuhan (ingat, Tuhan sendiri mengumpamakan jemaat sebagai domba, dan domba itu binatang bodoh yang ikut saja kemanapun gembalanya membawanya).

Bagaimana dengan hiasan panggung, tata lampu, musik dan dekorasi ruang yang membuat jemaat merasa bahwa tanpa itu mereka tak dapat menyembah Tuhan, hingga lama kelamaan mereka “menyembah baju efod”.

Bagaimana dengan nama kita yang tanpa sengaja kita taruh ketinggian. Foto kita yang terpampang di brosur atau poster karena kita pikir tanpa itu semua maka jemaat tidak mau hadir?

Jika itu semua cara memimpin Anda, wahai Hamba Tuhan… hasil akhirnya adalah apa yang terjadi pada orang Israel setelah kematian Gideon…

Baik, dari Gideon kita beralih kepada Daud. Ketika ia hendak memindahkan Tabut Perjanjian dari rumah Abinadab ke Kemah Suci. Pada percobaan pertama Daud mengenakan pakaian kebesaran raja, menari-nari dengan jubahnya seolah menunjukkan “aku raja hebat yang berhasil membawa tabut perjanjian Tuhan kembali ke Yerusalem”

Pada percobaan pertama pula ia mengangkat tabut ke atas kereta lembu dan bukannya mempelajari dalam Taurat bagaimana cara membawanya.

Dengan bahasa lain saya simpulkan, Daud memakai caranya sendiri untuk “memposisikan Tuhan” ke tempat yang ia anggap layak. Padahal, Tuhan tidak membutuhkan manusia untuk memposisikan diri-Nya.

Hamba Tuhan, bangunan tinggi dan fasilitas hebat yang Anda bangun tidak dapat membuat Tuhan semakin besar… karena tanpa Anda pun, dia sudah besar. Ketika Anda menggunakan cara dan kebesaran nama Anda untuk kebesaran Tuhan, akibatnya adalah apa yang terjadi pada Daud.. Tuhan memukul dua orang yang mencoba menyelamatkan Tabut Perjanjian yang akan jatuh… sampai mati!

Berbeda seperti Gideon, Daud cepat menyadari kesalahannya. Percobaan berikutnya ia mempelajari bagaimana Tuhan ingin disembah, dan ia menyembah Tuhan dengan caranya Tuhan.

Pada percobaan berikutnya, ia membuka jubah kebesarannya dan hanya mengenakan baju efod dari kain linen. Bukan dari emas seperti yang dibuat Gideon, tapi dari kain linen. Baju efod dari kain linen adalah baju sederhana yang biasa dipakai kaum Lewi ketika menghadap Tuhan.

image

Pada percobaan berikutnya, ia membawa tabut dengan dipanggul oleh orang Lewi terpilih. Setiap berjalan enam langkah, mereka berhenti dan mempersembahkan korban bakaran pada Tuhan.

Hasilnya? Kepemimpinan Daud berdampak sampai beberapa generasi.

Saya tidak akan perpanjang tulisan ini. Saya akan menutupnya dengan sebuah pertanyaan:
Jika Anda saat ini diberi kepercayaan sebagai pemimpin jemaat atau gembala, apakah Anda membuat jemaat Anda menyembah Anda atau “baju efod emas” karya Anda, atau Tuhan yang hidup?