Itu adalah kelas yang unik, setiap mahasiswa pasca sarjana yang ada di dalamnya begitu perlente, tak jarang mereka berdasi dan mengenakan jas mahal yang begitu bergaya.
Mereka tidak belajar dengan tujuan untuk lebih mahir melakukan sesuatu, atau untuk lebih tahu akan sesuatu. Tidak! Mereka belajar untuk mendapat suatu gelar kehormatan “Doktor” yang merupakan syarat tak tertulis bagi para Pendeta yang memimpin sebuah Gereja Bintang Lima.
Cara berkotbah sudah mereka kuasai, isi Alkitab sudah mereka baca bolak balik tak terhitung berapa kali. Mereka bahkan dapat memahami Alkitab yang ditulis dengan bahasa aslinya. Mereka pun sudah merasa mengenal Tuhan, buktinya mereka hafal nama-nama Tuhan, baik dalam bahasa Ibrani, Yunani, hingga bahasa Arab.
Ilmu komunikasi? Jangan ditanya! Mereka sudah bisa membuat jemaat menangis termehek-mehek dan terbakar oleh semangat setiap kali habis mendengar kotbah mereka. Dalam hati bahkan mereka merasa, tanpa bantuan Roh Kudus pun mereka mampu melakukannya.
Ilmu Manajemen? Wah, walau bukan ahlinya, tapi siapa yang dapat menentang mereka? Lagipula, dengan adanya sistem software, keamanan dan teknologi yang baik, tak ada yang peduli dengan sistem manajemen yang benar.
Jangan tanya soal mengelola keuangan. Jika semua anak-anakmu sekolah di luar negeri, siapa yang berani bicara soal mengelola keuangan denganmu. Kau bahkan dapat menghasilkan ratusan juta hanya dengan bicara dan menantang orang di panggung mimbar selama 45 menit.
Ya, kelas itu memang kelas yang unik. Dosen yang mengenakan kacamata dan sepatu butut, yang mengabdikan hidup untuk mengajar dan mengendarai motor bebek adalah saluran berkat, tapi mereka bukan apa-apa dibanding para mahasiswa yang adalah Para Pendeta Gereja Bintang Lima yang terhormat.
Suatu kali pernah dibahas masalah LGBT di kelas itu. Sebagai pendeta Gereja Bintang Lima mereka tidak bisa terang-terangan menyebut itu dosa, tidak bisa! Jemaat mereka kebanyakan adalah orang berpendidikan yang menganut prinsip humanisme dan berpikir “masakan Tuhan tidak menghendaki umatnya bahagia dengan pilihan orientasi seksual mereka.” Jika pendeta Gereja Bintang Lima terang-terangan menentang hal ini, maka mereka akan ditinggal para manusia humanis modern yang memberikan perpuluhan besar untuk gereja. Biarkan saja para penginjil dan pendeta pedesaan yang menentang hal itu.
Suatu kali juga pernah dibahas mengenai ide bagaimana agar gereja bisa membangun gedung megah tanpa terlilit utang piutang. Sebuah gedung mewah yang akan meningkatkan gengsi para pendeta itu. Proyek janji iman, door prize bagi jemaat yang memberi perpuluhan, hingga program iuran berjangka menjadi jawaban.
Ada satu pendeta yang mengatakan bahwa di gerejanya mereka mengembangkan software yang mendata seluruh jemaat, pekerjaan dan gajinya. Software itu juga bisa memberikan informasi siapa jemaat yang berpotensi memberi paling banyak untuk gereja Tuhan. Tujuannya agar Pendeta bisa melakukan follow up dan menjadwalkan kapan perlunya berkotbah tentang pentingnya memberi perpuluhan dan apa konsekuensi jika tidak memberi.
Ada juga pendeta yang mengatakan gerejanya memberikan semacam kupon undian bagi jemaat yang rutin hadir dan memberi persembahan dan perpuluhan. Kupon itu akan diundi akhir tahun, dan yang menang akan mendapatkan hadiah mobil keluaran terbaru.
Ada satu pendeta yang mengatakan bahwa di gerejanya semua jemaat dapat mendaftar untuk suatu program kematian. Mereka diwajibkan menyetorkan sejumlah uang setiap tahun, katakanlah Rp.200.000/anggota keluarga agar sewaktu-waktu jika ada anggota keluarga yang mati, gereja bisa memberi santunan sejumlah Rp.10.000.000. Jemaat pasti bersedia mendapat keuntungan berlipat seperti itu saat mereka mati. Bahagia di bumi, bahagia di Surga. Kemudian ada rekan pendeta yang bertanya “kalau sampai ada yang terlambat atau tidak bayar bagaimana, katakanlah di tahun ketiga?”. Setelah berpikir sejenak, pendeta itu menjawab “tentu saja haknya hilang, keanggotaannya gugur secara otomatis”
Ada pendeta yang mengatakan gerejanya menemukan suatu metode baru yang membuat para pengunjung jemaat diperhatikan. Mereka yang terdaftar sebagai jemaat harus membuat kartu yang akan dikenal oleh alat pemindai di depan pintu. Alat pemindai itu dapat mengenali setiap (kartu identitas) jemaat dan menuliskan nama jemaat di layar monitor yang tersedia. Ah, para domba bodoh itu senang bukan kepalang saat namanya muncul di monitor, “Selamat datang Bapak Anu, minggu kemarin gak dateng ya, di program kami tidak terdetect soalnya.” Hanya saja pendeta itu mengatakan mereka masih belum menemukan cara jika kartu anggota ketinggalan di rumah. Mungkin chip yang ditanam di tangan adalah solusinya.
Gedung gereja dan teknologi merupakan suatu topik yang sering dibahas di kelas yang unik ini. Mereka sibuk menyelidiki satu dengan lainnya. Secara tersirat terasa sekali aroma persaingan di antara para pendeta ini. Jika yang satu diundang ke gereja yang lain, mata mereka akan menyapu gedung itu dengan cepat. Kemudian di pertemuan para pengerja (dan pengembang) dibahas “gereja kita harus membeli LED yang besar, gereja si Anu sudah memilikinya” atau “lighting kita sudah ketinggalan jaman, ganti semua dengan yang baru” atau “buat proposal untuk menjual space iklan di media pengumuman”.
Ketika suatu saat di kelas itu pak Dosen dengan sepatu butut bertanya “bagaimana dengan Tuhan”, kelas pun hening… satu orang memberanikan diri menjawab “bukankah dalam suatu pesta tamu kehormatan harus duduk diam? Mereka harus menghargai tuan rumah yang mengadakan acara”
Kemudian dari belakang kelas terdengar seorang pendeta bergumam”kami yang melakukan semuanya, bukan Tuhan”
Kemudian satu orang berkata, “Tuhan ini,… apakah Dia benar-benar bekerja? Kami lihat Dia diam saja. Ya, KAMI yang melakukan semuanya. Kami yang bekerja menemukan topik yang tepat untuk membuat pengunjung itu terhibur dan tetap mau datang ke gereja. Kami yang susah-susah memikirkan tempat parkir agar jemaat mau datang”
Dari sudut yang lain terdengar lagi, “benar, kami yang memancing pengunjung dengan ide kami tentang topik dan dekorasi yang menarik tiap minggunya. Kami yang melakukan audisi untuk para pelayan mimbar agar mereka terlihat menarik di mata siapa saja yang hadir”
Pak dosen duduk diam dan berkata, “lalu apa yang seharusnya Dia lakukan?”
Kali ini para pendeta itu terdiam… ya, apa yang seharusnya Tuhan lakukan… semua bagian sudah dilakukan oleh mereka.
Sebuah suara terdengar, “di jaman modern ini, sebaiknya Dia diam saja. Kami lebih tahu situasi jaman daripada diriNya. Dia adalah topik yang menarik untuk dibicarakan dan diceritakan. Ya, dia produk yang menjual… Tapi, sebaiknya Dia diam saja”
Dosen bersepatu butut itu bertanya lagi, “bagaimana dengan doa dan kuasanya?”
Setelah keheningan yang tak lama seorang pendeta berkata “doa adalah topik yang menarik untuk dibawakan, tapi sudah lama kami tak mempercayai kuasa doa. Ayolah, kami bahkan hanya menaruh kartu -kartu doa itu di dalam kotak, sama sekali tak kami sentuh. Kami doakan kotak itu dengan seadanya saja dan mereka tetap datang pada kami di kebaktian doa”
Sebuah suara lagi terdengar “doa adalah sebuah pengalihan yang bagus sekali. Ketika seorang jemaat datang padamu dengan masalahnya kau tinggal berkata ‘berdoa saja’ tanpa harus repot-repot menjadi jawaban atas doa mereka. Kemudian, jadikan iman mereka sebagai kambing hitam jika doa-doa mereka tak terjawab” dan tawa pun meledak di kelas itu.
Setelah menarik nafas panjang, Dosen itu bertanya lagi, “bagaimana dengan kedatangan Yesus yang kedua”
Dan kelas pun hening untuk waktu yang sangat lama sampai akhirnya ada yang menjawab dengan bisikan lirih, “apakah Dia akan datang? Maksudku, apa Dia benar-benar akan datang?”
Kemudian Pak Dosen bersepatu butut itu meninggalkan kelas dengan tertunduk lesu sambil berbisik, “ya Tuhan, apa Kau benar-benar ada?”
—–
Ps: Hanya cerpen untuk refleksi, tolong jangan dianggap sebagai serangan…